Budaya patriarki yang selama ini bias gender bukan hanya berdampak pada peran laki-laki dan perempuan yang disfungsi, lebih dari itu budaya patriarki berdampak pada kesehatan mental. Kesehatan mental sendiri tidak hanya berbicara tentang penyakit, tetapi dalam arti luas berkaitan dengan masalah-masalah penyesuaian diri untuk berupaya menjadi sehat mental.
Berbicara mengenai bias gender dan kesehatan mental, Sigmund Freud menyatakan jika perempuan rentan mengalami agresi terhadap diri sendiri yang berasal dari lingkungan yang patriarki. Akibatnya, perempuan cenderung memiliki masalah penyesuaian diri seperti stress, depresi, gangguan cemas, fobia, gangguan makanan, dan lainnya.
Pada mulanya, masalah penyesuaian diri ini berasal dari kebiasaan, peran, posisi, dan tuntutan yang diberikan kepada perempuan. Sedari kecil perempuan dituntut memiliki kepribadian yang mengutamakan hubungan, perasaan atau afeksi, menjadi pendukung, dan menomorsatukan kepentingan orang lain atau berkorban demi orang lain.
Tuntutan-tuntutan itu membuat perempuan memiliki banyak peran dan tekanan yang harus dihadapi setiap hari. Bahkan ketidaksetaraan gender banyak menekan perempuan untuk menjadi orang lain dan tidak mengenal dirinya sendiri. Mulai dari penampilan luar, pola pikir, dan cara berekspresi yang ditentukan oleh standar dari luar dirinya.
Sedari kecil perempuan selalu menjadi pihak yang harus terus berkorban. Sebagaimana yang digambarkan melalui film Korea, Kim Ji Young Born 1982, ketika ibunya harus memupus cita-cita menjadi guru untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Hubungan Kim Ji Young dengan ayahnya pun tidak harmonis, karena ayahnya hanya membawa oleh-oleh untuk adik laki-lakinya. Ayahnya pun tidak berupaya melindunginya saat ada laki-laki yang mencoba melakukan pelecehan. Ia malah disalahkan oleh ayahnya karena dianggap berpenampilan menggoda.
Kondisi yang digambarkan pada film itu terlihat juga dilingkungan masyarakat kita. Hingga saat ini masih banyak orang tua yang menikahkan anak perempuannya pada usia muda dengan alih-alih beban ekonomi berkurang. Dampaknya anak perempuan itu mengorbankan diri secara terpaksa dengan memendam cita-cita serta harapannya untuk kehidupan di masa depan.
Begitupun dengan ayah atau secara umum orang tua yang lebih banyak menyalahkan anak perempuan saat berpakaian terbuka. Mayoritas lingkungan kita menggunakan dogma agama untuk mengancam anaknya berpenampilan tertutup, tidak keluar rumah, atau lainnya agar terhindar dari pelecehan seksual. Kebanyakan anak perempuan itu disalahkan dengan dalih dosa atau neraka.
Kondisi anak perempuan yang telah mengenal budaya patriarki sejak kecil, secara tidak langsung berpengaruh pada kesehatan mentalnya saat ia berkembang menjadi wanita dewasa. Belum lagi pengaruh lingkungan luar seperti sistem masyarakat, pola pikir, hingga standar kecantikan yang kebanyakan menyudutkan dan menuntut perempuan.
Dalam hal standar kecantikan misalnya, hingga saat ini perempuan masih saja dibombardir media dengan citra tubuh yang harus berkulit putih, berambut lurus, dan langsing. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Science pun menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menilai perempuan berdasarkan penampilan.
Sedangkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kecerdasan, keterampilan, dan kepribadian perempuan justru dikesampingkan, berbeda ketika mereka memberikan penilaian terhadap laki-laki. Kondisi yang demikian dapat disebut sebagai penurunan terhadap harkat tubuh perempuan dengan menjadikan perempuan sebagai objek semata.
Penilaian terhadap perempuan yang berkaitan dengan standar kecantikan itu, menurut Jackie Viemilawati, seorang psikolog klinis dan antropolog media dari Yayasan Pulih justru berisiko membuat perempuan mengalami gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mentalnya dapat berupa Gangguan Stress Pasca Trauma (PTSD), kecemasan, dan gangguan pola makan. Mental yang tidak sehat ini dapat saja menurunkan kualitas dan harapan hidup perempuan. Baik itu insecure karena tidak dapat memenuhi standar kecantikan tersebut atau justru sakit fisik yang disebabkan pola makan yang tidak sehat.
Tidak hanya itu, perempuan juga rentan mengalami gangguan kesehatan mental yang disebabkan oleh objektifikasi perempuan. Misalnya siulan, tatapan, atau ucapan yang dianggap sebagai budaya laki-laki yang justru diklaim sebagai bentuk dalam menunjukkan kasih sayang.
Objektifikasi perempuan seperti di atas juga terkadang dianggap sebagai pujian dan merupakan hal yang biasa. Dalam hal ini, penampilan dan tubuh perempuan seringkali dijadikan bahan guyonan. Mereka yang melakukan itu tidak sadar bahwa praktik tersebut bisa berbahaya bagi kesehatan mental perempuan apabila terus dibiarkan. Objektifikasi kepada perempuan ini terjadi ketika bagian tubuh perempuan diinspeksi melalui pandangan dan sentuhan. Laki-laki sebenarnya bisa juga mengalami hal tersebut, tapi perempuan mempunyai kecenderungan lebih besar.
Bentuk-bentuk objektifikasi lainnya pun beragam, mulai dari menatap bagian tubuh tertentu, bersiul ketika perempuan lewat, meraba bagian tubuh, mengeluarkan komentar berkaitan dengan penampilannya baik secara langsung atau melalui media sosial, bahkan melakukan kekerasan fisik seperti memerkosa.
Dampak yang paling terlihat dari praktik objektifikasi kepada perempuan ialah self-objectification. Apabila hal ini terus dibiarkan dapat mengganggu kepercayaan diri perempuan, memiliki perasaan tidak aman, memengaruhi kenyamanan perempuan untuk berpartisipasi di ranah publik, bahkan berpengaruh terhadap angka kematian perempuan.
Objektifikasi ini pun menjadi perpanjangan tangan perilaku seksisme atau diskriminasi gender. Pada sebuah studi Young Women’s Trust ditemukan bahwa seksisme berkaitan dengan tingkat depresi yang tinggi pada wanita muda yang mana berresiko menjadi sasaran perilaku seksis. Young Women’s Trust yang bekerja sama dengan Universitas College London juga menemukan bahwa perempuan rentang usia 18-30 tahun yang mengalami seksisme lima kali lebih mungkin menderita depresi klinis.
Pada umumnya seksisme terhadap perempuan terjadi dilingkungan sekolah, kerja, transportasi umum, dan di luar rumah. Seksisme sangatlah memengaruhi kehidupan perempuan usia muda, bahkan memiliki dampak gangguan kesehatan mental yang menahun. Perempuan yang menjadi korban perilaku seksisme bukan hanya wanita muda, baik yang belum menikah maupun yang sudah berkeluarga. Mereka yang berusia 30 tahun ke atas pun kerap kali menerima perilaku seksisme yang merujuk pada perubahan biologis.
Misalnya ketika perempuan mengalami masa menopause selalu dikaitkan dengan nilai-nilai sosial bahwa perempuan itu tidak subur lagi. Nilai-nilai perempuan dilingkungannya pun menjadi berkurang dan itulah yang menambahkan faktor risiko kesehatan mental bagi perempuan. Kondisi perempuan yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental akibat bias gender pun dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dan ekstremis. Latar belakang perempuan yang diajarkan harus patuh kepada laki-laki sedari kecil dijadikan tameng untuk mengikuti perintah dari pimpinan kelompok.
Melalui doktrin agama dan sosial yang cenderung patriarki, perempuan diberikan paham bahwa bergabung dengan kelompok tersebut memudahkan seluruh anggota keluarganya masuk surga. Dalam hal ini perempuan kembali menjadi sosok yang harus berkorban untuk keluarganya. Pada akhirnya, semua hal yang berakibat pada kesehatan mental menjadi penyebab rendahnya produktivitas perempuan dibandingkan laki-laki, terutama dalam bidang pendidikan dan ekonomi, begitupun dalam isu ekstremisme kekerasan. Hal ini karena banyaknya batasan-batasan yang dikonstruksi masyarakat dalam mengekang perempuan.
Sistem patriarki dan konstruksi gender sebenarnya merugikan laki-laki juga, tapi lebih banyak perempuan yang dirugikan. Dalam relasi kelompok pun perempuan yang seharusnya menjadi support system antar sesama perempuan, malah menjadi boomerang, yang mana perempuan pun menjadi pelaku bullying secara psikologis.
Banyak perempuan yang akhirnya diam dan abai terhadap kesehatan mental mereka sendiri karena terlalu banyak stigma. Bahkan tidak sedikit juga orang-orang terdekat mereka yang mengungkit-ungkit bahwa gangguan kesehatan mental yang terjadi merupakan akibat dari kurangnya mendekatkan diri kepada Tuhan.
Pernyataan itu bukan membuat kondisi perempuan semakin membaik, malah memperburuk situasi dan mendorong sebagian orang ingin mengakhiri hidup. Begitulah yang disampaikan salah satu perempuan yang berpartisipasi dalam diskusi Ruang Nyaman yang diselenggarakan Magdalene pada 2019 silam.
Dampak budaya patriarki itu ternyata sangatlah luas, hingga menyentuh ranah kesehatan mental, khususnya perempuan. Namun, dengan mengetahuinya setidaknya kita bisa mulai aware dan peka terhadap kehidupan perempuan yang membutuhkan ruang untuk memerdekakan dirinya dalam segala hal. Kita juga sebagai perempuan harapannya mulai mengerti bahwa perempuan itu membutuhkan support system yang baik. Tujuannya agar kualitas dan harapan hidup perempuan terus meningkat, bukannya melakukan perilaku bullying antar sesama perempuan.
Dengan memberi dukungan dan memahami bahwa perempuan itu rentan terkena gangguan kesehatan mental akibat budaya patriarki, secara tidak langsung kita semua sedang memberikan kekuatan kepada seluruh perempuan, bahwa perempuan bukanlah manusia kelas dua yang terus menerus menjadi korban objektifikasi. Harapannya pun pemerintah kita bisa melek dengan kondisi budaya patriarki yang berpengaruh pada kesehatan mental perempuan. Misalnya dengan mengesahkan RUU PKS yang mana dianggap salah kaprah, tetapi justru membantu sekaligus menolong perempuan menjadi sehat secara mental.[]