Mubadalah.id – Dalam pandangan tafsir fikih dan pemikiran keagamaan mainstream, sebagaimana terungkap dalam kitab-kitab fikih, perkawinan dirumuskan sebagai, aqd wadha’abu al-syaari li yufid milk istimta’ al-rajul bi al-marah wa hill istimta’ al-marah bi al-rajul (akad, transaksi, atau ikatan yang diatur agama (syara’) dengan memberi laki-laki hak milik penikmatan seksual atas istrinya dan halalnya istri menikmati tubuh suaminya).
Yang penulis maksud hak milik penikmatan seksual (milk al-Istimta’) adalah hak milik pemanfaatan (milk al-Intifa’).
Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa perkawinan hanya berlaku bagi kepentingan kenikmatan seksual laki-laki pada satu sisi dan adanya hubungan yang tidak seimbang antara suami dan istri pada sisi yang lain.
Tampak bahwa pemilik manfaat kenikmatan atas tubuh adalah laki-laki, meskipun perempuan juga bisa mendapatkan kenikmatan tersebut.
Dalam arti lain, definisi fikih di atas menunjukkan bahwa laki-laki bisa memperoleh kenikmatan seksual kapan saja dan istri berkewajiban memenuhinya.
Sementara itu, istri hanya bisa memperolehnya manakala suami memberikannya. Kenikmatan seksual bagi suami adalah hak, sementara bagi istri adalah kewajiban. Ini memunculkan ketidak seimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri.
Ketimpangan relasi seperti ini sangat potensial pada keberlangsungan proses kehidupan perkawinan yang tidak sehat dan lebih dari itu, membuka ruang atau kemungkinan terjadinya kekerasan terhadap istri.
Pesan yang terkandung dalam ayat 21 surat ar-Rum seperti di atas, seharusnya menggugah kesadaran kita untuk dapat merumuskan perkawinan bukan sebagai akad yang hanya memberikan hak sepihak. Melainkan sebagai akad yang memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antara suami-istri. Serta menjadikannya sebagai wahana kreatif untuk membangun peradaban manusia yang adil dan beradab.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.