Mubadalah.id – Belakangan ini isu panti jompo sedang gencar menjadi perbincangan setelah Menteri Sosial, Ibu Risma mengatakan bahwa Panti Jompo bukan budaya kita. Pro-kontra perawatan lansia di panti jompo menjadi perbincangan hangat oleh netizen Indonesia meskipun pro-kontra tersebut telah ada sejak lama. Bagi mereka yang pro menganggap bahwa panti jompo bukan berarti menelantarkan orangtua melainkan demi kesejahteraan lansia.
Hal tersebut atas pertimbangan keterbatasan bagi keluarga dalam merawat lansia. Mereka bahkan membandingkan penitipan lansia seperti layaknya orangtua menitipkan anaknya ke pesantren, daycare, lembaga pendidikan dsb. Namun, bagi mereka yang kontra menganggap panti jompo tidak sesuai dengan budaya ketimuran dan perawatan orang tua menjadi tanggungjawab moral keluarga.
Stigmatisasi Panti Jompo
Pandangan peran gender tradisional sering kali mendasari stigmatisasi terhadap panti jompo, yang menganggap bahwa merawat orang tua adalah tanggung jawab keluarga, terutama perempuan.(Estioko et al., 2022) Dengan pemikiran ini, perawatan antargenerasi menjadi budaya dalam keluarga kolektif dibandingkan dengan keluarga individual yang mencari bantuan professional/pihak lain.
Di negara berkembang, dukungan untuk pengasuh keluarga terbatas karena kemiskinan dan kurangnya infrastruktur. Selain itu, ketergantungan pada perawatan keluarga tinggi akibat akses terbatas ke layanan profesional.
Sementara itu, pengasuh menghadapi tantangan ekonomi dan berkurangnya peluang pendapatan. Bertambah tanggung jawab yang meningkat serta norma budaya dan kurangnya kesadaran tentang perawatan memperburuk situasi. (Pashazade et al., 2024).
Sejak tahun 2021 Indonesia telah memasuki Ageing Population. Berdasarkan data BPS Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 11,75%. Angka ini mengalami peningkatan sebanyak 1,27% dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 10,48%. Jumlah rasio ketergantungan menjadi meningkat sebanyak 17,08%.
Sementara itu, Rumah tangga lansia pada tahun 2023 sebanyak 33,16%. Artinya 3 dari 10 rumah tangga memiliki anggota lansia. Melihat dari status lansia di Indonesia lebih banyak tinggal bersama pasangan/keluarga sebanyak 33,66% dan tinggal bersama tiga generasi sebanyak 34,68%, tinggal bersama pasangan 22,07%, tinggal sendiri 7,10%, dan lainnya 2,50%.(BPS, 2023) Peningkatan jumlah lansia di Indonesia dan perubahan dalam pola rumah tangga mereka menunjukkan urgensi perawatan dan kesejahteraan lansia perlu menjadi prioritas pembangunan.
Peran Gender Tradisional dan Persepsi Masyarakat
Masyarakat cenderung menganggap bahwa merawat orang tua di rumah adalah bentuk pengabdian dan tanggung jawab moral yang mulia.(Estioko et al., 2022). Sebaliknya, mereka menstigmatisasi panti jompo sebagai tempat yang menyingkirkan lansia.
Di Indonesia, panti jompo anggapannya masih sebagai bentuk penelantaran oleh keluarga. Stigmatisasi ini sangat berpengaruh pada keputusan perawatan lansia dan arah pembangunan kebijakan terkait. Selain itu, pandangan bahwa anak adalah investasi memperkuat praktik pengasuhan antargenerasi.
Tidak hanya itu, dogma-dogma dan internalisasi nilai-nilai agama turut memperkuat pandangan ini. Anak-anak tidak ingin dicap sebagai “anak durhaka.” Begitu pula lansia yang khawatir panti jompo akan menjadi tempat penyingkiran mereka..
Oleh karena itu, Kita perlu merefleksikan Kembali konstruksi nilai-nilai budaya dan dogma agama dalam menggapai kesejahteraan lansia. Penulis sangat setuju dengan pandangan perawatan lansia pada keluarga bukan hanya soal pilihan, tetapi juga kemampuan. (Ni Luh Putu Pradnyandari Kencana Putri & Made Diah Lestari, 2023)
Alih-alih hanya melakukan sebagai mandatori nilai budaya akan lebih baik mempersiapkan kemampuan dalam menyediakan tempat bagi lansia menikmati masa tua. Konstruksi nilai-nilai budaya ini dapat berimbas pada kebijakan dan praktik perawatan lansia.
Sangat kita sayangkan jika lansia justru tidak mampu menikmati masa tua yang memilih di tempat tinggalnya sendiri dan malah terpinggirkan dalam kebijakan sosial. Seperti temuan Pashazade dkk, bahwa akibat stigma peran gender tradisional, kebijakan untuk pengasuh keluarga tidak menjadi prioritas utama pembangunan.(Pashazade et al., 2024)
Kegagalan Negara dalam Menjamin Kesejahteraan Lansia dan Pengasuh
Kebijakan yang mendukung peran pengasuh tradisional menempatkan beban yang tidak proporsional pada perempuan. Mereka diharapkan mengorbankan karir, jika tidak ia perlu menanggung beban ganda sehingga mengorbankan kesejahteraan pribadi mereka demi merawat orang tua mereka.(Eddyono, 2023) Dikotomi antara kerja perawatan dan publik menyebabkan masyarakat menganggap tanggung jawab pekerjaan domestik, termasuk perawatan, sebagai tanggung jawab perempuan dan seringkali tidak berbayar atau bergaji rendah.
Penulis beranggapan bahwa kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang berdampak buruk pada kesejahteraan lansia dan pengasuh perempuan. Lansia mungkin tidak mendapatkan perawatan profesional yang mereka butuhkan. Sementara pengasuh perempuan mengalami tekanan fisik dan emosional yang tinggi, yang pada gilirannya mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan mereka.(Khairunnisa & Hartini, 2022)
Berdasarkan temuan Kuntjorowati, banyak lansia terlantar karena tidak ada keluarga yang merawat atau ketidakmampuan keluarga untuk memberikan perawatan yang memadai. Menurutnya, hal tersebut diperkuat oleh karakteristik masyarakat di Indonesia yang mengandalkan pengasuhan antargenerasi membuat lansia bergantung pada keluarga mereka tanpa memiliki tabungan atau investasi.(Kuntjorowati, 2017)
Absennya jaminan masa tua memperparah keadaan tersebut. (BPS, 2023) Sehingga, penulis berpandangan dua aspek yang menjadi problem dalam kesejahteraan lansia antara lain, pertama, konstruksi budaya yang menekankan bahwa tanggung jawab merawat lansia adalah tugas keluarga. Lalu mereka bebankan kepada perempuan. Kedua, kegagalan negara dalam memprioritaskan kebijakan yang melindungi dan menjamin kesejahteraan lansia serta pengasuhnya.
Negara masih belum memberikan perlindungan yang memadai melalui jaminan sosial yang mengakibatkan beban perawatan lansia jatuh sepenuhnya pada keluarga. Kerja-kerja perawatan sering kali tidak dihargai, baik secara finansial maupun sosial. Contohnya menganggap rendah pekerjaan PRT, profesi perawat yang memiliki kesenjangan biaya pendidikan dengan upah yang diterima dan masih banyak lagi.
Tentu hal tersebut dapat menciptakan situasi di mana lansia tidak hanya kekurangan dukungan material. Tetapi juga mengalami penelantaran karena ketidakmampuan keluarga yang terbebani tanggung jawab berat tanpa bantuan yang memadai dari negara serta fasilitas lain seperti panti jompo yang kurang memadai.
Alternatif Solusi
Realitasnya, Panti Jompo tidak selalu menyebabkan tingkat kesejahteraan lansia rendah. Terdapat temuan pada salah satu panti, 80% lansia yang tinggal di Panti werdha memiliki tingkat wellbeing tinggi dan 20% memiliki tingkat sedang.(Amelia & Akbar, 2023)
Tingkat kesejahteraan ini juga terpengaruhi oleh dukungan sosial dari keluarga, teman, dan kerabat. Sehingga sikap lingkungan sekitar lansia sangat mempengaruhi pun sebaliknya dengan stigma mereka. Penulis juga memahami bagaimana kekhawatiran para lansia maupun keluarganya terhadap fasilitas Panti Jompo sebagai salah satu penguat penyebab stigma Panti Jompo.
Pada temuan lain Panti Jompo dapat kita kembangkan sebagai lingkungan yang mendukung kemampuan lansia untuk berfungsi melalui dimensi fisik, sosial, dan simbolis, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penghuninya misal dengan rancangan struktur dan desasin fisik untuk mencegah penurunan fungsional.(Suhonen et al., 2019) Sehingga perhatian dalam rancangan atau konsep Panti Jompo sangat perlu kita tingkatkan sesuai dengan kenyamanan dan kesejahteraan lansia.
Tentu negara sangat berperan dalam membuat standarisasi rancangan dan konsep Panti Jompo. Selain itu, sikap terhadap pengembangan budaya perawatan dan lingkungan yang mendukung kemampuan lansia perlu kita ubah. Kebijakan harus memastikan bahwa perawatan di rumah maupun di panti jompo mendapatkan dukungan yang memadai, dengan mempertimbangkan kebutuhan spesifik lansia dan pengasuh mereka.
Dengan perubahan ini, kita harapkan adanya peningkatan kualitas panti jompo sehingga masyarakat tidak ragu untuk menjadikan pilihan alternatif maupun pilihan utama bagi lansia dalam menikmati masa tuanya dengan bermakna. []