“Perempuan dalam tradisi Jamasan memegang otoritas berjalannya sebuah tradisi. Dari menyiapkan peranti sampai berlangsungnya prosesi ritual.”
Mubadalah.id– Jamasan merupakan salah satu tradisi ritual Jawa yang dilaksanakan pada bulan Suro atau Muharram. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini menjadi salah satu upaya merawat benda-benda pusaka dan benda bersejarah.
Esensi dari pelaksanaan Jamasan Pusaka adalah sebagai wujud nguri-nguri budaya Jawa dan melestarikan benda-benda warisan sejarah. Sekaligus secara spiritual menggambarkan sikap masyarakat Jawa dalam menyambut datangnya tahun baru Jawa.
Akan tetapi, jika Jamasan secara umum tujuannya adalah untuk men-jamas atau membersihkan benda pusaka, berbeda dengan tradisi Jamasan Desa Jajar, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Jamasan di Desa Jajar dalam praktiknya adalah membersihkan diri. Sedangkan waktu pelaksanaannya saat menjelang bulan suci Ramadan.
Uniknya lagi, dalam tradisi Jamasan desa Jajar ini yang menjadi pelaku ritual seluruhnya adalah perempuan. Mengingat kebanyakan pelaku tradisi yang tampil di depan adalah laki-laki. Perempuan dalam tradisi Jamasan memegang otoritas berjalannya sebuah tradisi. Dari menyiapkan peranti sampai berlangsungnya prosesi ritual.
Mengenal Jamasan Desa Jajar
Secara bahasa Jamasan berasal dari bahasa Jawa kromo inggil, jamas berarti cuci, membersihkan. Sebagaimana yang telah saya kemukakan di atas pada umumnya Jamasan dilaksanakan dalam rangka membersihkan benda-benda yang dikeramatkan atau dikenal dengan istilah Jamasan Pusaka.
Meskipun secara praktik agak berbeda, tetapi hakikatnya sama. Jamasan merupakan kegiatan membersihkan benda yang memiliki kedudukan tinggi oleh masyarakat, seperti halnya keramas atau membersihkan kepala. Berlangsungnya acara pun di tempat khusus yakni di Jeding Wanatirta, kamar mandi umum di Desa Jajar yang berada di hutan/alas.
Dalam Jamasan sendiri masih menggunakan peranti khas lokal-tradisional karena esensinya sarat akan filosofi makna saat ritual berlangsung. Ada beberapa peranti yang diperlukan, seperti kendil yang dihias oleh janur (daun kelapa) secara melingkar dan juga landha.
Dari beberapa peranti tersebut, terdapat makna filosofi yang yang sarat akan nilai sakralitas tradisi. Misalnya, janur yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa bermakna sejatining nur (cahaya yang sejati). Atau juga jaa’a nuur atau datangnya cahaya. Dari filosofi tersebut Jamasan dapat memberikan cahaya bagi para pen-jamas.
Ada juga kendi yang di dalamnya berisi landha (rendaman air merang; bekas tangkai padi yang sudah kering dan telah dibakar). Landha menjadi bahan untuk keramas. Adapun khasiatnya bagi tubuh adalah dapat menghitamkan rambut, mengurangi minyak, dan ketombe.
Peranan Perempuan Sebagai Pelaku Ritual Jamasan
Dari beberapa tradisi kearifan lokal di desa Jajar, Jamasan menjadi tradisi yang seluruh peranan dilakukan oleh perempuan. Dari yang menyiapkan peranti sampai menjadi pemeran saat tradisi berlangsung. Alasan utamanya adalah perempuan dianggap lebih khusyuk dalam menjalankan ibadah.
Dari sini sebetulnya perempuan pada dasarnya memiliki peran utuh dan mampu menjalankan tradisi yang berpijak pada rasionalisasi masing-masing sesuai dengan kepercayaan masyarakat.
Perempuan yang berperan umumnya berjumlah sembilan atau ganjil dengan memakai kemben dengan membawa gayung dan kendi yang berisi landha. Ketika di depan Jeding terlebih dahulu meminta izin kepada para penunggu sambal menengadahkan tangan untuk berdoa.
Ritual semacam itu esensinya tidak untuk penyembahan, melainkan dalam rangka menjaga kerukunan antara manusia dengan makhluk lain karena sama-sama makhluk yang menghuni daerah tersebut. Setelah pembacaan doa-doa selesai, masing-masing perempuan bergantian memasuki Jeding.
Mereka secara bersamaan mengalirkan air merang yang ada dalam kendi ke rambut dan menggosok-gosokkannya seperti saat keramas. Setelah cukup, para penjamas membasuh rambutnya dengan air bersih yang ada dalam bak jeding. Rangkaian tersebut mulai dari yang paling atas menuju ke bawah dibarengi dengan membaca salawat.
Selain karena anggapan perempuan sebagai yang paling khusyuk dalam ibadah, ada hal-hal secara implisit kita bisa soroti. Adalah betapa perempuan memiliki kendali penuh dan rasa yang utuh dalam penghayatan ritual.
Misal, saat para pen-jamas menyiapkan dan memastikan perlengkapan peranti merupakan kerja-kerja yang identik melibatkan tangan-tangan perempuan menggambarkan ciri khasnya dalam tradisi Masyarakat desa. Kemudian secara bersamaan pen-jamas saat membawakan kendil dan handuk di atas kepala menuju Jeding Wanatirta juga menggambarkan kebiasaan perempuan di desa-desa.
Ritual ini sekaligus menandakan bahwa ada relasi kesalingan antara perempuan dan alam dalam penghayatan kepercayaannya. Perempuan dan alam sama-sama menjadi subjek yang saling memberi dan bergantung. Di sisi yang sama perempuan memanfaatkan sumber daya alam sebagai akomodasi dan cara menjaga dan melestarikan tradisi itu sendiri.
Keterhubungan Tradisi, Perempuan, dan Islam Nusantara
Dalam artikel saya sebelumnya yang berjudul Menyoroti Relasi Kesalingan Perempuan dan Alam dalam Ajaran Kaweruh Jawa Dipa menyebutkan bahwa perempuan dalam aktivitasnya memiliki kesadaran penuh untuk ikut andil dalam ruang tradisi yang melibatkan pula pengalaman khas dirinya. Perempuan dalam tradisi kearifan lokal menjadi agen terpenting dalam rangka merawat kehidupan dan penguatan spiritualitas.
Nilai-nilai lain juga dapat kita soroti sebagai pengetahuan dan ikhtiar untuk melestarikan. Mengutip Clifford Geertz dalam Agama Jawa bahwa seperti halnya Slametan atau tradisi lainnya—yang hampir sama juga menjadi penguatan tata kebudayaan umum untuk menahan kekuatan-kekuatan yang mengacau. Pelaksanaan tradisi menggambarkan pola hidup masyarakat dapat hidup secara tertib dan teratur.
Jadi, banyak nilai-nilai penting yang dapat kita ambil dari pelaksanaan tradisi kearifan lokal. Di mana dalam tradisi keberagamaan di Indonesia juga menggambarkan corak keragaman identitas Islam menjadi semakin plural dan multikultural. Semakin beragam, semakin banyak relasi kesalingan yang terbentuk.
Sebagaimana pula mengutip Mujamil Qomar, bahwa Ahmad Syafi’I Maarif melukiskan sebuah istilah yang berkaitan dengan keragaman ekspresi Islam di Nusantara, yakni, “Sebuah Islam, seribu satu ekspresi.” []