Mubadalah.id – Uraian sederhana mengenai dasar hukum batasan aurat perempuan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa teks syara’ (agama) yang otoritatif, al-Qur’an dan Hadits Nabi, tidak menyebutkan batas-batas aurat perempuan secara jelas dan tegas.
Kenyataan seperti ini memberikan peluang yang luas bagi para ulama madzhab untuk menginterpretasikannya sesuai kapasitas dan kecenderungan masing-masing yang tidak mungkin lepas dari pergumulan mereka dengan realitas kehidupan yang terjadi dan berkembang di sekitar mereka pada masanya masing-masing.
Yang menarik adalah bahwa mereka juga menyebutkan pengecualian (takhshish) perempuan hamba (al-amah) dari cakupan seluruh teks terkait. Tubuh perempuan hamba sahaya dalam pandangan mereka jauh lebih terbuka, meski tanpa didasari oleh pernyataan syara’ satupun, baik dari a-Qur’an maupun hadits.
Dengan kata lain teks yang menyebutkan keseluruhan tubuh perempuan sebagai aurat menjadi terbatas pada kelompok perempuan tertentu saja. Pembatasan dan pengecualian ini dalam pandangan ulama fiqh boleh jadi merujuk kepada status dan fungsi sosial perempuan yang terjadi pada saat itu, apakah dia seorang merdeka atau seorang budak.
Dalam konstruksi sosial masyarakat Islam saat itu jika dia seorang perempuan merdeka. Maka mereka, pada umumnya, diperintahkan berada di rumah dan dianjurkan untuk tidak bekerja di luar rumah. Karena mereka tidak keluar rumah dan tidak banyak bergaul dengan banyak orang di ruang publik.
Akan tetapi jika dia seorang hamba, maka dia memiliki keleluasaan untuk berkerja, baik di ruang domestik maupun ruang publik. Karena mereka memang dikonstruksikan secara sosial untuk mengabdi, melayan, bekerja dan berbuat apa saja yang diperlukan para tuan/mijikannya.
Dengan alasan-alasan di atas, maka adalah masuk akal jika perempuan merdeka harus lebih tertutup dari perempuan hamba sahaya.
Konstruksi Sosial
Realitas konstruksi sosial seperti itulah yang tampaknya memberikan inspirasi dan yang melatarbelakangi beragam pendapat para ulama di atas dengan cara pandang dan analisis yang berbeda-beda.
Ulama yang berpendapat bahwa wajah, telapak tangan dan atau lengan (dzira‘), serta kaki sampai betis perempuan merdeka boleh terbuka. Bahkan boleh jadi karena alasan keperluan atau kebutuhan (li al-hajah) tertentu. Alasan lain adalah agar tidak merepotkan atau menyulitkan dalam bergerak (dafan li al-haraj wa al-masyaqqah).
Alasan yang sama juga menjadi dasar mereka untuk berpendapat bahwa kepala, leher, lengan, kaki. Bahkan seluruh tubuh perempuan hamba sahaya selain bagian tubuh antara pusat dan lutut sebagai bukan aurat. Oleh karena itu bagian-bagian tersebut boleh tampak/terbuka.
Ulama madzhab Hanafi, Muhammad bin ‘Abd al-Wahid al-Siwasi (w. 681H) dalam kitab Syarh Fath al-Qadir menyampaikan beragam pandangan ulama dalam internal madzhabnya mengenai lengan perempuan.
Katanya sejumlah ulama mewajibkan menutupnya. Sebagian mengatakan ia bukan aurat dan tidak wajib ditutup dan sebagian lagi berpendapat bahwa lengan wajib ditutup, hanya ketika shalat saja dan tidak wajib ketika tidak (di luar) shalat.
Argumen mereka bahwa lengan perempuan bukan aurat, sebagaimana pandangan Imam Abi Yusuf, adalah lengan tangan merupakan anggota tubuh yang perlu perempuan buka manakala melayani orang lain dan ketika mereka bekerja. []
Sumber : Buku Jilbab dan Aurat Karya KH. Husein Muhammad