Mubadalah.id – Sebelumnya di artikel “Relasi Mubadalalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I” Penulis menjelaskan tentang perspektif mubadalah, bagaimana konsep ini juga bisa kita gunakan untuk menjalin relasi dengan umat yang berbeda agama. Penulis melanjutkan dalam artikel bagian kedua ini, masih dari buku yang sama. Bagaimana ketika umat Islam diboikot selama tiga tahun (616-619 M), salah satu tokoh utama yang meluapkan kemarahan terhadap pemboikotan ini adalah Muth’im bin ‘Adi.
Pemboikotan Mun’im Bin ‘Adi
Ia menggalang kekuatan dengan mengajak berbagai anak muda Arab untuk membatalkan pemboikotan. Ia tidak masuk Islam kala itu, alias musyrik. Tetapi akhlak mulia yang nenek moyangnya wariskan, menolak dia untuk bergabung pada isolasi yang zalim dan mematikan umat Islam itu.
Karena posisinya yang bukan Islam, ia bisa masuk, bertemu dan menggedor semua pimpinan kabilah Arab, termasuk orang-orang Quraisy. Ia berhasil. Orang-orang Arab dan Quraisy pada akhirnya membatalkan pemboikotan dan isolasi, serta kembali bisa berelasi sosial dengan Nabi Muhammad Saw dan umat Islam.
Di berbagai pertemuan, Muth’im bin ‘Adi membuat pernyataan dengan lantang, “Aku yang melindungi Muhammad! Siapa pun tidak boleh melukai dan menyakitinya.”
Bersama ketujuh anaknya, Muth’im bin ‘Adi mengitari tempat-tempat pertemuan para pemuka Quraisy. “Kamu ikut masuk Islam atau hanya memberi suaka perlindungan? ” tanya Abu Jahal kepada Muth’im bin ‘Adi.
“Aku hanya memberinya perlindungan” jawab Muth’im bin ‘Adi.
Dan, Nabi Muhammad Saw pun tinggal di rumah Muth’im bin ‘Adi dengan pengawalan ketat anak-anaknya.
Mengingat jasa besar Muth’im bin ‘Adi, Nabi Muhammad Saw pernah menyampaikan bahwa semua tawanan Perang Badar akan ia lepaskan jika yang memintanya adalah Muth’im bin ‘Adi. Perang Badar adalah perang antara pasukan Nabi Muhammad Saw dengan tentara kafir Quraisy Makkah. Nabi memenangkan peperangan ini dan sekitar 70 orang menjadi tawanan.
Penjelasan Kang Faqih
“Demikian ini”, tulis Kang Faqih, “mengisyaratkan bahwa perbedaan agama tidak menghalangi Nabi Muhammad Saw untuk tetap memiliki hubungan yang baik, menerima dukungan mereka, memberi dukungan terhadap mereka, dan terutama memberi apresiasi atas peran dan jasa baik mereka terhadap kehidupan umat Islam. Rasa syukur dan berterima kasih adalah bagian dasar dari ajaran Islam, termasuk kepada orang yang tidak beragama Islam. Inilah teladan dan inspirasi akhlak mulia Nabi Muhammad Saw.”
Contoh ketiga, pembelaan Rasulullah Saw kepada orang Yahudi yang bernama Zaid bin Samin. Dikisahkan salah seorang sahabat Anshar, Thu’mah bin Abiraq mencuri baju besi dari rumah pamannya. Baju besi itu merupakan titipan seseorang untuk pamannya jaga.
Ketika sang paman merasa kehilangan, beberapa orang mencurigai gelagat Thu’mah bin Abiraq. Ketika merasa dicurigai, ia pindahkan baju besi tersebut secara sembunyi-sembunyi ke rumah seorang Yahudi bernama Zaid bin Samin. Ia ingin membersihkan namanya dan membiarkan agar orang-orang menemukan baju besi tersebut, tidak pada diri dia. Tetapi pada si orang Yahudi.
Kisah Zaid bin Samin
Alkisah, karena bukti ada di rumah Zaid bin Samin, beberapa orang terutama dari keluarga dekat Thu’mah bin Abiraq terbawa ikut menyalahkan dan mengutuk orang Yahudi tersebut. Thu’mah bin Abiraq sendiri ikut menuduh Zaid bin Samin sebagai pencurinya. Zaid bin Samin tentu tidak terima.
Ketika hal ini tersampaikan kepada Rasulullah Saw tentu saja Zaid bin Samin ini menolak dengan tegas semua tuduhan atas dia. Ia menangis dan memohon kepada Rasulullah Saw agar mengadakan penyelidikan secara menyeluruh. Setelah investigasi secara cukup, Nabi Saw membebaskan orang Yahudi itu dan memutuskan bahwa Thu’mah bin Abiraq sebagai yang bersalah. Mengetahui keputusan ini, Thu’mah bin Abiraq melarikan diri keluar Madinah dan tidak kembali lagi.
Kang Faqih menggarisbawahi pesan moral kisah ini dengan elegan;
“Demikianlah salah satu akhlak Rasulullah Saw dalam membela orang yang dizhalimi, sekalipun non-muslim. Akhlak ini, tentu saja harus menjadi inspirasi kita dalam berelasi sesama warga warga bangsa, untuk terus mendukung sikap adil dan menolak sikap zhalim, sekalipun kepada mereka yang berbeda agama.”
Inspirasi Dari Maqashid Qur’ani
Dalam bagian ini, Kang Faqih berusaha menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan perspektif mubadalah. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Al-Baqarah hingga ayat ke-74. Begitu pula dengan sejumlah ayat-ayat yang berbicara relasi muslim dengan non-muslim dalam semangat mubadalah. Di sini, saya akan menampilkan contoh demonstratif bagaimana Kang Faqih menafsirkan tiga ayat awal dalam surat Al-Fatihah dan awal surat Al-Baqarah dengan menggunakan pendekatan mubadalah.
Sebagaimana kita ketahui, surat Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat. Berawal dengan ayat Bismillahirrahmanirrahim (Dengan keagungan Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), sebuah permulaan untuk mengingat keagungan dan kasih sayang Allah agar seluruh aktivitas hidup kita dipenuhi dengan keagungan, kemuliaan, dan kasih sayang dari-Nya dan juga dari diri kita. Basmalah adalah doa kita dan motivasi untuk kita, sekaligus komitmen kita pada nilai-nilai kemuliaan dan kasih sayang. Pada mulanya adalah basmalah yang menuntun pada hamdalah (Alhamdulillahi rabbli’alamin).
Alhamdulillahi rabbli’alamin (Segala puji bagi Allah pengasuh seluruh alam). Ungkapan ini adalah pengakuan seorang hamba pada eksistensi dan sifat-sifat Tuhan. Pada kalimat ini, ada dua eksistensi: eksistensi Allah dan eksistensi seluruh alam (‘alamin) yang menjadi makhluk-Nya. Relasi antara kedua eksistensi ini adalah pengasuhan (rububiyah) oleh Tuhan dan pengakuan hamba dengan memuji-Nya (hamdiyah).
Pujian adalah Kewajiban Manusia
Hal yang tampak dari kalimat hamdalah ini adalah empat konsep kata, yaitu pujian (hamdiyah), ketuhanan (uluhiyah), pengasuhan (rububiyah), dan kealaman (‘alamiyah). Pujian adalah kewajiban manusia, sebagai bagian dari alam (‘alamin), pada eksistensi ketuhanan (Allah) karena peran pengasuhan (rabb) yang telah dilakukan bagi pemeliharaan dan pelestarian seluruh alam.
Pujian kita kepada Tuhan bukan karena Dia membutuhkannya. Allah itu Ash-Shamad, tidak membutuhkan sesuatu. Tetapi, segala sesuatu membutuhkan-Nya. Kita, sebagai manusia adalah yang paling membutuhkan pujian pada Tuhan ini (hamdiyah).
Memuji-Nya agar ingat (dzikir) kepada-Nya. Mengingat-Nya agar sadar dengan sifat dan peran pengasuhan-Nya (rububiyah). Sebagaimana sifat-sifat-Nya agar bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sebagai khalifah-Nya yang menerima mandat untuk memakmurkan dan melestarikan alam semesta.
Menurut Kang Faqih, dalam perspektif mubadalah, ungkapan hamdalah ini memberi pesan bahwa pujian (hamdiyah) berelasi dengan peran pengasuhan dan pemeliharaan (rububiyah). Dua konsep kata ini harus selalu berelasi kesalingan (mubadalah) dalam kehidupan kita. Setiap kerja pengasuhan yang kita lakukan, sekecil apapun, harus kita apresiasi.
Apresiasi yang sehat dan sportif harus lahir dari kinerja rububiyah yang nyata ada. Hamdiyah mendorong rububiyah, dan rububiyah melahirkan kehidupan penuh hamdiyah, yakni hal-hal terpuji. Bahkan, dalam relasi kehidupan antar manusia yang kuat, sikap dan perilaku hamdiyah menjadi bagian dari tumbuhnya kerja-kerja rububiyah, dan rububiyah ini akan lestari secara kuat dengan hamdiyah. Relasi ini masih perlu kita topang kembali agar dasar dan tujuannya kuat dengan nilai kasih sayang.
Penguatan Konsep Kasih Sayang
Ayat selanjutnya, arrahmanirrahim adalah dua sifat Allah yang hadir lagi setelah hamdalah untuk menguatkan konsep kasih sayang yang penegasannya pada ayat pertama, yaitu bimillahirrahmanirrahim. Relasi hamdiyah kita sebagai manusia dengan rububiyah Allah kepada alam semesta yang kita representasikan dalam kehidupan relasional kita sehari-hari, antar manusia, harus senantiasa kita kaitkan pada dasar dan tujuan prinsip relasi kasih sayang.
Sebelumnya, melalui kalimat basmalah, kita sudah berdoa kepada-Nya, memotivasi diri, dan berkomitmen dengan ajaran kasih sayang ini. Sekarang, kita kembali diingatkan dengan kasih sayang-Nya agar komitmen kita semakin kuat untuk selalu saling menyayangi satu sama lain.
Lalu Kang Faqih menggarisbawahi prinsip mubadalah dalam tiga ayat tersebut dengan elegan: “Melalui tiga ayat awal QS. Al-Fatihah, sesungguhnya telah terang benderang bahwa kasih sayang adalah ajaran ketuhanan dan pondasi spiritual untuk kemanusiaan.
Allah mewajibkan diri-Nya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang, mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai bentuk dan untuk menebar kasih sayang pada seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) (QS. Al-Anbiya 21: 107), menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk Al-Qur’an juga untuk ajaran kasih sayang (QS. Al-Dukhaan 44: 1-6), dan meminta seluruh manusia untuk saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain.”
Sedangkan makna takwa pada ayat ke-2 dan ke-21 dalam surat Al-Baqarah juga memiliki implikasi mubadalah. Menutut Kang Faqih, orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang meyakini hal-hal yang tidak terlihat (gaib), mendirikan salat, dan berbagi kepada orang lain dari rezeki yang Allah berikan kepada mereka. Di sini, keimanan pada yang gaib, salat, dan perilaku berbagi laksana segitiga emas yang saling menguatkan satu sama lain. Ketiganya adalah ciri khas orang-orang bertakwa.
Makna Taqwa
Takwa di sini, karena itu, bukanlah ketakutan pada Allah sebagaimana biasa kita terjemahkan selama ini. Tetapi, takwa lebih merupakan kesadaran diri akan kehadiran Allah yaitu kesadaran bahwa Dia yang selalu berada bersama kita (QS. At-Taubah 9: 40), melihat seluruh aktivitas kita (QS. Al-Hujarat 49: 18), mengetahui suara hati kita. Bahkan bisa lebih dekat dari itu (QS. Qaaf 50: 16), dan mendengar doa-doa kita (QS. Ali Imran 3: 38). Kesadarann akan kehadiran Allah termasuk pada keimanan pada hal-hal yang tidak terlihat (gaib) karena Allah adalah Dzat yang melihat kita dan sama sekali tidak terlihat oleh kita.
Namun takwa juga merupakan kemenyatuan kita dengan Allah. Kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kemenyatuan kita dengan Allah bersifat spiritual-transendental. Ini sisi vertikal dari kesadaran kemenyatuan kita kepada Allah (takwa). Sisi lain, yang horizontal. Karena hanya Allah yang Tuhan maka semua manusia diperlakukan sebagai sesama hamba-Nya yang setara, bermartabat, dan mulia. Relasi antar hamba yang terlahir dari kesadaran kemenyatuan dengan-Nya adalah relasi kesalingan dan kerja sama (mubadalah).
Ada banyak orang yang mungkin mengklaim menyatu dengan Allah atau menjadi juru bicara-Nya, tetapi jika tidak kita barengi dengan relasi kesalingan dan persaudaraan antar sesama maka klaimnya adalah bohong dan palsu.
“Misalnya, ” tulis Kang Faqih, “Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah dan rasul-Nya mengajak pada kehidupan (Qs. Al-Anfaal 8: 24). Maka, jika ada pendakwah yang mengajak pada kematian, pasti ia pembohong. Al-Qur’an menegaskan misinya adalah kasih sayang (QS. Al-Anbiyaa’ 21: 107).
Maka, penceramah Islam yang menebar kebencian dan permusuhan adalah pasti pembohong. Al-Qur’an menegaskan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan adalah kemitraan dan kesalingan (QS. At-Taubah 9: 71). Baik dalam hal ritual, familial, maupun sosial.
Dengan demikian, ustadz atau ustadzah yang sehari-hari merendahkan perempuan di hadapan laki-laki, menganggapnya harus selalu taat dan patuh kepadanya, bukan sama-sama patuh kepada Allah, memintanya tunduk dan melayani laki-laki, bukan saling melayani satu sama lain untuk tunduk pada Allah dipastikan mereka adalah pembohong.” (bersambung)