Mubadalah. Id – Sebagaimana tulisan sebelumnya, apresiasi Al-Qalyubi untuk perempuan – yang ingin puasa di bulan Ramadan tapi terhalang karena haid datang – adalah tanpa ragu menyampaikan bahwa perempuan itu dapat pahala – asal ada effort.
Selain itu, keputusan tersebut merupakan suatu alternatif yang solutif di tengah diskusi alot antar pakar hukum Islam. Apakah perempuan haid itu wajib puasa atau tidak?
Pertanyaan yang muncul dari konsep, “Apakah sesuatu yang boleh ditinggal adalah hal yang wajib atau tidak?”.
Menurut jumhur, perempuan yang sedang haid tidak wajib puasa. Karena perempuan haid, boleh (bahkan harus) meninggalkan puasa. Yang kemudian menjadi kaidah baku, جَائِزُ التَّرْكِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ (sesuatu yang boleh diabaikan, bukanlah suatu kewajiban).
Diskusi Jumhur dan Fukaha: Soal Perempuan Haid dan Puasa
Hasan bin Muhammad al-‘Atthar dalam Hasyiahnya melansir dari Imam Nawawi mengatakan, “Orang muslim mufakat bahwa tidak ada kewajiban puasa atas orang yang haid kala itu (ia haid)”. Adapun redaksi aslinya dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muzaab, Imam Nawawi menegaskan:
لا يصح صوم الحائض والنفساء ولا يجب عليهما ويحرم عليهما ويجب قضاؤه وهذا كله مجمع عليه
“Tidak sah puasanya perempuan haid dan nifas. Dan Puasa tidak wajib atas perempuan haid dan nifas serta haram melakukannya tapi wajib qada. Hal ini sudah menjadi konsensus ulama”.
Sayangnya, kalangan Ahnaf atau Fukaha merasa janggal dan menggugat konsensus yang diklaim Imam Nawawi dengan mengajukan 2 argumentasi terkait kewajiban puasa atas perempuan haid.
“Mayoritas Fukaha (Ahnaf) berpandangan; puasa itu tetap wajib atas perempuan haid. Dua argumentasinya. Pertama, lantaran firman Allah (QS. Al-Baqarah [2]: 185) yang mewajibkan puasa atas orang yang melihat hilal. Dan perempuan haid melihat (mengetahui) hilal itu.
Kedua, karena perempuan haid wajib qada (mengganti) sesuai hari yang ia tak puasa di bulan ramadhan” (Hasyiah al-Bannani dan Syarah Ghayatul Ghusul, 1/218).
Mendengar argumentasi fukaha, jumhur – sebagai fraksi yang tidak mewajibkan puasa atas perempuan haid – bergegas untuk membalahnya. Sebagai sanggahan, Jumhur juga menampilkan dua alasan untuk meruntuhkan argumen fukaha.
Pertama, bahwa terlihatnya hilal sebagai sebab diwajibkannya puasa itu berlaku bila tidak ada uzur (haid), tidak secara mutlak. Kedua, kewajiban mengganti (qada) bukan lantaran kewajiban melaksanakan puasa kala haid, melainkan karena adanya sebab yaitu terlihatnya hilal.
وَالْخُلْفُ لَفْظِيٌّ Menurut Tajjuddin al-Subki
Hampir saja kalangan fukaha menampik dan mengokohkan argumentasi dirinya. Tapi, Imam Tajuddin al-Subki, pengarang Jam’ul Jawami’ itu, segera memvonis bahwa diskusi kali ini tak begitu urgen karena tak ada perbedaan yang signifikan.
Sebagai closing diskusi, Imam Tajuddin al-Subki berselancar, “وَالْخُلْفُ لَفْظِيٌّ”; perbedaannya hanya berkisar pada retorik, tidak substantif, (Jam’ul Jawami, Tajuddin al-Subki).
Sebab, menurut al-Subki, konsensus dari kedua kubu itu sebagai fiksasi dalam persoalan hukum, mengatakan perempuan yang haid boleh (harus) tidak puasa lantaran ada mani’ (haid). Dan perempuan haid itu wajib mengganti di hari lain. Inilah hasil akhir dari kedua faksi; Ahnaf dan Jumhur.
Haid dan Puasa Sama-Sama Ketetapan Tuhan
***
Ibadah (puasa) hanyalah sarana yang Tuhan tetapkan untuk hambanya sebagai media munajat. Tujuan dari puasa tiada lain adalah Tuhan itu sendiri. Di saat yang sama, haid adalah ketetapan Tuhan khusus untuk perempuan lantaran satu dan lain hal.
Jika haid adalah ketetapan Tuhan dan ibadah (puasa) juga ketetapan Tuhan, maka menjalani keduanya adalah sama nilainya. Sama-sama menjalani ketetapan Tuhan.
Dengan demikian, perempuan yang sedang melaksanakan ketentuan Tuhan (haid) tetap mendapat reward dari Tuhan meski tidak melakukan puasa. Tapi catatannya, selain taat, juga ketika perempuan sudah suci dari haidnya, ia harus melakukan puasa seperti halnya ketetapan Tuhan yang berlaku.
Nah, tapi kenapa perempuan yang tidak puasa Ramadan tetap harus mengganti di hari lain, padahal ia sudah mendapatkan reward pahala dari Allah?
Karena agama tidak hanya datang sebagai substansi (pahala = ketakwaan dan ketaatan), tapi juga menjadi wadah. Pada konteks puasa, yang jadi wadah legal-formalnya adalah puasa dan isi-substansinya adalah pahala (ketakwaan dan ketaatan).
Dalam hal ini, memang perempuan haid sudah mendapatkan isinya, namun belum wadahnya. Oleh sebab itulah kewajiban puasa masih belum gugur pada perempuan haid.
Ketaatan dan Ketakwaan Muara di Balik Puasa
Wadah legal-formalnya adalah puasa, dan isi-substansinya adalah ketakwaan dan ketaatan. Karena ketakwaan dan ketaatan, maka untuk mendapat reward dari Tuhan, penting untuk camkan statement Kiai Afif di awal, “… karena (perempuan haid itu) taat pada aturan dan ketentuan Tuhannya”.
Dan ketakwaan dan ketaatan itulah yang menjadi garis pembeda dari puasanya orang yang arogan. Orang yang – dalam tulisan Goenawan Muhammad – “Pokoknya: saya berpuasa, sebab itu saya harus dihormati”. Tulisan catatan pinggir Tempo 2007 yang bagus sebagai refleksi diri dan auto-kritik.
Sebab, seringkali kita tak menyadari bahwa puasa dapat memberi diri sesuatu yang kontradiksi: rasa berkelebihan, bahkan supremasi.
“Aku seakan-akan dalam kesucian, sebagai yang “berkorban” dan juga sebagai yang “tak najis”. Orang lain? Mereka dosa, loba, penuh syahwat—pendeknya lebih nista dari diriku”. Tutup Pak Gun
Oleh sebab itu, ketakwaan dan ketaatan merupakan – meminjam istilah Immanuel Kant – noumena dibalik fenomena puasa. Falyatammul (renungkanlah), Takbir! []