Mubadalah.id – Membicarakan tentang childfree tidak terlepas dari pro dan kontra. Mengingat bahwa masyarakat mengharuskan seseorang yang telah memasuki usia dewasa untuk menikah, dan memiliki anak. Keadaan ini terpengaruhi oleh budaya yang lekat dengan masyarakat. Di mana kita mengidealkan bahwa tujuan berlangsungnya perkawinan adalah untuk memiliki keturunan.
Sedangkan childfree merupakan kondisi di mana sepasang suami istri memutuskan tidak memiliki anak dengan alasan yang berdasar. Seperti alasan finansial, pendidikan, ataupun hal-hal yang meliputi pengalaman khas perempuan.
Pasangan yang memutuskan untuk childfree, tidak akan berusaha untuk hamil secara alami ataupun berencana mengadopsi anak. Pasangan suami istri mengambil keputusan secara sadar untuk tidak memiliki anak dengan berbagai alasan. Tidak mengherankan jika terdapat pasangan suami istri yang telah menikah belum memiliki seorang anak, akan mendapatkan tekanan yang luar biasa dari lingkungan.
Dengan adanya trend childfree ini, banyak yang beranggapan bahwa hal itu menyimpang dari agama dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dalam hak-hak sebagai manusia, terdapat hak perempuan atas tubuhnya. Yakni perempuan sebagai pemilik rahim berhak memilih atas apa yang terjadi untuk tubuhnya. Pangkal persoalan tubuh perempuan selalu terletak siapa sebenarnya pemilik tubuh perempuan.
Ingat, berbicara hak kesehatan reproduksi berarti memberikan kewenangan dan hak kepada perempuan untuk menentukan pilihan serta fungsi reproduksinya. Apapun yang setiap manusia lakukan, temasuk mereka yang memiliki keputusan untuk childfree
Alasan Childfree
Kondisi yang tidak memungkinkan membuat perempuan tidak berani untuk memiliki seorang anak. Salah satunya adalah pernah mengalami keguguran yang membuat ia takut jika ia hamil, atau anaknya akan meninggal. Ataupun dalam kondisi tertentu, perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang memiliki trauma karena takut Ketika memiliki anak, maka anaknya akan mengalami hal yang sama.
Adapun menurut Dr. Tri Rejeki Andayani, Psikolog Sosial dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor mengapa childfree dilakukan. Seperti: keinginan untuk fokus berkarir, dan kondisi finansial yang ia rasa belum mumpuni.
Lalu ketidaksiapan mengemban tanggung jawab menjadi orang tua, informasi atau wawasan seputar pernikahan dan membentuk keluarga yang simpang-siur. Selain itu trauma masa kecil. Apapun yang perempuan rasakan tentang memilih childfree itu adalah valid.
Setuju ataupun tidak seseorang terhadap keputusan orang lain dalam mengambil keputusan untuk childfree, yang perlu kita tanamkan dalam pikiran seharusnya adalah mampu menghargai apapun yang orang lain pilih. Sebab keputusan yang telah seseorang ambil, dia yang paling paham atas konsekuensinya.
Selain itu, keputusan tidak memiliki anak atau childfree diatur dalam hak-hak seksual yang dimiliki oleh manusia sebagaimana program IPPF canangkan. IPPF sendiri hadir sejak 1991, di mana ia merupakan perkumpulan bernama International Planned Parenthood Federation (IPPF). Yakni Perkumpulan yang berhasil mengeluarkan deklarasi tentang hak klien yang terpenuhi berkaitan dengan masalah reproduksi.
Hak Setiap Manusia Untuk Memilih
Hak-hak seksual yang menyangkut memilih ya atau tidak menikah, mencari dan merencanakan berkeluarga, hak untuk memutuskan bagaimana, dan kapan mempunyai anak. Semua orang memiliki hak untuk memilih apakah akan menikah atau tidak.
Apakah akan mencari pasangan, merencanakan berkeluarga dan berumah tangga atau tidak. Lalu kapan akan memiliki anak dan memutuskan jumlah anak dan merencanakan jarak kelahiran anak secara bebas dan bertanggung jawab. Dalam lingkungan di mana hukum dan kebijakan menghargai perbedaan/keanekaragaman bentuk keluarga termasuk mereka yang tidak dapat terdefinisikan oleh perkawinan atau teori.
Hak-hak seksual menjadi bagian dari seksualitas yang ditunjukkan untuk kemerdekaan manusia. Sudah seharusnya kita memahami itu di dalam masyarakat. Tetapi dalam penyampaian tentang hak-hak seksualitas kepada masyarakat, tentu saja terdapat hambatan-hambatan yang membuat konsep hak-hak seksualitas yang seharusnya setiap manusia miliki tidak tersampaikan tepat sasaran.
Hal ini didukung dengan argumentasi Koai Husein Muhammad, Siti Musdah Mulia dan Kiai Marzuki Wahid, dalam buku yang berjudul Fiqh Seksualitas. Yakni tentang tiga hambatan penyampaian hak-hak seksual, antara lain; pertama, hambatan kultural atau budaya. Kedua, hambatan struktural, dan ketiga hambatan interpretasi ajaran agama.
Hambatan kultural atau budaya
Budaya patriarki yang kuat di masyarakat menyebabkan perempuan kita pandang sebagai manusia kelas kedua setelah laki-laki. Akibat dari pandangan itu, perempuan masih menjadi obyek seksual. Selain itu, paradigma perempuan sebagai sebagai obyek seksual, karena itu di dalamnya terdapat relasi seksualitas perempuan yang selalu kita posisikan sebagai pihak yang pasif dan lebih banyak menerima.
Hal ini membuat stigma terhadap perempuan ketika ia memutuskan tidak memiliki anak, ataupun belum diberikan keturunan, akan kita pandang sebagai perempuan tidak sempurna.
Hambatan struktural
Hambatan struktural sendiri berupa kebijakan publik dan undang-undang yang diskriminatif, khususnya terhadap perempuan, serrta kelompok rentan lainnya. []