Mubadalah.id – Stigma perempuan sebagai penghalang Tuhan seringkali kita jumpai dalam budaya keagamaan kita. Bertebaran tafsir akan teks-teks hadis mengenai perempuan sebagai sumber fitnah. Ada lagi tafsir atas teks keagamaan yang menggaungkan perempuan sebagai sumber maksiat. Parahnya lagi, sampai kepada anggapan baru bahwa perempuan adalah sebagai penghalang menggapai Tuhan.
Akibat merebaknya tafsir tersebut di kalangan masyarakat kita, lambat laun hal tersebut menjadi sebuah kebudayaan agama yang mengakar. Tafsir agama diskriminatif bergema di seluruh penjuru daerah. Mulai dari pelosok negeri hingga kota-kota besar.
Imbasnya, Sebagian masyarakat awam yang telah terpapar tidak bisa lagi membedakan mana yang ajaran agama, dan yang mana tafsir agama. mereka cenderung mengamini segala hal yang masuk dalam diri mereka. Buntut dari stigma perempuan merupakan sumber maksiat dan sumber fitnah itu sampai menimbulkan stigma baru terhadap perempuan.
Karena sudah tertancap di otak kita bahwa perempuan adalah sumber maksiat, maka ada angapan segala perkara yang berhubungan dengan perempuan adalah buruk. Termasuk dalam hal kedekatan dengan Tuhan. Dalam ajaran tasawuf Al-Ghazali, ada salah satu tahapan dalam mendekati Tuhan.
Tahapan tersebut adalah Takhalli, yaitu membersihkan hati dan jiwa kita dari hal-hal yang bersifat kotor. Ketika anggapan bahwa perempuan merupakan sumber maksiat, maka otomatis proses takhalli kita akan ternodai ketika berelasi dengan perempuan. Bahkan saking ekstrimnya anggapan ini, ada kasus seorang suami yang rela meninggalkan kewajiban batin Istrinya.
Tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan ada juga laki-laki yang rela tidak menikah dengan alasan riyadhah beribadah pada Allah. Dalam usaha mendekat pada Tuhan, para salik dalam ajaran tasawuf biasanya akan menyepikan diri dari keramaian. Tapi, terkadang hal ini sampai melewati batas sehingga mengabaikan hak-hak dan kewajiban sosial salik itu sendiri.
Lebih bahaya lagi kalau masyarakat awam memegang stigma perempuan ini. Karena potensi marjinalisasi perempuan akan semakin besar, sehingga akan bermuara pada tindak pelecehan dan kekerasan.
Stigma Diskriminatif Bukan Ajaran Nabi
Berdasarkan literatur hadis, tidak pernah sedikitpun Nabi mendiskriminasi perempuan. Apalagi menganggap perempuan sebagai penghalang untuk dekat dengan Tuhan. Bahkan sebaliknya, Nabi menegaskan bahwa perempuan tidak boleh kita kaitkan dengan hal tersebut. Hal itu terbukti dari sabda Nabi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku.” [Muttafaq Alaihi].
Hadis tersebut menceritakan tentang kisah sahabat Anas bin Malik yang gemar beribadah siang-malam. Namun, kebiasaannya tersebut tetap ia bawa meski sudah menikah. Akibatnya, Nabi menasihati Anas bin Malik dengan hadis tersebut.
Ada lagi hadis nabi yang menyebutkan bahwa wahyu turun kepada Nabi ketika ia sedang dalam selimut Aisyah. Istri Nabi tersebut juga pernah iseng kepada Nabi ketika salat. Nabi bersabda :
عن عائشة رضى الله عنها، ان النبي صلى الله عليه وسلم قال لام سلمة :لا تؤذيني في عائشة فإن الوحي لم يأتني وأنا في ثوب امرأة، إلا عائشة
Artinya : Aisyah Ra meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw berkata kepada ummu salamah Ra., “ jangan sakiti aku pada diri Aisyah, karena tidak pernah wahyu turun kepadaku saat aku berada dalam selimut perempuan selain Aisyah.” (Shahih al-Bukhari).
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ بِئْسَمَا عَدَلْتُمُونَا بِالْكَلْبِ وَالحِمَارِ، لَقَدْ رَأَيْتُنِي وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي، وَأَنَا مُضْطَجِعَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ غَمَزَ رِجْلَيَّ فَقَبَضْتُهُمَا. رواه البخاري
Artinya: Qasim meriwayatkan bahwa Aisyah Ra berkata, “Buruk amat perlakuan kamu sekalian para laki-laki menyamakan kami (para perempuan) dengan anjing dan keledai. Sungguh, aku mengalami sendiri dan melihat Rasulullah Saw shalat, sedangkan aku sedang berbaring di antara beliau dan arah kibatnya. Jika hendak sujud, beliau membuat isyarat dengan mendorong kakiku dengan tangan beliau, lalu aku pun segera menarik kedua kakiku.” (Shahih al-Bukhari).
Meluruskan Stigma Perempuan sebagai penghalang menuju Tuhan
Ada berbagai alasan mengapa perempuan tidak boleh kita kategorikan sebagai penghambat untuk dekat dengan Tuhan.
Pertama, ada teks yang menyatakan bahwa meninggalkan pernikahan untuk ibadah itu bukan teladan Nabi Muhammad Saw. Kedua terdapat teks yang menceritakan bagaimana wahyu turun ketika Nabi Muhammad Saw sedang berselimut dengan Aisyah. Ketiga, Nabi Muhammad Saw tidak mempermasalahkan perempuan (istri) berbaring di hadapannya.
Jika mengacu pada hadis di atas mendekati Allah itu bukan dengan meninggalkan perempuan dan keluarga, sebagaimana yang praktik yang kita lakukan akhir-akhir ini. Justru, menikah dan mengurus keluarga merupakan bagian dari ibadah yang dapat mendekatkan diri pada Allah.
Dalam hadis di atas juga menunjukkan bahwa perempuan bukanlah penghalang untuk mendekatkan diri pada Allah. Perempuan sama sekali tidak mengganggu ibadah seseorang, sebagaimana kisah Nabi dan istrinya. Semua stigma perempuan yang menyalahi atau sebaliknya justru menyalahi Nabi Muhammad Saw dan tidak Islami sama sekali.
Kemudian, Menurut perspektif mubadalah, maka laki-laki juga juga bukan penghalang bagi perempuan untuk mendekat pada Allah. Bahkan keduanya bisa saling membantu mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa stigma perempuan addalah penghalang untuk dekat dengan Tuhan sungguh tidak tepat.
Dalam mendekatkan diri pada Allah Swt, Nabi Muhammad Saw saja tidak sampai mendiskriminasi perempuan. Masa Stigma diskriminatif tetap kita lestarikan? Lalu, Nabi siapa yang kita anut selama ini? []