Mubadalah.id – Judul di atas, perlu saya katakan, terinspirasi dari salah satu judul tulisan Kiai Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Yaitu artikelnya yang berjudul “Islam Merangkul Nusantara.” Sebuah artikel epik yang menjadi bagian dari buku kumpulan artikel para intelektual Muslim Indonesia yang berjudul: Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan. Dalam tulisannya, Gus Yahya mencoba memantik ingatan pembaca tentang kemegahan peradaban Nusantara dan ekspresi Islamnya yang unik. Ekspresi Islam yang menampakkan nilai-nilai ke-Nusantara-an.
Tulisan ini tidak bermaksud mengulas panjang lebar konsep Islam Nusantara. Rasanya sudah banyak tulisan yang membahas konsep dasar Islam Nusantara. Artikel Gus Yahya yang saya sebutkan di awal merupakan satu di antaranya. Dalam tulisan ini, saya ingin membahas, bagaimana jika NU dengan Islam Nusantara-nya merangkul feminisme? Satu kerja yang “sebenarnya” sudah banyak dilakukan oleh para intelektual Muslim dan ulama NU.
Gus Yahya Menolak Feminisme?
Sebelum membahas dialektika antara NU dan feminisme, agaknya kita perlu sedikit membahas ke-viral-an Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, di bulan Januari kemarin. Di mana, banyak kalangan yang “menilai”, kalau potongan pidato Gus Yahya yang beredar luas di media sosial mengarah kepada penolakan terhadap feminisme.
Dalam pidatonya, Gus Yahya berkata, “Saya sejak kemarin, saya tegaskan, kita ini, NU ini ndak usah ikut-ikutan macam-macam ideologi gender yang dikembangkan dari ranah budaya yang lain. Ndak usah. Ini saya ingatkan Fatayat dan Muslimat jangan ikut-ikutan feminisme. Feminisme itu ndak tepat untuk kita. Kita harus mulai dengan wawasan keagamaan yang kita miliki.”
Berdasarkan “sepenggal statement” itu banyak yang terburu-buru menyimpulkan kalau Gus Yahya menolak feminisme. Itu bukan produk NU. Itu produk Barat. Jadi, kita perlu menolaknya. Sesederhana itu orang-orang menyimpulkan pidato Gus Yahya.
Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam artikel “Benarkah Gus Yahya Menolak Feminisme?” mencoba menengahi keterburuan kesimpulan orang-orang terhadap pidato Gus Yahya. Menurutnya, kalau mencermati keseluruhan pidato Gus Yahya, tidak hanya berdasarkan sepenggal statement, maka Gus Yahya sebenarnya ingin mengingatkan, agar warga NU tetap menjaga akar kultural sendiri, yaitu Aswaja an-Nahdliyah (baca: Islam Nusantara ala NU), dalam menerima isme-isme dari luar termasuk feminisme. Sebagaimana ajakan Gus Yahya, bahwa dalam menyuarakan kesetaraan gender, “Kita harus mulai dengan wawasan keagamaan yang kita miliki.”
Hal ini sebenarnya masih dalam koridor diskursus feminisme. Namun, tidak secara mbulat mendasari paradigma dan gerakan dari feminisme ala Barat, melainkan mengkonstruksi dan mendasari kesetaraan gender dari ajaran Islam dan akar budaya Nusantara sendiri.
Ulama NU Merangkul Feminisme
Feminisme merupakan produk luar Nusantara. Sebagaimana Nadya Karima Melati dalam Membicarakan Feminisme, bermula di New York pada 1884 M. Awal kemunculannya, istilah feminisme mengarah untuk penyebutan gerakan sosial yang mengusung hak-hak perempuan. Dan, dalam proses perkembangannya, feminisme tidak lagi sekadar gerakan sosial, melainkan juga telah menjadi ilmu pengetahuan dan alat analisis bagi ketidak-adilan relasi gender.
Apakah feminisme datang sebagai tamu yang ingin menjadi keluarga, atau malah musuh yang ingin menghancurkan akar budaya Nusantara? Hal ini bergantung dari bagaimana kita membawa dialektika feminisme di negeri ini. Yang jelas dalam hal ini adalah spirit feminisme menghendaki agar perempuan tidak tertindas. Persoalan kemudian adalah, bagaimana kita mengukur patriarki dan mengupayakan kesetaraan gender? Apakah sepenuhnya dengan ukuran ala Barat, atau dengan memperhitungkan realitas dan kearifan budaya Nusantara?
Dalam masalah ini, para intelektual Muslim dan ulama NU sebenarnya sudah lama tampil sebagai penengah dari feminisme dan budaya (Islam) Nusantara. Bahkan, salah satu ulama sepuh NU, yaitu Kiai Husein Muhammad (Buya Husein), secara khusus masuk dalam diskursus kesetaraan gender dan dikenal sebagai kiai feminis. Sejauh ini, sikap tokoh-tokoh NU yang terlibat dalam diskursus kesetaraan gender, tidak menolak dan juga tidak menerima mentah-mentah feminisme yang datang dari Barat.
Mendialogkan Feminisme dengan Islam
Mereka mendialogkan feminisme dan ajaran Islam. Sehingga, memunculkan berbagai paradigma kesetaraan gender yang berangkat dari paham keislaman. Misalnya, Konsep Keadilan Hakiki bagi Perempuan oleh Nyai Nur Rofiah, dan Qira’ah Mubadalah oleh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, yang merupakan paradigma kesetaraan gender yang berangkat dari ajaran Islam. Kedua ulama tersebut, sebagaimana Buya Husein, juga termasuk ulama dari kalangan NU.
Sikap ulama NU yang merangkul feminisme, lebih khusus lagi, nampak dari Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi Ketua Umum PBNU. Sebagaimana Ashilly Achidsti dalam Gender Gus Dur, ketika di masa Gus Dur banyak kalangan NU yang menolak kesetaraan gender dan feminisme, sebab menurut mereka itu adalah produk Barat.
Gus Dur meski tidak secara khusus terjun dalam diskursus kesetaraan gender, namun dia tidak ikut-ikutan menolak. Gus Dur justru merangkul feminisme, dan mengenalkan kesetaraan gender di kalangan pesantren dengan menggunakan istilah “mitra sejajar”. Sebab, kata gender masih belum akrab bahkan berkonotasi negatif, sebaliknya telinga masyarakat Nusantara lebih dapat menerima kata mitra sejajar.
Sikap Gus Dur yang mengenalkan kesetaraan gender dengan istilah “mitra sejajar” sedikitnya menggambarkan upayanya dalam merangkul feminisme. Dalam hal ini, Gus Dur tidak sepenuhnya berpaku pada konsep feminisme ala Barat, dia cukup mengambil spirit feminisme: melawan ketertindasan perempuan, dan selebihnya untuk bentuk dan dasar pemikiran kesetaraan gender adalah didasari pada ajaran Islam dan realitas akar budaya Nusantara sendiri.
Membicarakan Feminis-NU-isme
Jadi beberapa ulama atau intelektual Muslim NU telah merangkul feminisme. Mereka tidak menolak dengan keras feminisme, dan juga tidak ber-taklid buta atasnya. Mereka mendialogkan spirit feminisme dengan ajaran Islam dan kearifan Nusantara. Hal ini termasuk apa yang dalam bahasa Gus Yahya disebut sebagai proses “Islam yang terus belajar.”
Dahulu, ketika awal Islam datang sebagai tamu di Nusantara, maka Islam belajar (berdialog) dengan budaya Nusantara, sehingga pada gilirannya “Islam Nusantara” menjadi bagian dari budaya Nusantara itu sendiri. Sekarang, Islam Nusantara sebagai akar budaya sendiri, berhadapan dengan tamu yang bernama feminisme. Maka, Islam di Nusantara yang, sebagaimana dijelaskan Gus Yahya, selalu dalam kondisi belajar terus-menerus seharusnya juga dapat berdialog dengan feminisme.
Dalam hal ini, satu yang perlu kita catat, pegangan dasar feminisme, sebagaimana Nadya Karima Melati dalam Membicarakan Feminisme, adalah melawan ketertindasan perempuan. Oleh karena itu, maksud Islam berdialog dengan feminisme sebenarnya bukan pada upaya menjadikan feminisme sebagai sumber atau dasar rujukan Islam, melainkan cukup dengan belajar dari spirit feminisme atas perlawanan terhadap ketertindasan perempuan. Dan, untuk dasar kesetaraan gender kita tetap berangkat dari wawasan keagamaan dan akar budaya sendiri.
Produksi Pengetahuan Kesetaraan Gender
NU dapat kita katakan sudah memulai upaya produksi pengetahuan kesetaraan gender. Makanah al-Mar’ah fi al-Islam (Kedudukan Perempuan dalam Islam), yang lahir dari Munas NU di Lombok pada 1997 (sewaktu Gus Dur menjabat Ketua Umum PBNU), itu termasuk formulasi kesetaraan gender berdasarkan ajaran Islam.
Isi Makanah al-Mar’ah fi al-Islam, sebagaimana saya kutip dari Ashilly Achidsti dalam Gender Gus Dur: 1) Islam mengakui eksistensi perempuan sebagai manusia yang utuh dan karenanya patut dihormati. 2) Islam mengakui hak perempuan sama dengan hak laki-laki dalam hal pengabdian kepada agama, nusa, dan bangsa. 3) Islam mengakui adanya perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan karena perbedaan kodrati. 4) Islam mengakui peran publik perempuan di samping peran domestiknya. Dan 5) Islam menempatkan perempuan pada posisi setara dengan laki-laki.
Jadi dialog kesetaraan gender dalam khazanah produksi pengetahuan NU bukan sesuatu yang baru. Dan, ini termasuk pertemuan antara spirit kesetaraan gender feminisme dan ajaran keagamaan Islam ala NU. Kita dapat menyebutnya “feminis-NU-isme.” Atau kalau enggan dengan penggabungan istilah yang ke-Barat-an, maka sebut saja sebagai upaya mewujudkan keadaan “mitra sejajar”.
Dan apakah dialog feminisme dengan budaya (Islam) Nusantara perlu kita teruskan? Saya ingin menjawabnya dengan pesan Gus Dur, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur: “…yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang warga bangsa ini ikuti adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau (kearifan tradisi/akar budaya).” (Bebarengan)