Mubadalah.id – Tahu ngga sih konstruksi tentang maskulin dan feminin tidak hanya merugikan perempuan, lho! Laki-laki ternyata juga terkena dampak dari konstruksi ini. Bahkan hal itu tidak hanya merugikan secara personal. Konstruksi tentang maskulin yang toksik (toxic masculinity) juga membawa kerugian bagi masyarakat sekitar. Kasus klitih di Yogyakarta misalnya.
Dalam beberapa artikel yang pernah saya baca, istilah klitih sebenarnya telah mengalami pergeseran makna. Dulu, istilah ini merujuk pada aktivitas “cari angin” di malam hari dengan berjalan-jalan di pasar klitikan yang menjual barang bekas. Biasanya aktivitas tersebut mereka lakukan secara beramai-ramai untuk menghilangkan kebosanan.
Namun hari ini, istilah klitih memiliki konotasi negatif yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Klitih sendiri mirip dengan aksi begal yang memakan korban. Penggunaan senjata tajam seperti pedang, parang, gir, maupun clurit kerap menyebabkan luka parah pada korban, bahkan kematian. Hanya saja pelaku klitih tidak merampas barang seperti halnya pelaku begal.
Klitih berbeda dengan geng-geng jalanan sebelumnya seperti Joxzin, Qzruh dan TRB (Trah Butek). Jika dulu kekerasan dan perkelahian hanya dilakukan antar geng sebagai bentuk rivalitas, klitih menyasar masyarakat secara acak. Ngawur. Ini sebenarnya yang menjadi keresahan dan kekahawatiran masyarakat untuk melakukan perjalanan malam. Termasuk saya sebagai warga luar Jogja.
Klitih = Pencarian Jati Diri
Pelaku klitih paling banyak adalah siswa SMA atau SMK. Namun ada juga yang dari SMP. LM Psikologi UGM menyebut bahwa alasan mereka melakukan klitih karena ingin mendapatkan pengakuan dari teman-teman dalam kelompoknya. Mereka yang berani nglitih akan mendapat semacam reputasi yang bagus menurut perspektif mereka sendiri.
Memang masa remaja merupakan fase pencarian jati diri, citra, dan identitas. Seorang psikolog Jane L. Pietra, menjelaskan bahwa pada fase tersebut remaja akan mencari kelompok yang menurut mereka ideal. Mereka akan menemukan identitas dan citra diri jika mendapat pengakuan dalam kelompok tersebut.
Sebaliknya, jika mereka tidak mendapatkan pengakuan, maka mereka akan dianggap gagal. Akibatnya mereka akan tereliminasi dari kelompok yang mereka anggap ideal. Tentu hal tersebut berdampak negatif dalam proses pencarian identitas dan jati diri.
Dalam liputan mojok.co beberapa pelaku klitih menganggap bahwa perkelahian dan adu bacok merupakan representasi dari sifat laki-laki yang sejati. Bahkan ada pula yang menganggap bahwa sifat laki-laki seseorang belum sempurna jika belum berani klitih. Dari sini dapat kita pahami bahwa ada kerancuan dalam memaknai sifat maskunilitas yang ingin mereka tunjukkan supaya mendapat pengakuan dari kelompoknya.
Toxic Masculinity: Sebuah Bias
Anggapan bahwa kejantanan selalu identik dengan keberanian dalam berkelahi menunjukkan bahwa ada yang salah dari pemaknaan citra ideal tentang maskulinitas. Sistem patriarki yang melekatkan sifat maskulin kepada laki-laki ternyata membawa dampak negatif tersendiri.
Dalam hal ini laki-laki mendapat tekanan sosial untuk berperilaku menurut perspektif khalayak. Sistem patriarki melihat bahwa laki-laki harus selalu menunjukkan kekuasaan, kekuatan, ketangguhan, kewibawaan serta pantang menunjukkan emosi yang ekspresif.
Pada dasarnya sifat maskulin adalah hal yang positif. Namun, hal tersebut dapat menjadi toxic jika laki-laki harus selalu menujukkan maskulinitasnya hanya untuk menghindari stigma masyarakat atau kelompoknya. Akibatnya tak jarang yang terjebak dalam fenomena toxic masculinity yang justru merugikan bagi laki-laki itu sendiri.
Pemaknaan terhadap sifat maskulin yang tidak sehat kerap menjebak laki-laki dalam pergaulan sosial yang beresiko. Hal ini cukup membahayakan. Karena laki-laki yang selalu ingin diakui sebagai pihak yang dominan, kuat, dan punya kuasa kerap memicu tindakan kekerasan. Baik kepada sesama laki-laki maupun perempuan.
Selain itu, stereotip seperti ini juga berdampak pada kesehatan mental laki-laki. Biasanya mereka yang tidak sesuai dengan ekspetasi sosial kerap mendapat perundungan. Mereka akan dicap sebagai laki-laki lemah dan sulit untuk mengekspresikan emosinya. Akibatnya mereka akan menyimpan emosi tersebut atau mengeluarkannya dengan kekerasan.
Perlu Pembinaan
Secara preventif saya kira diperlukan pembinaan untuk mengatasi kasus klitih. Hal ini melihat adanya ketimpangan pelaku klitih dalam mengekspresikan sifat maskulinitasnya. Tentu pembinaan tersebut hendaknya mengarah pada citra positif dari sifat maskulin. Supaya mereka tidak mengekspresikannya kepada hal yang merusak dan merugikan banyak orang.
Salah satu alternatif pembinaan yang dapat kita lakukan adalah memberikan ruang positif kepada mereka. Proses pencarian jati diri bagi laki-laki tidak hanya soal siapa yang kuat dan siapa yang menang. Pembentukan citra diri dapat kita arahkan kepada hal-hal positif yang membawa kebermanfaatan bagi orang lain.
Adanya hal tersebut, para remaja akan memiliki kontrol untuk mengasosiasikan dirinya ke ruang-ruang yang lebih positif. Tentu hal ini juga perlu pengawasan dan kerja sama dari berbagai pihak, baik keluarga, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah. []