Mubadalah.id – Kasus pemaksaan perkawinan terhadap perempuan di Indonesia masih tinggi, terutama pasca Covid 19. Data putusan Mahkamah Agung selama tahun 2018-2022 terdapat 213 kasus pernikahan bermasalah akibat bahaya pemaksaan perkawinan.
Seratus sembilan belas kasus di antaranya diputuskan dengan perceraian oleh pengadilan agama. Sementara data Komnas Perempuan mencatat bahwa pemaksaan perkawinan terhadap perempuan mengalami kenaikan bersamaan naiknya kasus pernikahan anak yang meningkat 300%.
Kasus pemaksaan perkawinan di Indonesia ini semakin rumit diatasi karena diperkuat oleh beberapa faktor; budaya, tafsir agama, dan regulasi negara yang memberikan peluang terhadap legitimasi praktik pemaksaan perkawinan.
Sementara pemaksaan perkawinan telah berdampak buruk secara sistemik terhadap perempuan, baik secara psikis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Praktik pemaksaan perkawinan menimbulkan dampak yang mengancam keselamatan jiwa pererempuan, seperti trauma psikis, depresi, stigma negatif, perceraian, konflik keluarga, perselingkuhan, dan pengucilan sosial, hingga bunuh diri akibat putus asa.
Pemaksaan perkawinan juga berdampak bahaya pada fungsi reproduksi perempuan, seperti terjadinya kekerasan seksual dalam perkawinan melalui pemaksaan hubungan intim.
Secara budaya, pemaksaan perkawinan mengancam terputusnya pendidikan perempuan. Secara ekonomi, pemaksaan perkawinan rawan menyebabkan penelantaran dan rapuhnya ekonomi yang mengancam keutuhan keluarga.
Dari sisi politik, pemaksaan perkawinan merampas hak perempuan dan anak untuk berkembang dan mengoptimalkan potensinya sebagai warga negara.
Hasil Musyawarah Keagamaan KUPI
Berdasarkan fakta di atas, hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II resmi menetapkan:
Pertama, banyak sekali dalil al-Qur’an dan hadis yang melarang tindakan yang mengakibatkan bahaya, baik diri sendiri maupun orang lain.
Demikian pula dalam beberapa hadis Nabi yang melarang pemaksaan perkawinan, seperti dalam Shahih Bukhari No. 5328 yang menceritakan aduan istri Tsabit bin Qois yang ia paksa menikah.
Setelah mendengarnya, Rasul mempersilahkan istrinya untuk mengembalikan mahar dan meminta Tsabit untuk menceraikannya. Praktrik Rasulullah di atas menunjukkan kepeduliannya terhadap keselamatan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.
Kedua, berdasarkan dalil-dalil yang ada serta dampak negatif di atas, maka Musayawarah Keagamaan KUPI memutuskan bahwa melindungi perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan hukumnya adalah wajib.
Oleh karena itu, semua pihak, baik individu, keluarga, masyarakat, agama, dan negara, juga berkewajiban untuk bersama-sama mencegah dan meminimalisir bahaya tersebut melalui berbagai strategi, termasuk membuat regulasi yang mampu menjaga perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan. (Rilis)