• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Dinamika Gender dalam Budaya Populer

Kini, industri hiburan semakin berani menampilkan karakter yang menabrak arus utama. Contohnya, saja dalam satu dekade terakhir, film pahlawan tidak hanya memunculkan karakter heroik dari kaum Adam

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
22/05/2023
in Publik
0
Budaya Populer

Budaya Populer

902
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Women are in many ways second-class citizens in the United States in 2016, because of the way that we’re portrayed in popular culture” (Geena Davis)

Mubadalah.id – Bagi seorang katris sekaligus produser kenamaan Hollywood, Geena Davis, dunia perfilman Hollywood dalam tujuh tahun terakhir memang lebih terbuka dalam menyajikan kisah cerita dan keragaman gender. Mereka tak lagi menampilkan ratu atau pahlawan dari individu kulit putih tapi juga mengedepankan aktor dan aktris kulit berwarna. Tapi, perlu dicatat bahwa fenomena ini butuh perjuangan panjang.

Beberapa dekade sebelumnya, perempuan di Amerika Serikat, sama seperti di belahan dunia lainnya. Mereka masih memiliki pekerjaan rumah menumpuk terkait kesenjangan gender dan bagaimana menyejahterakan perempuan. Salah satu sumber problemnya, menurut Geena adalah kurang akomodatifnya ruang publik terhadap perempuan, termasuk dalam industri perfilman Hollywood.

Sebelas dua belas dengan apa yang sedang Geena Davis suarakan, Jumat (19/05) lalu saya berkesempatan menggelar diskusi akademik bertema bagaimana dinamika gender dalam budaya populer (selanjutnya ditulis budaya pop) bersama kawan-kawan dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB) Malang. Acara ini bekerja sama dengan Mubadalah.id untuk membahas bagaimana akar ketimpangan gender dalam industri itu terjadi.

Tidak hanya membahas mengenai akar sejarahnya, acara yang dipandu oleh moderator Amalia Nur Andini, dosen Hubungan Internasional UB ini juga mengulas bagaimana perdebatan gender di kemudian hari mengakibatkan munculnya gerakan anti-feminisme di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Dinamika Gender dalam Budaya Populer

Menggeliatnya industri budaya populer yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari, seperti musik, film, televisi, mode, seni visual, sastra, olahraga, permainan video, meme, tren internet, dan banyak lagi. Sejatinya telah mulai sejak awal abad-20 atau sekitar tahun 1900-an.

Baca Juga:

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Keadilan sebagai Prinsip dalam Islam

Tauhid sebagai Dasar Kesetaraan

Waktu itu, industri seni hiburan masih banyak berpusat di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa Barat. Produk yang mereka hasilkan pun masih sangat terbatas, seperti film bisu, drama teater, komik strip, tarian ragtime, dan sebagainya. Untuk relasi gender, tema yang mereka angkat masih mengakar kuat dari budaya patriarki.

Perempuan tergambarkan fokus pada urusan domestik, atau jika tidak mereka hanya fokus untuk menarik perhatian laki-laki sepanjang hidupnya agar dapat bertahan hidup. Tema dan topik sejenis cukup langgeng hingga terbukanya kesempatan bagi sejumlah perempuan untuk berkarier dalam ruang publik.

Pada masa 1960-1970an, dengan perempuan mulai bekerja, paradigma perempuan hanya bisa mengelola urusan rumah tangga mulai tergoyahkan. Hal ini berbarengan dengan munculnya sejumlah serial televisi seperti “The Mary Tyler Moore Show” yang menampilkan Mary Tyler Moore, perempuan  independen dan berpenghasilan. Sosok yang jarang muncul pada masa tersebut.

Karakter Mary pada sitkom Hollywood tadi bersamaan waktunya dengan gelombang kedua gerakan feminisme. Momentum ini kemudian semakin membuat para aktivis perempuan untuk bergerak memperjuangkan kesetaraan gender lebih kuat.

Buktinya, di masa selanjutnya semakin banyak produk budaya pop yang mengangkat keragaman aktivitas sosial dan personal sosok perempuan. Meski sebagian besar masih sebatas pada lingkup kerja administrasi di perusahaan swasta.

Kini dengan menggeliatnya inovasi di bidang teknologi dan media sosial. Ruang perempuan untuk bersuara semakin luas. Hingga akhirnya mendorong industri hiburan mengadopsi permintaan publik dengan menampilkan lebih banyak ragam wajah dan gender dalam produk budaya populer.

Perdebatan Budaya Populer di tahun 2000-an

Dengan basis kesadaran bahwa masyarakat global tidak hanya terbagi dalam dua golongan: hitam dan putih. Kini, industri hiburan semakin berani menampilkan karakter yang menabrak arus utama. Contohnya, saja dalam satu dekade terakhir, film pahlawan tidak hanya memunculkan karakter heroik dari kaum Adam. Tapi semakin banyak sosok superhero dari kaum Hawa, misalnya “Wonder Woman”, “Mulan”, hingga “The Hunger Games”.

Di Indonesia, kita memiliki sejumlah film dengan tokoh utama perempuan yang mendobrak tradisi seperti “Perempuan Berkalung Sorban”, “Sri Asih”, dan sebagainya. Selain film pahlawan, sejumlah drama televisi juga menampilkan sosok yang lebih fresh.

Bahkan Netflix, perusahaan hiburan berskala global, baru saja menyajikan tokoh Cleopatra dengan figur aktris kulit hitam yang lalu menimbulkan kontroversi dan penolakan sejarawan terutama di Mesir. Di mana mereka menilai bahwa kebijakan Netflix bukanlah ramah gender dan mendukung keseragaman. Tapi justru mengaburkan sejarah karena telah mengaburkan fakta sejarah bahwa Cleopatra bukanlah wanita kulit hitam.

Pro Kontra Gerakan Feminisme

Tidak hanya mispersepsi terkait pendekatan keragaman gender, perdebatan terkait relasi gender dan budaya pop akhir-akhir ini ternyata juga menimbulkan kesalahpahaman. Yakni anggapan bahwa perempuan sekarang banyak menuntut, atau kaum hawa selalu ingin diistimewakan.

Tak heran, sejumlah pihak kemudian menginisiasi gerakan anti-feminisme. Di Indonesia, gerakan ini digawangi oleh sejumlah kelompok Muslim konservatif. Di mana mereka menilai bahwa Islam dan feminisme tidak bisa sejalan. Sementara itu di Korea Selatan, kebijakan ramah perempuan dan industri hiburan yang responsif gender pun mengalami respon sama.

Bahkan akhir tahun lalu, muncul desakan agar Kementerian Kesetaraan Gender dihapuskan karena beberapa pihak menilai bahwa tuntutan aktivis perempuan telah terwujud, dan kini justru laki-laki lah yang menjadi korban.

Lalu, dengan segala pro kontra yang ada, apakah kemudian gerakan feminisme akan meredup? Dalam jangka pendek, pro kontra memang dapat menciptakan polarisasi dan konflik dalam masyarakat. Namun, seiring waktu, konflik ini juga dapat mendorong refleksi dan transformasi sosial yang lebih dalam terkait dengan isu-isu gender. Dan, untuk mewujudkan perubahan itu, tidak cukup kita hanya berharap. Mari terus bergerak dan bersuara! []

Tags: Budaya PopulerfeminismeGenderIndustri KreatifkeadilanKesetaraanUniversitas Brawijaya
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Ahmad Dhani

Ahmad Dhani dan Microaggression Verbal pada Mantan Pasangan

5 Juli 2025
Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nikah Massal

    Menimbang Kebijakan Nikah Massal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Ulama Perempuan yang Membisu dalam Bayang-bayang Kolonialisme Ekonomi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perjanjian Pernikahan
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia
  • Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak
  • Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID