Mubadalah.id – Bicara politik tentu sudah jadi perkara kanon akhir-akhir ini. Kontestasi 2024 menjadikan tiap lini obrolan di dunia nyata maupun maya terpenuhi perkara elektoral. Tak terkecuali soal inklusivitas dan keterwakilan perempuan, membedah elektabilitas tiap calon perlu kita bidik dari arah manapun.
Persoalan arus politik ini sesungguhnya cukup gamblang. Ketimpangan kontestan laki-laki dan perempuan dalam laga elektoral legislatif maupun eksekutif masih lebar. Hingga kini, UU Pemilu mengenai kuota “minimal” 30% bakal calon legislatif perempuan belum terpenuhi.
Aturan affirmative action tersebut diteguhkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Secara terang, UU ini mewajibkan batas minimum 30% keterwakilan perempuan dalam susunan daftar pencalonan anggota legislatif tiap partai.
Angka ini belum juga kita raih sampai Pemilu 2019 lampau, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8%. Persentase ini berarti hanya terdapat 120 anggota legislatif perempuan dari total 575 anggota DPR RI.
Sesungguhnya semenjak pengesahan UU afirmasi tersebut tren keterwakilan perempuan dalam kursi legislatif meningkat, setidaknya dalam data. Persentase bakal caleg perempuan berada di atas angka 30% semenjak Pemilu 2009.
Meski demikian, jumlah caleg perempuan yang berhasil menduduki kursi di parlemen belum pernah mencapai 30%. Pada 2009 hanya berada dalam angka 18%, kemudian 17% pada 2014, dan 20% pada 2019. Keterwakilan perempuan lantas kita pertanyakan ketika jumlah pemilih perempuan dalam Pemilu tidak pernah kurang dari 49%.
Dilema Keterwakilan Perempuan di Ruang Politik
Pada kontestasi 2024, ruang afirmasi politik perempuan yang sudah susah payah kita bangun kembali terreduksi. Melalui Peraturan KPU No.10 tahun 2023, KPU memberlakukan pembulatan ke bawah apabila perhitungan 30% keterwakilan perempuan. Yakni dari total bakal caleg yang dibutuhkan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Sebagai contoh, semisal di suatu daerah pemilihan kita butuhkan delapan bakal caleg, maka batas minimal 30% keterwakilan perempuan adalah 2,4 orang. Akan tetapi, karena angka desimalnya kurang dari koma lima, maka pada dapil tersebut batas minimal bakal caleg perempuan hanya berjumlah dua orang.
Polemik kemudian semakin bergulir Ketika KPU dan DPR enggan merevisi aturannya. Perkara ini tentu kita nilai mencederai usaha keterwakilan perempuan yang telah diafirmasi oleh Undang-Undang
Batas minimal keterwakilan perempuan dalam kontestasi politik seringkali dianggap beban oleh parpol. Meski kuota minimal caleg perempuan sudah terakomodir. Namun penentuan batas ini berhenti pada taraf pendaftaran bakal calon. Artinya, tentu saja penentuan apakah caleg perempuan akan menduduki kursi tetap berada pada tangan pimpinan partai.
Melalui KPU, delapan belas parpol telah meng-klaim ketercapaian 30% keterwakilan perempuan dalam partainya. Belasan parpol ini bahkan meng-klaim pula bahwa tidak ada partai politik yang menghalangi perempuan untuk menduduki kursi, justru partai politik lah yang merayu kader perempuan untuk mau mencalonkan diri.
Maskulinitas yang Usang
Lantas, melihat keterwakilan perempuan dalam politik tentu tak sesederhana bidikan angka yang tertera dalam klaim partai. Pada praktiknya, tekanan politik uang serta budaya politik yang maskulin seringkali menjerat perempuan untuk maju ke parlemen. Tak bisa kita nafikan, pada kontestasi yang sudah-sudah, amat berat bagi perempuan yang tidak memiliki kedekatan dengan para elit partai untuk berlaga dalam kancah elektoral.
Parpol tentu saja memiliki trik tersendiri untuk memasang pion-pionnya dalam percaturan. Untuk memenuhi kewajiban angka 30%, bakal calon perempuan yang mereka daftarkan seringkali tak jauh-jauh dari kerabat perempuan para petinggi atau influencer cantik yang partai dekati
Sekali lagi, meski perempuan mendapat suara terbanyak pun, keputusan akhir tetap berada di tangan elit parpol. Yakni untuk menentukan siapa yang akan memperoleh kursi. Pada akhirnya, dalam praktik politik praktis, caleg perempuan lah yang seringkali mereka korbankan.
Paradigma politik yang kaku terpengaruhi oleh para aktor lama parpol yang berkuasa tanpa masa jabatan. Ruang-ruang parlemen masih didominasi ide-ide maskulin nirperspektif gender. Praktik-praktik misoginis dalam parlemen barangkali juga masih sering didapat oleh para caleg perempuan. Tak jarang, status personal caleg sebagai ibu atau janda distigma sebagai identitas negatif apabila menjadi figur publik.
Dikotomi antara peran publik dan domestik yang masih langgeng dalam parlemen membentuk politik menjadi ruang tertutup bagi perempuan. Status ranah privat yang tersematkan bukan hal yang bisa hilang meski perempuan telah menduduki kursi peramu kebijakan.
Hal ini tentu berimbas terhadap beban ganda yang membelenggu perempuan untuk melaksanakan kerja dalam parlemen sekaligus kerja domestik di ranah privatnya.
Situasi politik yang tidak ramah ini mengharuskan caleg perempuan bekerja berkali lipat lebih keras untuk mendapat dukungan elit partai, mencari modal finansial dan mendapat restu dari suami atau keluarga. Persoalan tersebut barangkali menjawab klaim partai politik yang kesulitan memenuhi target keterwakilan perempuan, bahkan perlu membujuk kader perempuan untuk mau mencalonkan diri.
Representasi Tanpa Keberpihakan
Usaha demi mendorong keterwakilan perempuan dalam parlemen sesungguhnya bukan hal yang baru-baru saja dilakukan. Parlemen Indonesia pernah berada dalam tataran kritis perspektif gender, ketika politisi perempuan tidak pernah melebihi 10% kursi parlemen sebelum Pemilu 2004.
Tentu saja kebijakan publik yang diambil tanpa mengakomodir kelompok gender tertentu akan menghasilkan keputusan yang eksklusif. Keterwakilan perempuan pun tidak semata-mata dilihat dari banyaknya angka caleg berjenis kelamin perempuan yang berhasil menduduki kursi.
Keterwakilan perlu kita nilai dari besaran kepentingan perempuan yang diakomodir, serta keberhasilan perspektif gender mempengaruhi pengambilan keputusan dewan.
Mengutip gagasan Sarah Longway, affirmative action sebagai usaha pemberdayaan kelompok rentan mestinya memberi akses hingga ke tingkat kontrol dan pengambilan keputusan. Klaim keterwakilan politik perempuan bisa saja kita lakukan dengan memasang pion kerabat elit partai, atau mengambil contoh satu-dua politisi perempuan. Namun, perspektif perempuan akan terus menjadi ruang semu apabila representasi tidak kita barengi dengan keberpihakan. []