Mubadalah.id – Pada 27 April 2024 kemarin, salah satu penyair ternama negeri kita telah berpulang. Setelah terbaring sakit selama beberapa waktu. Ialah Joko Pinurbo (Jokpin), yang meninggal dalam damai sebagaimana penyair WS Rendra ataupun novelis Pram, dengan lantaran sakit sebagai jalan berpulang. Sebuah kematian di atas ranjang yang hangat, di kelilingi orang-orang yang disayang.
Senja Sebagai Simbol Kematangan dan Kedewasaan
Jokpin pergi dengan meninggalkan puisi-puisi yang bukan hanya berindah-indah di dalam diksi, namun puisi yang sarat akan makna dan kritik.
Jokpin sedikit mirip dengan Sapardi Djoko Damono, menyampaikan puisi dengan bahasa lembut dan halus. Jika diumpamakan, Sapardi adalah penyair hujan, Agus Noor adalah penyair kopi, sedang Jokpin adalah penyair senja. Penyebutan ini bukan sembarang, sebab nuansa puisi Jokpin menunjukkan citarasa senja. Selain ia juga pernah menulis puisi berjudul Pacar Senja.
Senja adalah simbol kematangan dan kedewasaan. Dalam siklus kehidupan manusia, orang yang berumur lebih dari 50 tahun, sudah memasuki usia matang dan dewasa. Usia sebagaimana perjalanan matahari yang sudah mulai condong ke arah barat, menjadi sebab munculnya mega merah dan meredam teriknya matahari siang. Semiotika puisi Pacar Senja akan sampai juga pada pemaknaan perjalanan kehidupan manusia yang menjelang purna.
Senja adalah tanda telah sempurnanya tugas matahari menyinari bumi. Manusia di usia menjelang “senja” adalah mereka yang diharapkan bisa menuntun anak muda karena telah melanglang buana menapaki pengalaman hidup. Puisi dan pribadi Jokpin menggambarkan kematangan dan kedewasaan layaknya senja, yang mengajari manusia menjadi pribadi yang tenang dalam menghadapi manis dan pahitnya kehidupan.
Kritik Halus ala Jokpin
Jokpin adalah sang inspirator di mana dengan puisi-puisinya, ia mampu menginspirasi ribuan anak muda. Semua mahasiswa sastra yang belajar puisi, pastilah mengenal Jokpin. Pecinta dan penikmat sastra yang punya ketertarikan untuk mereguk nikmatnya puisi juga pasti mengenalnya.
Prosa adalah tentang menjabarkan dunia, sedangkan puisi adalah menyederhanakan dunia dalam satu-dua kata. Jokpin berhasil menciptakan puisi-puisi indah, menyampaikan pelajaran dan potret kehidupan melalui satu-dua kata dengan caranya sendiri yang otentik.
Bukan hal yang mudah menulis puisi, karena selain seorang penyair dituntut membaca banyak buku, ia juga dituntut melakukan banyak instrospeksi dan perenungan, lalu mengungkapkannya dalam himpunan kata yang harmonis dan sublim.
Puisi Jokpin lahir dari pembacaan dan perenungan yang mendalam. Hebatnya, sekalipun mengkritik fenomena sosial yang keruh, Jokpin berhasil menyampaikannya dengan bahasa yang halus dan lembut, tanpa kehilangan kelugasannya. Ia mengkritik intoleransi agama dengan hangat. Ia menyoroti keber-agama-an manusia dengan cara yang tenang dan damai.
Seperti dalam sajak: Apa agamamu? Agamaku adalah air yang menghapus pertanyaanmu. Puisi ini muncul dari kegelisahan seorang Jokpin terhadap fenomena maraknya orang bertanya agama sebagai tolak ukur memergauli orang lain.
Jika berbeda kepercayaan, akan menjaga jarak, namun jika beragama yang sama, akan lebih ramah. Padahal dalam berkehidupan, sudah seharusnya manusia memergauli siapapun dengan baik tanpa pandang agama, kepercayaan, ataupun warna kulit.
Jokpin, Media, dan Perempuan
Jokpin memang terkenal menyoroti hal-hal domestik keseharian, Jokpin dalam puisinya juga sempat menyatakan pendapat dan kegelisahannya tentang media dan hiruk-pikuknya. Seperti dalam sajak Telepon Genggam dan Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Berkantor di Ponselnya.
Perempuan dalam puisi Jokpin juga punya posisi khusus, Maria, dan diksi Ibu, sering disebut-sebut dalam puisi Jokpin, baik secara gamblang sebagai sosok Ibu dari seorang anak, ataupun sebagai personifikasi. Ibu yang digambarkan Jokpin kebanyakan merupakan sosok mulia, penyayang, bijaksana, aktif dalam urusan domestik dan pemegang otoritas namun tidak otoriter.
Puisi Kemacetan Tercinta:
“Selamat malam, Bu. Apakah di tengah kemacetan ini kecantikan masih berguna?”
Ibu tak menjawab malah berkata, “kemacetan ini terbentang antara hati yang kusut dan pikiran yang ruwet. Kamu dan negara sama-sama mumet.”
Sosok Ibu sebagai sosok yang aktif di ranah domestik (puisi Keluarga Puisi):
Pagi-pagi ibu sudah mengepul di dapur
Ayah berderai di halaman
Dan aku masih gemericik di tempat tidur.
Selain itu, Jokpin juga tak luput mendefinisikan dan mengkritik kecantikan dengan cara lembut namun tajam, lewat puisinya Kecantikan Belum Selesai dan Doa Para Pesolek. Di dalam puisi Kecantikan Belum Selesai, tersirat makna bahwa di balik kecantikan fisik yang penuh riasan, ada kehampaan. Tak ada kecantikan yang sempurna, mendamba kecantikan yang sempurna adalah ilusi. Manusia akan senantiasa merasa kurang meski ia telah bersolek habis-habisan. Puisi ini mengajak perempuan untuk merenungkan kembali definisi kecantikan dan pentingnya menerima kertidaksempurnaan. Penggalan sajak Kecantikan Belum Selesai:
Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir
pada rambut, mata dan bibir agar melihatku
adalah melihat kecantikan yang belum selesai.
Perlukah, manis, kuoleskan darah pada bibirmu
yang skeptis agar semua yang mendamba kau
sangsai: apakah kecantikan sudah/belum selesai?
Menuju Otensitas Diri dan Puisi
Meski Jokpin sempat dikritik karena puisinya yang dinilai “sepele” dan tidak memiliki keunikan, namun ia tidak patah arang. Dalam wawancara dengan Whiteboard Jurnal, Jokpin mengatakan setelah buku kumpulan puisinya ditolak tiga kali oleh penerbit, ia mengevaluasi lagi semua sajak-sajaknya dan melakukan riset untuk mengidentifikasi kekurangan puisi-puisinya, dari gaya bahasa hingga tema dan gaya penulisan.
Ia berhasil menemukan kelemahan puisinya, lalu mengubah gaya penulisannya yang awalnya liris menjadi naratif. Ia melakukan eksperimen menulis puisi dengan objek sederhana, seperti celana, sarung, kaleng khong guan, angkringan, dan lain-lain. Yang mana hal itu belum dilakukan oleh para penyair pendahulunya. Dan kemudian itulah yang menjadi keunikan dan ciri khasnya. Dengan kecerdasannya, Jokpin menjadi ahli menulis puisi dengan diksi dan gaya sederhana namun memiliki makna yang tidak sederhana.
Jokpin dan Humor
Tak jarang, Jokpin menyelipkan humor dalam puisinya. Baginya, humor adalah cara terbaik untuk menghadapi absurditas hidup. Hidup yang berisi pengulangan dan rutinitas, harus dihadapi dengan hati yang lentur. Menurut Jokpin, Humor yang ia buat bukan semata untuk memberi efek kelucuan, namun berisi visi cara orang menyikapi hidup. Humor yang ia buat memuat tujuan yang lebih filosofis.
Hidup adalah serangkaian rutinitas yang membosankan. Bagaimana menghadapinya? Dengan relaksasi. Humor adalah relaksasi. Kehidupan yang suram dan sulit hanya bisa dihadapi dengan batin yang rileks. Ya, saat membaca puisi-puisi Jokpin kita seolah dibawa berekreasi dan relaksasi, membuat syaraf-syaraf jadi kendur, mendapat efek terapi.
Penyair Senja
Dunia kesusasteraan Indonesia melahirkan banyak nama penyair legendaris yang sekaligus menjadi maestro dan patron sastra seperti HB Jassin, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Abdul Hadi WM, hingga Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi.
Jokpin dan puisinya telah memberi warna baru dalam dunia puisi Indonesia. Ia menyeimbangi cadas dan kuatnya kritik Wiji Thukul, ataupun puisi-puisi eksploratifnya Ahmadun Yosi Herfanda. Jokpin sangat pantas masuk dalam jajaran penyair kenamaan karena kualitas puisinya yang unik, dalam, jenaka, kadang dipenuhi satire, dan membawa kebaruan dalam dunia sastra Indonesia.
Jokpin adalah penyair senja, penyair yang telah purna dan lebur dalam ekstase bahasa. Tentu penyebutan penyair senja bukan untuk mengkotak-kotakkan, sebab Jokpin juga beberapa kali menulis sajak tentang kopi dan beberapa kali menggunakan diksi hujan.
Sajak Lubang Kopi:
Jam tiga pagi Waktu Indonesia Bagian Kopi
lampu tidur di matanya menyala kembali.
Hujan tinggal bekas dan kopi sudah menjadi miras.
Sajak Litani Terima Kasih:
Ibu hujan mendaraskan rincik-rincik merdu
Terimalah kasihku
Sepanjang karir kepenyairannya, Jokpin juga pernah membuat sajak yang bernuansa kritik sosial, kritik terhadap norma, dan juga tragedi Mei, melalui sajak Korban, Daerah Terlarang, Patroli, sajak Mei, dan lainnya. Demikian penyair lain juga tidak berhenti bersajak pada satu tema khusus, namun mereka semua juga menyoroti beragam fragmen kehidupan.
Pergeseran Makna Puisi dan Kapitalisasi Puisi
Jokpin pernah mengkritik posisi puisi di era teknologi informasi kini yang hanya menjadi bumbu tabur dalam beragam konten. Puisi kehilangan nilai sejatinya dan seolah sudah tidak menjadi tuan di dalam rumahnya sendiri.
Puisi adalah karya yang muncul dari kedalaman dan ruang sunyi para penyair, ia merupakan sintesa dari beragam kegelisahan. Para penyair telah melakukan ritual pembacaan dan tirakat keilmuan hingga tersembullah ke permukaan, barisan kata-kata yang seperti mata air jernih yang menjadi sumber kehidupan, menghapus dahaga manusia.
Puisi mengungkapkan realitas yang tak bisa dilakukan oleh angka. Puisi adalah kata yang hadir dari pergulatan hidup dan proses berfikir para penyair, namun kini dijadikan layaknya topping makanan secara serampangan. Penghormatan terhadap puisi telah berkurang, dikarenakan minimnya pengetahuan tentang puisi.
Bahkan di kematian Jokpin pun, banyak dari mereka yang tidak mengerti puisi, tiba-tiba memposting Jokpin dengan hanya sekali-dua kali browsing, lalu mendaku telah mengenal Jokpin dan seorang pecinta Jokpin—sekaligus pecinta puisi.
Namun demikian, baguslah jika anak muda dan orang-orang yang dibawa algoritma dan hastag medsos, kini mengenal nama Jokpin. Setidaknya mereka mengetahui bahwa di Indonesia ada penyair hebat bernama Jokpin. Semoga menjadi awal yang bagus bagi literasi bangsa. Menjadi awal bagi siapapun untuk mulai menyukai sastra, belajar sastra, dan hidup dengan sastra.
Selamat jalan Jokpin, puisimu abadi dan abadilah dalam puisi. []