“Women are in many ways second-class citizens in the United States in 2016, because of the way that we’re portrayed in popular culture” (Geena Davis)
Mubadalah.id – Bagi seorang katris sekaligus produser kenamaan Hollywood, Geena Davis, dunia perfilman Hollywood dalam tujuh tahun terakhir memang lebih terbuka dalam menyajikan kisah cerita dan keragaman gender. Mereka tak lagi menampilkan ratu atau pahlawan dari individu kulit putih tapi juga mengedepankan aktor dan aktris kulit berwarna. Tapi, perlu dicatat bahwa fenomena ini butuh perjuangan panjang.
Beberapa dekade sebelumnya, perempuan di Amerika Serikat, sama seperti di belahan dunia lainnya. Mereka masih memiliki pekerjaan rumah menumpuk terkait kesenjangan gender dan bagaimana menyejahterakan perempuan. Salah satu sumber problemnya, menurut Geena adalah kurang akomodatifnya ruang publik terhadap perempuan, termasuk dalam industri perfilman Hollywood.
Sebelas dua belas dengan apa yang sedang Geena Davis suarakan, Jumat (19/05) lalu saya berkesempatan menggelar diskusi akademik bertema bagaimana dinamika gender dalam budaya populer (selanjutnya ditulis budaya pop) bersama kawan-kawan dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya (UB) Malang. Acara ini bekerja sama dengan Mubadalah.id untuk membahas bagaimana akar ketimpangan gender dalam industri itu terjadi.
Tidak hanya membahas mengenai akar sejarahnya, acara yang dipandu oleh moderator Amalia Nur Andini, dosen Hubungan Internasional UB ini juga mengulas bagaimana perdebatan gender di kemudian hari mengakibatkan munculnya gerakan anti-feminisme di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Dinamika Gender dalam Budaya Populer
Menggeliatnya industri budaya populer yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari, seperti musik, film, televisi, mode, seni visual, sastra, olahraga, permainan video, meme, tren internet, dan banyak lagi. Sejatinya telah mulai sejak awal abad-20 atau sekitar tahun 1900-an.
Waktu itu, industri seni hiburan masih banyak berpusat di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa Barat. Produk yang mereka hasilkan pun masih sangat terbatas, seperti film bisu, drama teater, komik strip, tarian ragtime, dan sebagainya. Untuk relasi gender, tema yang mereka angkat masih mengakar kuat dari budaya patriarki.
Perempuan tergambarkan fokus pada urusan domestik, atau jika tidak mereka hanya fokus untuk menarik perhatian laki-laki sepanjang hidupnya agar dapat bertahan hidup. Tema dan topik sejenis cukup langgeng hingga terbukanya kesempatan bagi sejumlah perempuan untuk berkarier dalam ruang publik.
Pada masa 1960-1970an, dengan perempuan mulai bekerja, paradigma perempuan hanya bisa mengelola urusan rumah tangga mulai tergoyahkan. Hal ini berbarengan dengan munculnya sejumlah serial televisi seperti “The Mary Tyler Moore Show” yang menampilkan Mary Tyler Moore, perempuan independen dan berpenghasilan. Sosok yang jarang muncul pada masa tersebut.
Karakter Mary pada sitkom Hollywood tadi bersamaan waktunya dengan gelombang kedua gerakan feminisme. Momentum ini kemudian semakin membuat para aktivis perempuan untuk bergerak memperjuangkan kesetaraan gender lebih kuat.
Buktinya, di masa selanjutnya semakin banyak produk budaya pop yang mengangkat keragaman aktivitas sosial dan personal sosok perempuan. Meski sebagian besar masih sebatas pada lingkup kerja administrasi di perusahaan swasta.
Kini dengan menggeliatnya inovasi di bidang teknologi dan media sosial. Ruang perempuan untuk bersuara semakin luas. Hingga akhirnya mendorong industri hiburan mengadopsi permintaan publik dengan menampilkan lebih banyak ragam wajah dan gender dalam produk budaya populer.
Perdebatan Budaya Populer di tahun 2000-an
Dengan basis kesadaran bahwa masyarakat global tidak hanya terbagi dalam dua golongan: hitam dan putih. Kini, industri hiburan semakin berani menampilkan karakter yang menabrak arus utama. Contohnya, saja dalam satu dekade terakhir, film pahlawan tidak hanya memunculkan karakter heroik dari kaum Adam. Tapi semakin banyak sosok superhero dari kaum Hawa, misalnya “Wonder Woman”, “Mulan”, hingga “The Hunger Games”.
Di Indonesia, kita memiliki sejumlah film dengan tokoh utama perempuan yang mendobrak tradisi seperti “Perempuan Berkalung Sorban”, “Sri Asih”, dan sebagainya. Selain film pahlawan, sejumlah drama televisi juga menampilkan sosok yang lebih fresh.
Bahkan Netflix, perusahaan hiburan berskala global, baru saja menyajikan tokoh Cleopatra dengan figur aktris kulit hitam yang lalu menimbulkan kontroversi dan penolakan sejarawan terutama di Mesir. Di mana mereka menilai bahwa kebijakan Netflix bukanlah ramah gender dan mendukung keseragaman. Tapi justru mengaburkan sejarah karena telah mengaburkan fakta sejarah bahwa Cleopatra bukanlah wanita kulit hitam.
Pro Kontra Gerakan Feminisme
Tidak hanya mispersepsi terkait pendekatan keragaman gender, perdebatan terkait relasi gender dan budaya pop akhir-akhir ini ternyata juga menimbulkan kesalahpahaman. Yakni anggapan bahwa perempuan sekarang banyak menuntut, atau kaum hawa selalu ingin diistimewakan.
Tak heran, sejumlah pihak kemudian menginisiasi gerakan anti-feminisme. Di Indonesia, gerakan ini digawangi oleh sejumlah kelompok Muslim konservatif. Di mana mereka menilai bahwa Islam dan feminisme tidak bisa sejalan. Sementara itu di Korea Selatan, kebijakan ramah perempuan dan industri hiburan yang responsif gender pun mengalami respon sama.
Bahkan akhir tahun lalu, muncul desakan agar Kementerian Kesetaraan Gender dihapuskan karena beberapa pihak menilai bahwa tuntutan aktivis perempuan telah terwujud, dan kini justru laki-laki lah yang menjadi korban.
Lalu, dengan segala pro kontra yang ada, apakah kemudian gerakan feminisme akan meredup? Dalam jangka pendek, pro kontra memang dapat menciptakan polarisasi dan konflik dalam masyarakat. Namun, seiring waktu, konflik ini juga dapat mendorong refleksi dan transformasi sosial yang lebih dalam terkait dengan isu-isu gender. Dan, untuk mewujudkan perubahan itu, tidak cukup kita hanya berharap. Mari terus bergerak dan bersuara! []