• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Membaca Novel Hilda, Kisah Penyintas Kekerasan Seksual

Zahra Amin Zahra Amin
04/02/2020
in Sastra
0
Membaca Novel Hilda, Menyelami Kisah Penyintas Kekerasan Seksual

Novel Hilda mengisahkan tentang perjuangan seorang penyintas kekerasan seksual

190
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Khatam sudah saya membaca Novel Hilda, karya apik dari Muyassarotul Hafidzoh, seorang aktivis perempuan, penulis produktif fiksi dan non fiksi, serta seorang santri dan pendidik yang baik, di lingkungan di mana ia tinggal kini bersama suami dan kedua anaknya, di sebuah sudut kota di Yogyakarta. Membaca Hilda, saya seperti menyelami kehidupan kisah seorang penyintas kekerasan seksual.

Karena saya pernah punya pengalaman, yang hampir mirip dengan kisah Hilda. Suatu hari, saya menerima siswa pindahan, seorang anak perempuan yang sangat pendiam dan tak banyak bicara. Naluri saya sudah merasa jika anak itu dalam kondisi tidak baik. Tetapi saya belum berani mengambil kesimpulan. Selain pindah sekolah, anak itu juga masuk pesantren yang masih satu area dengan lingkungan sekolah.

Bicara pesantren, saya jadi teringat Hilda, yang juga masuk pesantren khusus sebagai ruang pulih atau aman bagi penyintas kekerasan. Namun sayang belum banyak pesantren yang memfokuskan diri menjadi shelter atau rumah aman. Padahal, pesantren punya banyak modal agar bisa menjadi tempat yang nyaman bagi para penyintas, memulihkan kembali semangat hidupnya, yang redup tanpa cahaya.

Kembali pada kasus tersebut, bertambah hari dilalui, kondisi siswa pindahan belum menunjukkan perubahan berarti. Hingga saya meminta salah satu temannya dalam satu kelas, dan satu asrama di pesantren agar intens menemani dan meminta secara khusus, untuk jangan membiarkannya melamun sendirian. Lambat laun perubahan pun nampak, sekilas senyum sudah terhias di raut wajahnya yang manis.

Baru bertahun kemudian, ketika siswa pindahan itu telah lulus, dan berhasil menyelesaikan khataman Al-Qur’an di pesantren, saya mendengar kabar jika ia adalah penyintas kekerasan seksual, yang dilakukan oleh sekelompok orang tak di kenal. Lalu tubuhnya dibiarkan terbuka, dan terkulai tak berdaya di tengah kota.

Baca Juga:

3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

Makna Wuquf di Arafah

Beruntung anak perempuan itu mendapatkan pendampingan totalitas dari beberapa kawan dekat saya, bahkan proses pemulihan hingga biaya pendidikan ditanggung semua. Kini kabarnya, ia telah bekerja di Ibu Kota. Masa silam yang kelam, semoga tak menyurutkan langkah kakinya menggapai impian di masa depan.

Kisah Hilda yang telah ditulis Muyas, begitu sang penulis biasa disapa, tak persis sama dengan kasus yang pernah saya temui langsung. Tetapi novel ini menjadi penting dibaca oleh para pendidik, di sekolah formal maupun pondok pesantren. Pertama, bagaimana cara pendampingan bagi penyintas kekerasan seksual, dengan menggunakan sudut pandang korban.

Lalu kedua, mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) atau tidak, anak punya hak untuk memutuskan masa depannya. Dan menikah bukan satu-satunya solusi. Apalagi jika dinikahkan dengan orang yang telah merampas masa depannya itu, seperti si pemerkosa. Karena akan memberikan dampak psikologis, trauma dan pilu berkepanjangan seumur hidupnya.

Dalam novel Hilda ini, di luar kisah cinta Gus Wafa’ dan Hilda yang sangat syahdu ala kisah cinta pesantren, saya sangat mengapresiasi keberanian Muyas mengulas cerita penyintas kekerasan seksual, dari sudut pandang agama dan hukum di negara ini, yang memang masih belum berpihak pada korban.

Sehingga dengan hadirnya novel ini, menjadi kian penting untuk mendesak agar negara segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), sebagai bentuk perlindungan dan memberikan rasa aman bagi para korban. Selain itu tentu juga pemenuhan rasa keadilan untuk mereka, para penyintas kekerasan seksual.

Kemudian, kembali pada Novel Hilda, membacanya ibarat kita makan dengan menu empat sehat lima sempurna. Karena semua hal terkait isu ketidakadilan perempuan, dan bagaimana relasi antar suami istri bahkan dalam urusan ranjang, dikupas tuntas, dan malah pembaca dibikin baper oleh Muyas.

Bagaimana tidak, Muyas menampilkan pemikiran banyak tokoh penting dengan isu yang relevan seperti di atas. Seperti Keadilan Gender Islam Ibu Nyai Dr. Nurrofiah, Bil. Uzm, Qiraah Mubadalah KH.Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, dan keterlibatan perempuan dalam radikalisme, dengan menyuguhkan data dan tulisan dari Ibu Lies Marcoes. Ini menjadi bukti jejak panjang petualangan intelektual seorang Muyas.

Belum ditambah, dengan begitu hangat dan akrab, Muyas mengajak kita bernostalgia dengan kehidupan pesantren. Bait-bait Alfiyah Ibnu Malik, yang mampu diramu menjadi sesuatu yang berbeda dari kata asal, namun tak kehilangan makna. Lalu, ada nadzom, atau syi’iran kitab Ta’lim Muta’allim, serta Aqidatul Awwam, yang sukses mengembalikan ingatan saya pada masa-masa awal masuk dunia pesantren di usia belasan tahun, puluhan tahun silam. Terimakasih Muyas.

Daftar itu masih belum seberapa. Penguasaan Muyas pada naskah Kitab Kuning juga sangat baik. Itu nampak pada bagaimana ia menjelaskannya. Bahkan bagi orang awam sekalipun akan mampu memahami. Yang lebih mendebarkan, tentu saja persentuhan dengan karya Ibnu ‘Arabi, Rumi, KH. Husein Muhammad, dan masih banyak nama lain yang memberi warna berbeda pada novel Hilda.

Sebagai perbandingan, saya teringat dengan Novel Ayat-Ayat Cinta, atau Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, yang juga hampir mirip. Bertabur dalil dan sisipan pengetahuan keislaman. Namun, saya lebih menikmati novel ini, karena perspektif perempuan Muyas yang sudah tuntas dan layak diperhitungkan.

Sedangkan untuk karakter tokoh, selain Hilda yang telah mengajari saya makna bertahan dan berjuang hingga akhir, juga ada Ibu Zubaidah, Ibu Nyai Hilda, Rindang, Ibu Yanah (Ibunda Gus Wafa’), dan Zulfi. Muyas mampu menghidupkan semua karakter perempuan di atas, dengan dedikasi, keteguhan hati, konsistensi dan kesalehan sosial. Sepertinya memang semua tokoh digambarkan sebagai orang baik, sementara tokoh antagonis belum dieksplorasi secara matang.

Terakhir, saya bangga pada Hilda dan penulisnya. Karena telah lahir sastra mubadalah dari pesantren, yang tidak hanya menyuguhkan kehidupan pesantren yang inklusif, dengan penerimaannya yang baik terhadap para penyintas serta disabilitas, tetapi juga bangunan intelektual Muyas sebagai seorang aktivis perempuan Fatayat NU DIY, memasukkan semua pengalamannya dalam bergaul, bergerak dan bergelut dengan semua isu tentang perempuan. Saya tunggu karya selanjutnya!

Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

1 Juni 2025
Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

25 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Tidak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

11 Mei 2025
Tak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta Bagi Ali

4 Mei 2025
Kartini Tanpa Kebaya

Kartini Tanpa Kebaya

27 April 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berkurban

    Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Istilah “Kurban Perasaan” Pada Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Raya dalam Puisi Ulama Sufi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID