Mubadalah- Belakangan ini publik gempar oleh pemberitaan kekerasan seksual yang dialami oleh anak selebritis Indonesia. Yaitu Anak korban dari Kekerasan tersebut dilakukan di dalam lingkup rumah. Di mana Rumah yang secara ideal menjadi ruang aman dan tempat untuk mencurahkan kasih sayang malah menjadi tempat bercokolnya tindakan kekerasan seksual. Apalagi pelaku adalah sosok ayah tiri yang memiliki tanggung jawab sebagai pelindung keluarga.
Menurut keterangan korban, kekerasan tersebut terjadu sejak tahun 2018 hingga 2021. Berdasarkan sumber podcast Deddy Corbuzier, korban mengungkapkan bahwa ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa speak up.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk speak up kasus ini kepada ibu kandungnya Pinkan Mamboo. Namun justru mendapatkan respond yang tidak bersikap tegas kepada pelaku. Sampai pada akhirnya, MA memutuskan berlindung pada ayah kandungnya dan melaporkan kasus ini kepada kepolisian setempat.
Dari kasus di atas, dapat kita refleksikan bahwa tidak banyak orang tua yang memiliki kesadaran penuh dalam memahami kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup keluarga. Bagai jatuh tertimpa tangga, korban yang seharusnya menerima perlindungan, malah mendapatkan stigmatisasi dan menjadi objek play victim oleh ibunya sendiri.
Mengapa Pelaku Kekerasan Seksual adalah Keluarga Korban?
Berdasarkan data CATAHU Komnas Perempuan 2023, Lembaga pelayanan kekerasan seksual mencatat kasus kekerasan ranah personal mencapai 9806 kasus. Dari banyaknya jumlah kasus tersebut, kategori kekerasan terhadap anak Perempuan mencapai 725 kasus. Banyaknya jumlah kasus kekerasan tersebut menunjukkan bahwa anak Perempuan dalam keluarga memiliki posisi yang cukup rentan dari tindakan kekerasan.
Kerentanan anak perempuan tidak hanya bersentuhan dengan kekerasan fisik dan psikis, namun juga termasuk kekerasan seksual. Menurut pandangan saya kenapa kekerasan seksual terhadap anak perempuan dalam relasi keluarga dapat terjadi karena beberapa faktor, antaralain:
Pertama, Kebutuhan seksual yang tidak terpenuhi, sehingga pelaku memilih sasaran empuk untuk melampiaskan nafsunya. Dari beberapa kasus, tindakan kekerasan seksual dalam ranah keluarga (inces) biasa dilakukan oleh anggota keluarga untuk menyalurkan hasrat bejat yang tidak terbendung. Pelaku inces menempatkan anak telah menempatkan anak perempuannya sebagai objek seksual yang dapat diakses dengan ancaman relasi kuasa.
Kedua, Kecanduan film porno dan normalisasi penyimpangan inces. Dalam konten video porno terdapat jenis kategori hubungan inces, yang mana terdapat aktifitas seksual yang dilakukan oleh pelaku keluarga. Hal ini menimbulka pecandu mendapatkan insight baru mengenai normalisasi penyimpangan seksual inces. Sehingga dalam kondisi tertentu ia hilang akal dan melakukan tindakan keji tersebut.
Ketiga, korban memiliki relasi di bawah kuasa pelaku. Dampak dari subordinasi perempuan, membawa Perempuan berada posisi nomor dua. Sehingga hal itu menimbulkan perempuan dicap sebagai sosok yang lemah dan juga mengharuskan perempuan untuk menurut pada relasi yang lebih berkuasa, yaitu laki-laki (ayah, kakak, om, ayah tiri). Melalui relasi kuasa, pelaku dapat memperdaya korban dengan lebih mudah.
Orangtua sebagai Support System
Penelitian dari Manion et al., 1996 orangtua mengalami dampak psikologis berupa kemarahan kesedihan, traumatis, ketidakkberdayaan dan perasaan bersalah serta rasa cemas atas kekerasan seksual yang menimpa anaknya.
Dengan kerentanan psikologis orangtua korban kekerasan seksual, orangtua secara naluriah sejatinya akan memperliihatkan jiwa yang tangguh di hadapan anak. Karena orangtua memiliki peran sebagai support system terbesar bagi anak korban kekerasan seksual.
Kenapa posisi orangtua menjadi penting? Karena secara moral dan agama orang tua bertugas untuk mendidik dan melindungi anaknya. Orangtua memiliki tanggungjawab penuh terhadap tumbuh kembang anak dalam siatuasi dan kondisi apapun.
Melalui support penuh orang tua, penanganan kasus kekerasan seksual menjadi lebih berkualitas. Dengan demikian pemulihan psikologis dan proses resiliensi korban menjadi lebih pesat perkembangannya.
Bagaimana Sikap Orangtua ketika Anak Mengalami Kekerasan Seksual?
Berdasarkan pengalaman saya dalam melakukan pengamatan dan pendampingan kasus kekerasan seksual, tidak sedikit orangtua atau keluarga yang masih tabu atas kejadian kekerasan seksual. Kondisi sistem patriarkis menimbulkan orang tua dan keluarga merasa kasus kekerasan seksual ini adalah aib keluarga yang memalukan.
Pertanyaanya bagaimana sikap bijaksana orang tua dalam penanganan anak mengalami kekerasan seksual? Berikut jawabannya.
Pertama, Menjadi Pendengar Baik. Sebagai keluarga hendaknya menjadi pendengar yang baik bagi anak korban kekerasan seksual. Pendengar yang baik berarti menyimak cerita korban dengan penuh empati. Ketika ketrampilan mendengar dengan penuh empati tercapai, orangtua dapat memahami kebutuhan anak korban KS.
Kedua, Berpihak pada korban. Setelah menerima cerita penuh dari anak, orangtua harus memiliki keyakinan prinsip bahwa kekerasan seksual ini terjadi bukan kesalahan korban. Bahwa setiap manusia memiliki hak untuk bebas dari diskriminasi dan tindakan kekerasan seksual yang merugikan bagi korban.
Ketiga, Memberikan perlindungan, pengamanan akses pengaduan. Sebagai orangtua anak korban KS, secara mutlak memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengamanan bagi korban. Orangtua meliliki andil untuk menjauhkan korban dari pelaku atau tempat perkara kejadian . Misal, jika pelaku kekerasan berasal dari ruang lingkup keluarga, maka jauhkan pelaku dari ruah tersebut.
Tempatkan korban di ruang aman yang streril. Lingkungan yang dapat memberikan dukungan secara emosional.
Ketika anak sudah siap secara mental, maka dampingi anak dalam mengakses pengaduan hukum. Kumpulkan semua bukti-bukti terkait. Bisa berupa (foto, video, chat, pakaian saat kejadiaan dll).
Keempat, Support pemulihan korban. Dukung perkembangan psikologis korban dengan menciptakan lingkungan yang mendukung.
Hal ini dapat kita lakukan dengan membangun jejaring dan komunikasi dengan Lembaga Lembaga perlindungan dan pemulihan anak korban kekerasan. Seperti Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), atau Lingkar Pengada Layanan Daerah setempat. Tutup segala akses lingkungan yang toxic, lingkungan yang dapat menghambat proses pemulihan anak korban KS. []