Secara umum, studi teks dalam Islam, terutama al-Qur’an dan Hadis, dapat diklasifikasikan menjadi tiga level studi. Pertama, studi tentang teks dalam hubungannya dengan penulis. Kedua, studi tentang teks itu sendiri atau sejarah teks (filologi). Ketiga, studi tentang teks dalam hubungannya dengan realita masyarakat pembaca/penafsir terhadap teks yang terekspresikan dalam produk-produk intelektual, seperti tafsir, syarah hadis, dan fiqh.
Buku “Qira’ah Mubadalah” karya Kang Faqih Abdul Kodir ini (2019) menjadi tulisan yang fokus pada studi level ketiga, yakni tentang teks dan interaksi dengan konteks atau tafsir, serta dilatarbelakangi oleh beberapa alasan.
Pertama, keyakinan umat Islam tentang nilai kerahmatan teks agama yang datang dari Allah untuk Muhammad sebagai Rasul-Nya, tetapi fakta yang ada menjelaskan adanya bias dan subjektifitas yang tidak harmoni dalam proses kontekstualisasi teks dan realitas budaya pembaca.
Kedua, kenyataan yang jelas adanya relasi sabda Tuhan yang ideal dengan ikatan relatifitas konteks yang dihadapi teks, sehingga muncul problematika pembacaan (qira’ah) dari proses tersebut.
Ketiga, Sejarah perjalanan produk tafsir/pembacaan bagi mayoritas umat Islam ‘seolah-olah’ diyakini sebagai produk yang final atau bahkan telah menjadi semacam “teks baru” yang kebenarannya seakan-akan setara dengan teks itu sendiri, padahal sejatinya ia diwarnai oleh problem-problem runyam dan mengalami dialog serta konflik kepentingan dalam proses kesejarahannya.
Uraian dalam buku ini dijabarkan dalam dua bagian besar yang masing-masing bagian memiliki focus studi yang komprehensif, tetapi masih memiliki ketersinambungan dengan bagian yang lainnya. Penulis, dalam bagian pertama, sepertinya ingin mengawali dengan membangun kontruksi perspektif yang sedang ditawarkan dalam berinteraksi dengan teks agama, yakni Qira’ah Mubadalah.
Dinyatakan di dalamnya bahwa, istilah mubadalah yang digunakan dalam buku ini menekankan pada pola pembacaan teks yang mengandung nilai kemitraan, kerjasama, kesalingan, dan timbal balik (resiprokal) (h. 59). Selain itu, penulis di luar analisa kebahasaan, juga memberikan pilar-pilar normative atas konsep atau paradigma yang sedang ditawarkan, seperti spirit Q.S. al-Hujurat: 13 dan Q.S. al-Maidah: 2 (h. 60-61).
Selanjutnya, penulis juga mengkaji perihal relasi kesalingan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai ayat al-Qur’an. Selain ayat al-Qur’an, legitimasi riwayat hadis juga menjadi pijakan dalam meneguhkan paradigma mubadalah ini (h. 82-94). Perlu diketahui, bahwa penulis dalam bahasan ini lebih banyak menekankan kepada pembaca bahwa redaksi teks agama yang cenderung maskulin (kelaki-lakian) harus dibaca dengan kesadaran penuh bahwa perempuan juga menjadi subjek dalam titah teks tersebut (h. 115). Sehingga kesadaaran ini diharapkan akan melahirkan cara pandang yang harmonis tentang posisi laki-laki dan perempuan dalam konteks sebagai objek penerima titah teks (mukallaf). Akhirnya, penulis dalam berbagai redaksinya selalu menekankan bahwa kemanusiaan yang utuh adalah jika keduanya (laki-laki dan perempuan) dipandang sebagai manusia yang setara dan saling melengkapi, dan inilah substansi dari perspektif mubadalah.
Bagian yang kedua dari buku ini, menjelaskan tentang bentuk aplikasi perspektif qira’ah mubadalah yang diterapkan dalam menjawab isu-isu keagamaan mainstream, terlebih yang menyenggol isu-isu bias gender di dalamnya. Dan ini memang sejak awal menjadi plot dan alur dalam kajian buku ini. Isu-isu seperti “Dua Banding Satu” (h. 264-274), “Perempuan Kurang Akal” (h. 274-282), dan “Bidadari dan Bidadara” (h. 311-324) dikupas tuntas dan menjadi hidangan yang “terlihat menyehatkan dan bergizi” bagi para pembaca, terutama mereka yang concern di bidang kesetaraan gender.
Selanjutnya, Kang Faqih meneruskan pembacaannya dengan lebih jauh ke arah isu-isu pernikahan dan kerumah tanggaan yang memang selalu menjadi biang keladi permasalahan bias gender dalam masyarakat. Ia, dalam pembukanya, menyatakan bahwa perilaku mulia seseorang terhadap keluarganya adalah standar moral tertinggi dalam Islam (h. 326). Artinya, laki-laki yang dalam berbagai adat dan budaya masyarakat selalu diposisikan sebagai orang yang sangat berpengaruh di dalam keluarga harus memiliki tanggung jawab dan jaminan akan kebaikan yang benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan keharmonisan keluarga, bukan malah sebaliknya. Penulis juga mengupas hal-hal yang terkait dengan pilar-pilar dalam menjalin rumah tangga dengan prinsip kesalingan ini.
Sebagai contoh, teks agama yang berbicara soal kewajiban mencari rizki dan nafkah harus ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Meski dalam berbagai teks agama dikatakan bahwa perempuan wajib dinafkahi oleh laki-laki, namun hal demikian itu karena amanah reproduksi yang diemban perempuan dan tidak dimiliki laki-laki. Jadi, ketika amanah reproduksi sedang tidak dijalankan oleh perempuan, maka nafkah kembali menjadi tugas bersama untuk keduanya sesuai dengan kemampuan dan kepantasan masing-masing (h. 372).
Soal ar-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’ (Q.S. an-Nisa’: 34), tafsir mubadalah yang digunakan oleh Kang Faqih adalah bukan pada penekanan atas superioritas laki-laki atas perempuan, namun pada tuntutan terhadap mereka yang memiliki keutamaan (fadhl) dan harta (nafaqah) untuk bertanggung jawab menopang mereka yang tidak mampu dan tidak memiliki harta (h. 380).
Konsep keagaman yang menjadi objek pelototan kaum kesetaraan gender juga dibidik oleh Kang Faqih dalam bukunya. Konsep nusyuz misalnya, Kang Faqih dengan mubadalahnya tidak lagi mengorientasikan nusyuz hanya bagi istri tapi terjadi pula pada suami. Pijakan dalilnya adalah apa yang disampaikan dalam Q.S. an-Nisa’: 128. Intinya, pengelolaan nusyuz dalam al-Qur’an adalah lebih ditekankan pada bagaimana upaya suami dan istri dalam menjalin relasi semula yang saling mencintai dan mengasihi (h. 412).
Lebih asyik lagi, jika kita membaca bagaimana Kang Faqih menilai soal poligami. Baginya, dengan perspektif mubadalah, poligami bukanlah solusi dalam relasi pasutri, tetapi problem yang seringkali mendatangkan keburukan (h. 419). Sungguh ini kesimpulan yang berani! Dan masih banyak lagi tema-tema keagamaan yang dibidik dan diuraikan secara apik oleh Kang Faqih dengan pusakanya yang bernama mubadalah ini.
Buku ini adalah bentuk advokasi kesetaraan yang dibungkus dengan tafsir atas teks agama yang secara referensial sangat padat dan kuat dalam memberikan pijakan dalil normatif bagi perspektif mubadalah-nya. Nampaknya, secara sadar, penulis memposisikan diri sebagai pengawal kesetaraan yang berusaha bersikap objektif dan terbuka (untuk dikritisi) dengan mengacu pada standar ilmiah yang ada. Penulis, juga menyadari bahwa upaya rekontruksi cara baca terhadap teks agama yang telah diyakini mapan oleh sebagian besar umat Islam belum sepenuhnya sempurna dan harus terus diupayakan.
Namun satu hal yang pasti yang kelihatannya muncul dalam diri penulis adalah bahwa kalam Tuhan yang mewujud dalam teks ini masih sangat misteri dan perlu perenungan yang mendalam, bagai mutiara yang jika dipancarkan sinar padanya akan memantulkan pancaran dalam berbagai arah. Sehingga dibutuhkan effort yang lebih dari sekedar mengetahui kemudian meyakininya saja tanpa bersikap kritis terhadapnya. Karena hal ini akan berdampak pada visi titah Tuhan yang Rahman dan Rahim yang terekam dalam teks yang hendak disampaikan kepada pembaca guna menjadi pentunjuk bagi pembacanya, dan bukankah itu tujuan pokok dari keberagamaan kita sebagai kaum beriman?
Satu hal yang perlu dipahami bahwa, buku ini sangat kaya dengan rujukan-rujukan karya-karya ulama yang kompeten di bidangnya. Jadi, buku ini dikalangan umum “bisa saja” dianggap sebagai buku yang “jelas pasti melelahkan” untuk dijelajahi bagi mereka yang malas berpetualang dalam dunia nalar serta “berkarbohidrat tinggi” bagi mereka yang suka “diet” dalam mengkonsumsi referensi. Oleh karenanya, sebagai intelektual muslim, membaca buku seperti ini adalah bagian dari bentuk amalan tirakat yang harus dijalankan oleh mereka yang haus akan hikmah dan kebijaksanaan. Wa Allah A’lam bi al-Shawab.