Mubadalah.id – Fenomena staycation atau kegiatan menginap bareng bos di suatu tempat sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja karyawan viral yang ada di media sosial kini menjadi sorotan publik. Persoalan ini mendapat kecaman publik karena memanfaatkan jabatan atau relasi kuasa untuk kepentingan pribadi yang merugikan pekerja khususnya perempuan.
Perlu kita ketahui bersama bahwa pelecehan dan kekerasan di tempat kerja bukanlah sekedar cerita, tetapi merupakan kenyataan yang sering para pekerja alami, terutama perempuan di Indonesia. Praktik kekerasan dan pelecehan bukanlah peristiwa yang baru. Praktik tersebut telah berlangsung lama tetapi baru terungkap, karena pekerja yang semakin melek dengan pengetahuan tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
Menurut saya, staycation merupakan kekerasan seksual yang memanfaatkan posisi lemah korbannya. Dalam kasus ini merupakan salah satu contoh kekerasan seksual dalam lingkup hubungan pekerjaan. Staycation pada kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini, merujuk pada ajakan pelaku yang merupakan atasan korban di tempat kerja sebagai syarat agar korban mendapatkan perpanjangan masa kerja.
Istilah lain dari kasus staycation adalah quid pro quo. Di mana jenis kasusnya sama, meminta imbalan layanan hubungan intim pada bawahannya.
Staycation atau quid pro quo termasuk bentuk kekerasan seksual. Karena pelaku memanfaatkan relasi kuasa yang dimiliki untuk mengambil keuntungan pada korban yang secara struktur posisinya lebih rendah. Kekerasan seksual yang diatur pada Pasal 11 ayat 3 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, juga termasuk dalam relasi hubungan kerja.
Belajar dari Kasus Staycation Cikarang
Hampir di setiap tempat kerja mengisyaratkan standar kecantikan. Entah itu good looking dan lain sebagainya. Seperti sudah umum kalau mau masuk kerja harus memiliki kriteria kecantikan, tinggi dan masih muda. Padahal dalam persyaratan resmi tidak ada (persyaratan tersebut). Namun itu sudah menjadi rahasia umum, agar diterima bekerja harus mempunyai kualifikasi cantik, putih dan lain-lain.
Pengamat Hukum Ketenagakerjaan, Andy William Sinaga menyampaikan bahwa fenomena staycation atau tidur bareng bos adalah fenomena yang tidak terbantahkan yang terjadi dalam hubungan industrial. Yakni antara atasan dan bawahan. Fenomena staycation tersebut ditengarai terjadi di banyak pabrik atau tempat kerja yang mayoritas pekerjanya merupakan kalangan perempuan.
Sedangkan sifat pekerjaannya relasi kuasa atau sub ordinasi, bos atau atasan dan bawahan dengan alasan-alasan tertentu. Seperti halnya memuluskan jabatan, terancam dengan pemutusan hubungan pekerjaan (PHK) atau dipecat maupun ada iming-iming sejumlah uang.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah menilai bahwa praktik perpanjangan kontrak melalui staycation yang terjadi di Cikarang sebagai bentuk pelanggaran HAM. Sehingga perlunya mengusut kasus tersebut menggunakan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hal tersebut sudah semestinya, karena hak atas pekerjaan yang layak merupakan bagian dari hak asasi manusia dan telah menjadi amanat konstitusi.
Praktik staycation sebenarnya menyalahi aturan soal ketenagakerjaan. Sebab dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan seseorang pekerja sudah bisa menjadi pegawai tetap jika sudah bekerja selama dua tahun. Sehingga mekanisme-mekanisme seperti itu yang harus perusahaan terapkan di bawah pengawasan Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas terkait.
Pemahaman, pengetahuan, kesadaran, dan komitmen bersama tentang hak atas pekerjaan yang layak merupakan hak asasi manusia yang harus kita penuhi. Kondisi kerja yang sehat dan aman harus kita ciptakan. Korporasi mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan prinsip bisnis HAM.
Nasib Pekerja Perempuan Pasca UU TPKS
Bagaimana Nasib pekerja perempuan pasca UU TPKS tahun 2022 lalu? Apakah sudah aman dan sejahtera? Pada 12 April 2022, DPR RI telah mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai tonggak hukum untuk menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia. Pengesahan kebijakan tersebut merupakan momentum penting bagi kelompok pejuang keadilan gender di Indonesia yang telah mengadvokasi isu ini selama 12 tahun.
Akan tetapi, tercapainya perlindungan konstitusional terhadap hak-hak perempuan masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Posisi pekerja perempuan masihlah rentan. Berdasarkan riset International Labour Organization (ILO) pada tahun 2022 mengatakan bahwa, 70,93% responden perempuan menyatakan pernah mengalami beberapa bentuk kekerasan atau pelecehan saat bekerja.
Catatan Akhir Tahun 2022 Komnas Perempuan mempunyai gambaran senada. Sebanyak 869 laporan kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan di ranah publik mayoritas terjadi di ranah siber, dan lagi-lagi bentuk paling umum adalah kekerasan seksual.
Setidaknya, ada beberapa kesimpulan yang bisa saya tuliskan melalui tulisan ini. Di antaranya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), pekerjaan pada ranah domestik harus kita akui setara dengan pekerjaan pada ranah publik, baik secara perlindungan hukum maupun jaminan kesejahteraannya. Berikutnya, agar mendorong sektor publik dan privat dalam mengimplementasikan UU TPKS.
Tanpa defenisi kekerasan seksual yang spesifik, serta kurangnya ancaman pidana bagi pelaku atau pengusaha yang tidak taat, UU TPKS akan berpotensi menjadi payung perlindungan yang lemah. Publik harus bekerja keras untuk memastikan bahwa undang-undang tersebut diterapkan dan kita tegakkan secara efektif di tempat kerja. Maka dari itu, sangatlah penting untuk mengawal isu ini oleh publik. []