Fenomena mom shaming yang menyerang para ibu terkait pola asuh seringkali kita temui. Tetapi ternyata komentar menghakimi atau meremehkan yang mengganggu para ibu juga dialami oleh para ayah.
New York Times mengungkapkan data dari survey nasional di Amerika bahwa, dua tahun belakangan sebanyak 52% dari total laki-laki yang memiliki anak berusia di bawah 13 tahun mengalami dad shaming.
Bentuk perilaku dad shaming ini bisa berupa komentar miring, kritik, bahkan celaan atas pola asuh mereka terapkan. Tidak jarang, dad shaming ini berdampak pada penurunan kepercayaan diri sang ayah dan justru membuatnya selalu khawatir melakukan kesalahan dalam mengemban tanggung jawab.
Hal yang sama rupanya juga banyak terjadi di Indonesia. Seiring berkembangnya zaman dan akses informasi melalui media yang semakin mudah, fenomena dad shaming ini juga semakin sering kita jumpai dalam berbagai bentuk.
Siapa pun bisa saja menjadi pelaku dad shaming: orang tua dan mertua, teman kantor, tetangga, orang tua anak lain, bahkan istri pun bisa menjadi pelaku dad shaming secara sengaja maupun tidak sengaja.
Tentu saja penyebabnya bisa banyak hal, mulai dari pandangan pola asuh yang berbeda, hingga faktor narsisme yang membuat pelaku merasa lebih superior dan lebih baik daripada orang lain. Hal ini bisa menyebabkan si ayah tersebut stres atau depresi.
Percaya atau tidak, fenomena “sekadar mengingatkan” yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia menjadi salah satu timbulnya berbagai konflik. Hal ini dikarenakan banyak orang memberikan saran saat tidak diminta dan di waktu yang tidak tepat, sehingga biasanya akan sulit diterima dengan baik.
Apalagi jika saran tak diminta itu berkaitan dengan pola asuh yang sudah disepakati masing-masing pasangan. Misalnya, seseorang yang tidak tahu alasan dan latar belakang kondisi anak memberi saran pada sangat ayah, “Kok anaknya kurusan? Air susu ibunya (ASI) sedikit, ya? Harusnya kamu sebagai ayah bisa membahagiakan istri dan rajin mengajak istri belanja supaya ASInya melimpah.”
Tak bisa dipungkiri saran dan komentar yang dilontarkan orang lain seperti itu membuat jengkel dan menyentil rasa kepercayaan diri. Padahal, orang tersebut tidak tahu perjuangan apa yang telah orang tua lakukan agar anak tetap sehat dan kebutuhan keluarga tercukupi. Bahkan meskipun saran dan komentar tersebut datangnya dari orang tua maupun kerabat dekat sendiri, bukan berarti itu tidak membuat sang ayah kehilangan kepercayaan diri.
Pepatah mengatakan bahwa saat seorang anak terlahir ke dunia, di saat yang sama lahirlah sosok ayah dan ibunya. Dengan kata lain, menjadi ayah dan ibu adalah sebuah hal baru yang akan membutuhkan proses belajar tanpa henti.
Namun, pada kenyataannya banyak sekali orang yang serta-merta merasa lebih tahu dan berhak mengintervensi dalam pola pengasuhan keluarga lain yang berbeda hanya karena mereka memiliki pengalaman lebih dulu dalam hal mengasuh anak.
Faktanya, ilmu pengetahuan terus berkembang dan pola asuh anak pun beragam jenisnya. Dalam hal ini, dad shaming biasanya dilakukan jika sang ayah menerapkan metode belajar yang berbeda dan jarang dijumpai oleh masyarakat pada umumnya. Padahal tidak semua hal yang berbeda berarti salah. Jadi, stop menghakimi pola asuh orang lain. []