• Login
  • Register
Senin, 7 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Prinsip Mubadalah dalam Relasi Umat Beragama (Bagian 2)

Zain Al Abid Zain Al Abid
17/07/2019
in Publik
0
Prinsip Mubadalah dalam Relasi Umat Beragama (Bagian 2)
74
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.Id– Berikut ini prinsip Mubadalah dalam relasi umat beragama (Bagian 2). Menurut KH. Faqihuddin AK dalam bukunya Qiraah Mubadalah, kata mubadalah berasal daru akar kata “b,d,l” (badal) yang berarti mengganti, mengubah dan menukar. Akar kata ini dalam Alquran digunakan sebanyak 44 kali dalam berbagai bentuk kata dengan makna senada.

Sementara kata mubadalah sendiri merupakan bentuk kesalingan (mufa`alah) dan kerjasama antara dua pihak (musyarokah), untuk makna itu yang berarti kesalingan, mengganti, mengubah atau saling menukar satu sama lain.

Prinsip Mubadalah merupakan sebuah cara pandang dalam memahami sebuah relasi tertentu antara dua pihak yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerjasama, kesalingan, timbal balik dan prinsip resiprokal. Termasuk di dalamnya antar umat bergama.

Dalam konteks ini agama-agama mengajarkan kita untuk bersikap baik terhadap diri dan orang lain. Menghormati, menolong berbuat baik, tidak menyakiti diri sendiri. Dalam Islam disebut dengan akhlakul karimah (budi pekerti yang luhur) yang diajarkan oleh Nabi. Perbuatan baik ini bersifat resiprokal atau kesalingan. Dalam arti saling menghadirkan kebaikan dan saling menghindari keburukan. Hal ini dilakukan oleh seluruh umat beragama.

Masih menurut Kiai Faqih, hal ini disebut sebagai “tauhid sosial.” Di mana pada agama-agama juga mengajarkan keesaan Tuhan sebagai satu-satunya yang patut disembah dan ditaati secara mutlak. Bersaksi atas ketauhidan ini bermakna pula dua hal; pertama, pegakuan atas keesaan Tuhan, dan kedua pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan Tuhan.

Baca Juga:

Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

Tauhid memiliki dua dimensi yakni dimensi vertikal yaitu penghambaan manusia terhadap Tuhannya (hablum minannas) dan dimensi horizontal manusia dengan sesama manusia (hablum minannas).

Seseorang yang hanya menuhankan Allah dan hanya menghamba kepada-Nya secara vertikal, tentu saja tidak menghamba kepada yang lain atau kepada sesama manusia secara horizontal. Melainkan memandang sederajat terhadap siapapun kemudian bekerjasama, saling tolong menolong dan bahu membahu menciptakan kehidupan yang baik, damai, adil dan sejahtera.

Ketauhidan sosial ini kemudian mengantarkan pada prinsip keadilan, satu sama lain tidak boleh diposisikan secara diskriminatif. Penghormatan kemanusiaan dan kasih sayang terhadap sesama umat manusia.

Sampai di sini kita menilik kembali sejarah yang mengagumkan. Nabi Muhammad sudah melakukan dan mencontohkan prinsip mubadalah dalam relasinya dengan umat beragama lain. Ketika Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah, sudah menyadari bahwa negeri yang ia tapaki adalah negeri yang multikultural dan multi agama.

Menukil Said Ramdhan al-Buty dalam bukunya Fikih Sirah  Hikmah Tersirat dakam Lintas Sejarah Hidup Rasulullah. Nabi menyusun sebuah traktat yang berisi kesepakatan sebagai sesama warga Madinah untuk menjamin keamanan, kesejahteraan dan kebebasan dalam memeluk keyakinan yang disebut sebagai Piagam Madinah. Beberapa poin penting dalam Piagam Madinah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya orang-orang mukmin yang bertakwa harus melawan orang-orang yang melampaui batas atau melakukan kejahatan besar berupa kezaliman, dosa, permusuhan atau kerusakan di antara kaum mukmin dan umat begama lainnya, walaupun ia termasuk anak dari salah satu mereka.

2. Orang-orang Yahudi bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang mukmin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka. Kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanya menghancurkan diri dan keluarganya sendiri.

3. Orang-orang Yahudi dan umat beragama lain berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri dan kaum muslim pun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri. Antara mereka harus ada saling tolong menolong dalam menghadapi siapa pun yang menyerang pihak yang mengadakan perjanjian ini.

4. Barangsiapa tinggal di dalam Kota Madinah ini keselamatannya tetap terjamin kecuali pembuat kezaliman dan kejahatan. Dengan kata lain setiap bentuk penindasan dilarang. Bersama-sama wajib mempertahankan negerinya dari serangan musuh.

5. Orang Islam, Yahudi dan warga Madinah yang lain bebas memeluk agama dan keyakinan mereka masing-masing. Mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah.[]

Zain Al Abid

Zain Al Abid

Zain Al Abid. Penulis merupakan Staf Fahmina Institute Cirebon, Alumnus ISIF Cirebon dan Pondok Darussalam Buntet Pesantren.

Terkait Posts

Ahmad Dhani

Ahmad Dhani dan Microaggression Verbal pada Mantan Pasangan

5 Juli 2025
Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ulama Perempuan

    Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial
  • Surat yang Kukirim pada Malam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID