Mubadalah.id – Jika menilik data yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Maka kita akan temukan data yang menyebut bahwa sejak 1 Januari 2022 hingga 14 Februari 2023. Telah terdapat setidaknya 3.173 kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Laporan tersebut menunjukan angka kekerasan yang cukup tinggi, mengingat fenomena gunung es. Di mana angka yang tercatat atau terlapor di Kemenpppa tidak merepresentasian apa yang seluruhnya terjadi di masyarakat. Realitas sesungguhnya tentu saja jauh lebih banyak dari sekadar angka 3.173.
Data Penelantaran Keluarga
Dalam Pasal 9 UU No 23 tahun 2004 tentang KDRT, kekerasan fisik kita kategorikan sebagai salah satu bentuk KDRT. Beberapa yang termasuk kategori kekerasan fisik di antaranya adalah pemukulan, penganiayaan, dan penelantaran keluarga.
Pasal 9 dengan jelas menyebut dua poin penelantaran keluarga yang termasuk kategori sebagai KDRT. Yaitu: Ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya. Padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian. Ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”
Dan ayat 2 yang menyatakan bahwa “Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut”.
Selain itu, catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA (Ditjen Badilag MA) menyebut bahwa 3 dari 4 faktor terbesar penyebab perceraian di tahun 2021 adalah masuk kategori KDRT. Seperti, faktor ekonomi, misal tidak memberi nafkah atau tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan (71.194 perkara); meninggalkan kediaman tempat bersama (34.671 perkara); dan kekerasan dalam rumah tangga (3.271).
Berdasarkan laporan Statistik Indonesia 2023, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022. Angka ini meningkat 15% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Faktor penyebab utama perceraian yang terjadi pada tahun 2022 ialah perselisihan dan pertengkaran (284.169 kasus). Sementara faktor ekonomi menempati urutan nomor dua penyebab utama perceraian (115.200 kasus).
Data-data tersebut setidaknya menunjukan bahwa ketika terjadi penelantaran keluarga (baik karena tidak memberi nafkah, tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan atau meninggalkan kediaman tempat bersama), banyak keluarga di Indonesia mengambil solusi dengan pergi ke pengadilan untuk bercerai.
Latar Belakang Penelantaran Keluarga
Padahal mestinya ada banyak lapisan yang mesti kita urai untuk menemukan sebab apakah yang melatarbelakangi kekerasan tersebut. Mengurai penyebab atau latar belakang penelantaran keluarga sangatlah penting guna menemukan solusi yang tepat sasaran. Penelantaran karena faktor ekonomi misalnya. Solusinya tentu adalah menyelesaikan problem ekonomi.
Misalnya pada kejadian di mana tidak ada seseorangpun anggota keluarga yang mampu memberi nafkah, maka masing-masing anggota keluarga dapat memilih beberapa sikap. Seperti bersabar (jika mampu) atas kepayahan hidup bersama. Atau (berdasar mubadalah “teori kesalingan relasi”) salah satu anggota atau kerabat keluarga dapat saling bergantian menafkahi anggota lainya dari harta yang ia miliki.
Atau salah satu anggota keluarga dapat secara mandiri berinisiatif untuk bekerja demi membiayai diri sendiri. Pada kondisi di mana tidak ada seseorangpun yang mampu memberi nafkah, maka anggota keluarga lain tidak berhak melarang salah satu anggota keluarga untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup dia.
Ada Banyak Solusi
Ada banyak solusi, tetapi pada intinya, tidak dengan pergi ke pengadilan untuk bercerai, yang hal itu bahkan dapat memunculkan problem baru. Pergi ke pengadilan untuk bercerai dapat secara terpaksa kita lakukan jika semua solusi telah tertempuh, namun ternyata tidak menyelesaikan masalah.
Penelantaran keluarga yang penyebabnya adalah faktor budaya, maka solusinya adalah solusi kebudayaan. Dalam budaya hukum misalnya, terdapat banyak norma fikih dan undang-undang yang bias gender. Ajaran-ajaran dan aturan-aturan semacam ini (yang mengandung bias gender) jika kita sampaikan secara berulang dan terus menerus, akan masuk ke dalam alam bawah sadar masyarakat.
Sehingga ajaran dan aturan tersebut dapat menjadi budaya agama dan budaya hukum. Yang dapat meligitimasi atau setidaknya membiarkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk penelantaran keluarga..
Budaya keagamaan dan culture of law dapat dituduh berkontribusi dalam melestarikan praktik-praktik kekerasan terhadap keluarga (juga: perempuan) yang terjadi di masyarakat.
Karena itu, solusi dalam penelantaran keluarga yang sebabnya adalah budaya keagamaan dapat dengan melakukan kritik atau reinterpretasi ulang secara kolektif. Sementara UU dan aturan keluarga yang melestarikan atau membiarkan KDRT. Maka dapat melakukan penyadaran kolektif akan pentingnya judicial review.
Hukum Bukan Satu-satunya Solusi
Hukum (baca: perceraian lewat pengadilan) bukanlah satu-satunya solusi untuk memihak dan membela keluarga (juga: perempuan) yang terzalimi dalam kasus penelantaran keluarga (baik dalam bentuk tidak memberi nafkah, tidak punya pekerjaan atau meninggalkan kediaman tempat bersama).
Dalam hal ini, menggunakan pendekatan holistik atau melibatkan banyak pendekatan adalah keharusan. Bukan melulu terjebak dalam pusaran hukum dengan menempuh perceraian lewat pengadilan.
Dengan demikian, ketika terjebak dalam pusaran hukum, alih-alih tujuan semula adalah membela dan memihak terhadap keluarga (juga: perempuan). Maka yang terjadi justru malah bisa sebaliknya. Yaitu problem keluarga menjadi bertambah atau bahkan membesar dan berlarut-larut. []