Mubadalah.id – Ada banyak kitab karangan ulama laki-laki yang menjadi sumber rujukan dalam mempelajari ilmu fikih darah perempuan. Keseluruhannya memiliki ciri khas masing-masing. Dalam kitab Risalah al-Mahidl karya ulama nusantara KH. Masruhan Ihsan, misalnya, menggunakan tulisan Arab pego. Sehingga mudah bagi santri-santri memahaminya.
Terutama bagi yang belum bisa membaca kitab kuning gundul, Di dalamnya juga memuat tabel-tabel penanggalan qadla’ salat bagi perempuan mustahadlah. Selain Risalah al-Mahidl ada juga Kitab Kifayah an-Nisa dan I’anah an-Nisa’ karya Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Qadir Bafadil, yang juga berbahasa jawa pegon.
Pada kitab Ibanah wa al-Ifadlah karya Sayyid Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir Assaqqaf sangat sederhana narasinya dan mudah kita pahami maknanya. Meskipun dengan menggunakan bahasa Arab, beserta contoh konkrit pengalaman perempuan yang mengalami haid, nifas, dan istihadlah dalam haid atau istihadlah dalam nifas.
Begitu juga dengan kitab Fiqh al-Haidl wa an-Nifas wa al-Istihadlah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Qadir yang mudah kita pahami. Apalagi beserta beberapa maraji’ dari kitab fikih induk. Ada kitab Masail al-Haid karya Syaikh Ahmad Yasin bin Asymuni yang mengulas seputar permasalahan haid.
Mengenal Kitab Seputar Fikih Perempuan
Kitab ‘Uyunul Masa’il Li an-Nisa’ adalah kitab yang membahas seputar fikih keperempuanan. Kitab terbitan Lirboyo Press dan merupakan hasil karya Lajnah Bahtsul Masail tentang fikih kewanitaan santri Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo.
Di dalamnya tidak hanya memuat tentang hukum haid, nifas, dan istihadlah. Tetapi membahas fikih nisa’ waqi’iyah (kontemporer). Seperti, bagaimana hukum aborsi kandungan hasil perkosaan? Bagaimana hukum nifas orang yang keguguran? Beserta rujukan beberapa kitab dan hukum positif/undang-undang di Indonesia. Tinjauan medis juga penelitian langsung melalui angket yang tersebar di santri perempuan Lirboyo yang jumlahnya ribuan itu.
Dan berita menggembirakannya, kitab ini berbahasa Indonesia dengan redaksi yang mudah kita pahami. Sehingga perempuan yang ingin memahami dengan detail ilmu tentang haid, nifas, dan istihadlah bisa mempelajarinya secara mandiri, baik background pesantren ataupun nonpesantren.
Tidak mudah dalam mengelaborasi kitab-kitab tersebut hingga sampai kepada kita. Bukan hanya modal disiplin keilmuan dengan mengambil referensi dari kitab-kitab fikih induk serta kecermatan dalam membaca pengalaman biologis perempuan. Tapi tentunya riset di lapangan yang tidak singkat serta proses instinbat yang kuat, sehingga menghasilkan analisis yang tajam tentang produk-produk hukum fikih perempuan.
Fikih Darah Perempuan
Namun hal ini menjadi pertanyaan kita, mengapa minim sekali kitab yang ulama perempuan tulis tentang fikih darah perempuan? Bukankah kecermatan membaca tubuh perempuan, lebih bisa perempuan itu sendiri yang memahaminya? Ini semuanya tidak lepas dari sosio kultural historis perempuan pada masyarakat masa itu yang masih minim ruang untuk berkarya.
Dalam masa yang sama pula, para mufassir masih memandang perempuan bukanlah subyek penuh pelaku kehidupan. Tidak banyak yang tahu bahwa Kitab Parukunan Jamaluddin adalah kitab yang ditulis oleh seorang ulama perempuan bernama Fatimah binti Abdul Wahab Bugis bin Syekh Arsyad al-Banjari.
Namun, sebagai pengarang kitab, ia sengaja tidak menuliskan namanya sendiri dan lebih memilih nama pamannya. Di mana ia merupakan seorang mufti kerajaan, yakni Syekh Mufti Jamaluddin sebagai muallif. Hal ini karena masih terbawa arus patriarki. Di mana pihak kerajaan hanya mengakui mufti kerajaan sebagai pemegang otoritas keilmuan agama Islam, sedangkan pendapat terkait hukum keagamaan yang tidak tersampaikan oleh mufti tidak akan terakui kebenarannya. Dan Syaikhah Fatimah mampu membaca situasi tersebut, maka atas dasar kebermanfaatan ilmu yang lebih besar daripada sekadar pencantuman namanya, ia melakukan itu demi tersebarnya ilmu di kerajaan Banjar.
Kitab yang berisi penjelasan yang gamblang tentang rukun Islam dan iman ini merupakan salah satu kitab yang paling popular di antara kitab-kitab tauhid di Banjar, dan sering dicetak kembali.
Perempuan dalam Catatan Sejarah
Tak ubahnya ketika pada sebelum abad ke-7 Masehi, Al-Qur’an belum turun, perempuan tidak dianggap manusia. Kalaupun perempuan dianggap manusia, maka dia adalah manusia nomor dua setelah laki-laki (subordinasi). Dan kalaupun perempuan ini dianggap sebagai manusia, maka dia adalah obyek dari laki-laki. Maka tidak heran pada zaman dahulu perempuan dianggap naqishat din atau kurang agama.
Laki-laki dianggap manusia seutuhnya. Karena dia tidak mengalami pengalaman biologis dengan mengeluarkan darah. Laki-laki tidak mendapatkan rukhsah berupa tidak salat dan tidak puasa. Laki-laki menjalani ibadah dengan penuh. Maka, lazimlah kita menemui banyak sekali kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama yang masih dehumanisasi terhadap perempuan. Selain itu, meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang superior.
Dalam kitab fikih urusan salat saja, masih mengklasifikasikan level ke-good looking-an perempuan dalam menghukumi boleh tidaknya ke masjid. Perempuan yang cantik dihukumi makruh salat di masjid, dan menjadi haram jika ditambah cantik dan suka berdandan saat salat di masjid.
Mereka, para ulama tersebut masih terbawa arus bagaimana tradisi yang mengakar pada masa dahulu, sehingga terkesan mendeskriditkan eksistensi perempuan dalam agama. Sebenarnya banyak sekali hadis-hadis tentang kesetaraan bagi perempuan yang kurang terangkat dalam forum keilmuan tradisional atau formal dan tidak termuat di turots, sehingga kurang masyhur dalil-dalil yang berkeadilan bagi perempuan.
Seperti contohnya, lebih banyak narasi dalam literasi kitab klasik ulama yang mengatakan bahwa istri harus taat pada suami. Tempat terbaik bagi perempuan atau istri adalah di rumah. Istri terlarang keluar rumah tanpa izin suami meskipun dalam keadaan darurat. Bahkan hadis yang berstatus lemah pun turut melegitimasi tentang hukum haramnya seorang perempuan yang mengunjungi orang tuanya saat sakaratul maut jika tanpa izin suami.
Padahal ada suatu hadis sahih yang mengatakan bahwa “Jika istrimu meminta izin keluar, janganlah dilarang!”. Banyak juga hadis pelarangan bagi seorang wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya dengan paksa meskipun status pewaliannya adalah wali mujbir.
Misi Keadilan bagi Perempuan
Nabi pun melarang keras Sayyidina Ali bin Abi Thalib mempoligami Sayyidah Fatimah. Dan masih sedikit pemuka agama yang berceramah di mimbar dengan membawa misi keadilan bagi perempuan. Kita merasa terberkati sekali ketika Kiai Faqih Abdul Kadir, Bapak Mubadalah menulis kitab Sittin ‘Adliyah, kita mampu mendaras kembali bagaimana perempuan-perempuan agung yang sempurna ketauhidannya dikisahkan dalam Islam.
Untuk bisa bijak memahami tentang narasi-narasi patriarkis, konservatif, dan misoginis tentang perempuan dalam kitab-kitab ulama klasik adalah dengan menambahkan keterangan yang lebih rahmah dan ramah perempuan. Pemikiran ulama perempuan yang adil gender patut kita sampaikan. Kembali lagi kita menilik bagaimana teks-teks fikih klasik tentang darah perempuan.
Misalkan di dalam kitab Al-Fatawil Kubro Al-Fiqhiyyah menuliskan bahwa terdapat delapan binatang yang bisa menstruasi, urutan pertama tertuliskan perempuan, lalu kelelawar, dlobuk, kelinci, unta, cicak, kuda, dan anjing. Narasi ini tertuliskan juga dalam buku terjemahan tentang haid berjudul Haid dan Masalah-Masalah Wanita Muslim karya Muhammad Abd. Qodir.
Tentu saja akan ada pertanyaan bagaimana bisa perempuan termasuk dalam jenis binatang yang bisa haid? Dan hal tersebut dituliskan oleh ulama sekaliber Ibnu Hajar Al-Haitami. Di mana ia adalah penganut madzhab Syafi’i yang ahli hadis, ahli fikih, ahli ilmu kalam, ahli tafsir, dan sejarawan.
Maka kita bisa memahaminya secara moderat bahwa memang beliau menuliskan hal tersebut dalam kitabnya. Namun kalimat aslinya adalah “ثمانية فى جنسها الحيض”. Dalam kalimat tersebut tidak secara gamblang menyebut bahwa 8 binatang yang haid adalah termasuk perempuan. Hanya saja perinciannya menjadi satu dengan binatang, maka seolah-olah derajat perempuan sejajar dengan binatang urusan anatomi tubuh yang bisa mengeluarkan darah haid.
Tentang Kemanusiaan Perempuan
Lalu kita bisa menyampaikan bagaimana mungkin perempuan (dianggap) termasuk binatang? Padahal dalam Al-Qur’an manusia adalah sebaik-baik ciptaan? Bukankah perempuan juga termasuk manusia? Ada kisah unik tentang kemanusiaan perempuan. Saat itu berkumandang di masjid seruan untuk mendatangi masjid dengan kalimah “Yaa ayuuhannas.”
Maka bergegaslah Ummu Salamah mendatangi masjid, ketika sampai di masjid ia ditanya oleh seorang sahabat “Wahai Ummu Salamah mengapa kamu datang kemari, panggilan ini untuk laki-laki?”, Ummu Salamah menjawab “Loh, tadi panggilannya kan untuk manusia, aku kan juga manusia?”
Ummu Salamah merupakan istri Nabi yang senantiasa menyuarakan kemanusiaan perempuan, ia senantiasa bertanya pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, kenapa sih kami para perempuan ini tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an?”, maka suara Ummu Salamah terdengar sampai langit sehingga turun ayat Ali Imran ayat 195 tentang perempuan yang berhijrah, Al-Ahzab ayat 33 tentang penyebutan perempuan. Lalu surah An-Nisa ayat 32 tentang perempuan yang juga berhak mendapatkan harta warisan. Yang awalnya perempuan menjadi obyek waris.
Dalam kajian tafsir kita mengenal tadarruj atau proses untuk mencapai target final (ijmal) dalam suatu ideal moral dalil. Pada proses tadarruj inilah kita bisa mengonter apa yang ada dalam kitab tersebut tanpa menafikan isinya. Apalagi menganggap kitab tersebut sudah tidak relevan lagi.
Mencari Alternatif Tafsir Islam yang Ramah Perempuan
Kita sangat boleh tidak menyepakati tafsiran-tafsiran yang terkesan konservatif, misoginis, atau patriarkis. Maka mencari alternatif lain dari interpretasi teks-teks Islam klasik yang selama ini dibaca dengan cara pandang maskulin merupakan bentuk representasi Islam yang rahmah.
Kita seharusnya beruntung ketika mengetahui bahwa ternyata tafsir Al-Qur’an melalui kitab-kitab ulama memuat banyak hal yang luar biasa. Meskipun hal-hal tersebut merupakan ‘produk’ lama yang terolah kembali oleh para pembaharu keilmuan Islam demi satu kata; RELEVAN.
Jika mengaku menjadi muslim yang moderat, tentu saja memiliki karakter “Al-Muhafadzatu ala al-Qadimi as-Shalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Aslah” adalah hang tag wajib sebagai branding muslim sejati. Bukannya merasa pongah menafikan keilmuan ulama terdahulu. Banyak orang yang mengamini bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, namun terbatas, tidak sembarangan orang bisa berijtihad. Memilih taqlid para ulama adalah jalan yang paling selamat.
Mari menghargai bahwa penafsiran dalam beberapa kitab klasik itu tidaklah keliru, tetapi bagian dari pola pikir yang ilmiah. Telah para ulama rumuskan melalui keilmuan yang terstruktur dan bersanad. Bukankah ijtihad satu tidak dapat dianulir dengan ijtihad yang lain? Mari berdakwah tanpa meremehkan ‘produk’ hukum ulama klasik. Apalagi merisak orang lain yang berpegang teguh terhadap landasan keilmuan para pendahulu. []