Mubadalah.id – Saya baru sempat menonton Hati Suhita pada 21 Juni, sangat amat terlambat di tengah antusiasme penonton yang bahkan bisa lebih dari sekali menontonnya. Para penggemar banyak yang sudah mereview filmnya.
Sedangkan saya masih sibuk berburu tiket dan dua kali bolak-balik ke bioskop untuk memastikan jadwal penayangannya. Karena sudah banyak review-nya dari beragam perspektif, sayapun kesulitan mengambil angle untuk menuliskan ulasan filmnya. Pada akhirnya saya ingin memotret terkait kepemimpinan perempuan dalam diri Alina Suhita.
Karakter Suhita sebagai Wanita Jawa
Masyarakat umunya, terutama Jawa, berharap sosok wanita selalu bersikap dan berperilaku halus dan lembut, tidak kasar dan tidak grusa-grusu, rela menderita, mengalah dan setia. Seperti kisah Arumardi yang harus menghadapi suaminya, Tumenggung Wiraguna.
Jika kisah Tumenggung Wiraguna karena dirinya memiliki banyak selir dan berperilaku kasar. Gus Birru memiliki sikap menyakitkan karena belum selesai dengan kisah asmara masa lalunya bersama Ratna Rengganis. Keduanya sama-sama kejam, karena sama-sama berlaku superior, melakukan kekerasan verbal dan tentu menyakiti perempuan secara psikis.
Daya tahan wanita Jawa yang luar biasa dalam kepemimpinan perempuan, bukanlah sebuah imajinasi yang melebih-lebihkan dan lakon dramatis belaka. Daya tahan wanita yang lebih baik dari laki-laki sebenarnya secara biologis dan psikologis merupakan karakter wanita secara umum, bukan khas wanita Jawa semata.
Kaum laki-laki lebih reaktif secara fisik terhadap stimulus stressful dibandingkan wanita. Sikap laki-laki untuk menghindari konflik dan mendamaikan sebab ketegangannya yang semakin besar, atau tidak nyaman berada dalam kondisi tersebut, bukan semata-mata ingin berdamai.
Filosofi Cancut Tali Wondo
Sebagaimana kisah Arumardi yang memiliki sikap ngemong dan tidak otoriter. Alina Suhita sosok wanita yang tetap lembut, halus, berperan dengan baik di ranah domestik dan publik. Jika Arumardi menyebabkan hati sang patih utama lunak terhadapnya justru karena istrinya yang lembut, maka Alina pun demikian. Dia menyikapi suaminya dengan tetap lembut namun tegas, bahkan Aruna berkali-kali mengingatkan untuk meninggalkan suaminya saja.
Kemampuan kepemimpinan perempuan Alina Suhita, menjadi pelindung bahkan kejayaan suami terletak pada filosofi cancut tali wondo, saat Gus Birru mendapatkan krisis kepercayaan dari ayahnya. Cancut Tali Wanda adalah suatu konsepsi Jawa yang menggambarkan sikap terlibat, mengambil peran bahkan komando, dan taktis dalam menghadapi kesulitan.
Tidak hanya dalam ide pengambilan keputusan mengenai langkah-langkah yang akan ia tempuh, tetapi juga pelaksanaannya. Hal ini tergambarkan dengan baik melalui scene, di mana Gus Birru dan teman-temannya meminta izin untuk menjadikan pesantren sebagai objek film dokumenternya.
Perbincangan memanas karena abah bersikukuh tidak perlu mengangkat film tentang pesantrennya, dan Gus Birru belum bisa menguatkan argumennya. Saat abahnya kurang setuju dengan beragam alasannya, Alina Suhita mampu menegosiasi hingga abah mertuanya luluh dan mengizinkannya.
Dari tidak Setuju Menjadi Restu
Yang kedua adalah saat abah yang awalnya menentang bisnis cafe Gus Birru, Alina-lah yang mampu mengajak mertuanya berkunjung ke cafe putera semata wayangnya, dan berbalik mendukungnya. Karena melihat ada perpustakaan buku dengan koleksi buku pendidikan, serta ada musala di cafe tersebut. Maka berubahlah tidak setuju menjadi sebuah restu. Cara dakwah Gus Birru ala Gen Z, kemudian mendapat dukungan dari abahnya.
Hampir seluruh film menggambarkan sikap Alina Suhita yang ngalah dan pasrah. Scene saat dia dimarahi suaminya karena berbohong atas kehamilannya, menunjukkan sifat pasrah dan sumarah. Meski di sini menunjukkan sebuah ekspresi kepasifan karena pasrah, namun Alina menunjukkan sikap tidak ingin diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya dengan mengucap kalimat, “Kita bercerai saja, Gus”. Sebuah kalimat yang membuat saya dan penonton lainnya meleleh banjir air mata.
Seorang istri yang mencintai suaminya tiba-tiba menyerah dengan kondisinya, pasrah bahwa suaminya belum beranjak dari kisah asmara masa lalunya. Namun dengan ketegasannyalah, pada akhirnya sang suami bersedia membenahi perilakunya.
Gus Birru akhirnya sadar, bahwa Alina adalah wanita yang tepat untuk menjadi istrinya. Seperti yang biasa para dalang katakan dalam pentas wayang: “Wanita memanglah sebagai kesaktian laki-laki”. Alina-lah yang kemudian Gus Birru mengakuinya sebagai pengabdi wangsanya.
Tanda-tanda Kuasa dalam diri Suhita
Kuasa adalah kemampuan untuk mengontrol kehidupan. Dari seseorang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, mengalirlah ketenangan dan kesejahteraan sehingga kekacauan tidak akan terjadi. Semakin seseorang menguasai dunia lahir dan semakin seseorang melakukan praktik asketisme, maka dia semakin memperoleh kekuasaan. Sebagaimana Alina Suhita yang memendam sakit batinnya akibat terabaikan oleh suaminya.
Kekuasaan Jawa tidak hanya tampak dari akibat-akibatnya, namun juga dalam implementasi atau prosesnya. Di mana kekuasaan ala Jawa memprioritaskan keharmonisan. Harmoni di sini mencakup kedamaian, sentosa, ketenangan dan stabilitas.
Maka dalam prinsip Jawa ada istilah tata titi tentrem karta raharja. Bermakna kemampuan untuk memelihara ketegangan secara lembut, berperilaku seperti magnet yang mampu menarik magnet-magnet yang tersebar di sekitarnya, itulah mengapa mertuanya sangat menyayangi dan mendukungnya.
Bagaimana Alina Suhita membuat gelagapan teman-teman Gus Birru saat bertamu. Begitu pula Ratna Rengganis yang kaget saat mendengar Alina sudah mengetahui bahwa dirinya adalah mantan Gus Birru.
Citra laku tapa dalam ekspresi Alina Suhita menghadapi perilaku suaminya, di kamar dia bisa menyampaikan keluh kesahnya, namun di hadapan mertuanya ia bersikap seolah tidak ada masalah dengan suaminya. Sikap tenang yang selalu Alina Suhita tampilkan memiliki kaitan erat dengan sifat yang bagi orang Jawa merupakan inti kemanusiaan. Yaitu beradab dengan menunjukkan kekuatan batinnya.
Sikap Tapa Brata dan Disiplin Jiwa
Oleh karena itu, seorang penguasa dalam hal ini adalah Alina, selalu bersikap halus dan mampu mengontrol emosinya. Bahkan untuk mengeluarkan air matanya dia harus mencari tempat tersembunyi di sawah tebu bersama teman kepercayaannya, Aruna.
Halus berarti murni, berbudi, tertata tingkah lakunya, sopan, lembut, beradab dan ramah. Seseorang kita sebut halus jika dia dapat mengontrol diri sendiri dengan sempurna, dan dengan demikian memiliki kekuatan batin. Alina berkuasa tidak perlu berbicara keras, marah atau memukul meja. Dia cukup menyampaikan dalam bentuk sindiran, usul atau anjuran. Begitu pun larangannya pun juga dalam penyampaian yang halus.
Pertanyaan yang sopan kepada lawan bicaranya atau senyuman toleran sudah cukup untuk menunjukkan kehendaknya yang kuat seperti besi, sikap ini sering kali Alina tunjukkan di depan Aruna yang berbeda pendapat, bahkan pada Rengganis pesaingnya dalam memperebutkan cinta Gus Birru. Alina yang memang berperangai halus dan lembut, tidak pernah merelakan dirinya diperlakukan sewenang-wenang, baik oleh suaminya maupun Rengganis.
Dia selalu tampil sopan dalam menyikapi kalimat yang dilontarkan Rengganis dan suaminya. Alih-alih mengucapkan perintah, dia sering kali mengucapkan permintaan kehalusan. Sebuah permintaannya merupakan bentuk eksternal kewibawaannya, terutama dalam kalimat, “kita bercerai saja, Gus”. Sikap Alina yang tidak perlu mengeraskan suaranya dalam menghadapi suaminya yang hampir berperilaku kasar, adalah suatu sikap tapa brata dan disiplin jiwa.
Dalam buku Kuasa Wanita Jawa, tertulis bahwa: tidak perlu menjadi maskulin untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi justru dia memanfaatkan jiwa femininnya. Alina Suhita tergambarkan sebagai tokoh yang bisa menggapai kekuasaan kepemimpinan perempuan, baik di pesantren juga di hati Gus Birru, suaminya. []