Mubadalah.id – Dalam memperingati Hari Buruh Internasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan sejumlah kasus yang hingga saat ini masih terus dihadapi oleh para perempuan pekerja.
Catatan tahunan Komnas Perempuan menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2022, ada sebanyak 93 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tempat kerja. Bahkan ada sebanyak 859 kasus terkait Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Pada kasus yang korban adukan langsung ke Komnas Perempuan, sebagian besar adalah kasus terkait kekerasan seksual dan terkait kesulitan mengakses hak kesehatan reproduksi dan maternitas perempuan pekerja.
Pengalaman pada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan itu dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik perempuan pekerja. Sehingga menghalanginya untuk bekerja secara optimal atau bahkan menyebabkannya kehilangan pekerjaan.
“Pembahasan dan pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga juga penting menjadi prioritas DPR dan Pemerintah pada sidang berikutnya. Hal ini sebagai langkah sungguh-sungguh untuk meneguhkan K3,” jelas ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, pada 1 Mei 2023.
Komnas Perempuan juga menyebutkan bahwa hingga saat ini belum ada payung hukum yang dapat menjangkau sektor pekerja rumah tangga yang mayoritasnya adalah perempuan.
UU PKDRT
Sementara, UU Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hanya mencakup sebagian pengalaman pekerja rumah tangga ketika mereka tinggal satu atap dengan majikannya.
“Kita tidak dapat mengandalkan Perpu Cipta Kerja untuk memberikan pelindungan bagi perempuan pekerja di sektor formal. Apalagi di sektor informal seperti pekerja rumah tangga,” imbuh Andy.
Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa muatan dari UU Cipta Kerja yang teradopsi di dalam Perpu Cipta Kerja tanpa perbaikan. Akibatnya, perempuan pekerja justru semakin rentan mengalami eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan.
Sebagaimana diketahui, pada 30 Desember 2022 DPR dan Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Pengesahan ini mendapatkan kritik karena terkesan terburu-buru dan terkurung pada partisipasi prosedural.
“Proses pembahasan yang kurang partisipatif dalam menindak lanjuti putusan MK pada permohonan uji formil UU Cipta Kerja telah berdampak secara substantif. Terutama berdampak pada pelindungan hak-hak konstitusional pekerja. Khususnya perempuan pekerja,” pungkas komisioner Tiasri Wiandani. (Rilis)