Mubadalah.id – Di Mesir dan dunia Arab, nama Huda Sya’rawi sangatlah populer sebagai pemimpin kaum feminis. Ia lahir di Menya dari keluarga bangsawan, terhormat, dan kaya raya.
Nama aslinya jalah Nur Huda Sulthan. Ayahnya, Sultan Pasya, dikenal sebagai tuan tanah dan administrator provinsi.
Saat Huda Sya’rawi masih muda, sang ayah meninggal dunia. Ibunya, Iqbal Hanim, kemudian menggantikan kedudukan ayahnya.
Pada usia masih sangat muda, tiga belas tahun, Huda Sya’rawi dinikahkan dengan Ali Sya’rawi, sepupunya. Ia tak bisa menolak permintaan ibunya, meski ia tak ingin dan tak suka atas perkawinan tersebut.
Maka, setahun dalam relasi suami istri yang tak bahagia, ia minta pisah ranjang. Ia kemudian aktif dalam diskusi-diskusi yang membincangkan keadaan dan nasib perempuan di negaranya, Mesir. Ia merasakan betapa masyarakat mendiskriminasikan hak-hak perempuan.
Lebih jauh, Huda Sya’rawi merasakan sendiri perlakuan tidak adil terhadap perempuan di rumahnya. Adik laki-lakinya lebih diistimewakan daripada dirinya, hanya karena ia perempuan.
Ia juga memanfaatkan waktu pisah ranjang dengan suaminya untuk belajar seni. Saat ia mengunjungi Alexandria, ia banyak membaca, belajar, dan berdiskusi.
Di tempat ini, ia bertemu dengan perempuan asing dari Prancis yang menginspirasinya untuk melakukan perubahan.
Pada 1900, atas desakan keluarga, Huda Sya’rawi kemudian melanjutkan pernikahannya yang terhenti selama tujuh tahun.
la mempunyai dua orang anak laki laki dan perempuan. Pada tahun yang sama, ia bersama teman-teman perempuannya menyelenggarakan kuliah umum untuk kaum perempuan, bertempat di Universitas Kairo.
Kadang-kadang di kantor surat kabar al-Jaridah. Selanjutnya, ia terlibat dalam pendirian organisasi yang mereka sebut “Al-Ittihad an-Nisa’i” (Persatuan Perempuan) dan “Jam’iyah ar-Raqi al-Adabiyah li as-Sayyidat al-Mushrityah” (Organisasi Para Sastrawan Perempuan Mesir). []