Mubadalah.id – Jika merujuk konsep mar’ah shalihah dalam perspektif Mubadalah, maka tidak semestinya hanya dikaitkan dengan relasi perempuan terhadap suaminya.
Karena bukankah setiap manusia, perempuan dan laki-laki memiliki relasi dengan Allah sang Pencipta, dengan keluarganya dan masyarakatnya.
Pernyataan Nabi: “Maukah aku tunjukan simpanan terbaik seseorang?. Mar’ah shalihah (perempuan shalihah) adalah yang ketika dilihatnya menyenangkan, ketika diperintah menurut. Dan mau menjaga hidupnya dan harta suami.”
Hal ini Nabi nyatakan di hadapan sahabat-sahabat yang miskin. Saat itu, mereka mendatangi Nabi dan mengeluhkan bahwa perintah-perintah Qur’an banyak yang mengarah kepada orang-orang kaya, seperti haji, zakat, dan shadaqah (HR. Sunan Abu Dawud).
Mereka, karena kemiskinannya, merasa tidak memiliki apa-apa untuk bisa beramal shalih lebih banyak.
Dalam konteks ini, Nabi menyatakan mar’ah shalihah (perempuan shalihah) sebagai harta atau simpanan terbaik. Berarti, konteksnya adalah menenangkan, melipur lara, dan memberi kesempatan kepada orang-orang tertentu untuk tetap bisa merasakan kenikmatan dan tetap bisa melakukan amal shalih.
Tetapi keshalihan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, bermakna luas, seluas makna shalih itu sendiri seperti layak, patut, baik, dan bermanfaat.
Di samping pemaknaan ulang terhadap beberapa teks hadis yang bias, pengajaran hadis juga harus kita perkuat dengan teks-teks yang secara jelas dan tegas memperkuat posisi sosial-politik perempuan.
Misalnya dalam teks-teks tentang perjuangan Siti Khadijah ra. dan beberapa sahabat perempuan yang lain, tentang kemitraan laki-laki dan perempuan.
Kemudian tentang hak perempuan dalam perkawinan dan perceraian, tentang aktivitas sosial-politik perempuan yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW.
Juga termasuk tentang kehidupan surgawi yang ada di telapak kaki ibu (perempuan), dan beberapa teks lain mengenai hak-hak perempuan. []