Mubadalah.id – Jika merujuk beberapa Hadis, Nisfu Sya’ban bukanlah mengada-ada, bid’ah, dan bukan tidak ada dasar agama yang mereka percaya. Usamah bin Zaid, seorang pemuda cerdas, pernah menyampaikan kepada Nabi Saw:
“Ya Rasulullah, aku belum pernah melihat engkau berpuasa di bulan lain lebih banyak daripada puasamu pada bulan Sya’ban.”
Nabi pun menjawab, “bulan itu sering dilupakan orang karena diapit oleh bulan Rajab dan Ramadhan, padahal pada bulan itu, amal-amal manusia selama satu tahun diangkat dan dilaporkan kepada Tuhan. Karenanya, aku ingin agar sewaktu amalanku dibawa naik, aku sedang berpuasa.” (HR. Ahmad dan Nasa’i).
Abu Daud, ahli hadis terkenal, menginformasikan kepada kita berita dari istri Nabi, Aisyah: “Sya’ban adalah bulan yang paling Nabi sukai. Beliau berpuasa penuh. Kemudian melanjutkannya pada bulan Ramadhan.”
Kemudian, Musaz bin Jabal, sahabat Nabi, pernah mengatakan: “Tuhan melihat semua ciptaan-Nya pada pertengahan Sya’ban. Dia akan mengampuni mereka kecuali orang-orang yang menyekutukan-Nya, yang suka membenci orang lain dan mendengki (musyahin).” Ini hadis sahih. (HR Thabarani dan Ibnu Hibban).
Aisyah, istri Nabi, bercerita pada suatu malam dia kehilangan Rasulullah saw. Ia sempat curiga, kemudian bergegas mencarinya.
Aisyah menemukan suami tercintanya itu di Baqi, nama kompleks pemakaman (kuburan) para sahabat dan para pejuang (syuhada). Di tempat itu Nabi sedang menengadahkan wajahnya ke langit dengan mata sendu, kadang meneteskan air mata. Kepada istri tercintanya (Aisyah), yang kemudian mendatanginya, beliau berkata:
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban dan mengampuni (dosa) hamba-Nya yang jauh lebih banyak dari jumlah bulu domba Bani Kalb.” (HR. Turmudzi, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Siti Aisyah, menurut sumber informasi yang lain, mengatakan:
“Tuhan menampakkan Diri pada malam pertengahan Sya’ban. Dia mengampuni mereka yang meminta ampun dan menyayangi mereka yang ingin disayang, dan mengacuhkan mereka yang mendengki.” []