Mubadalah.id – Prinsip tauhid sangat membawa implikasi logis bahwa manusia dengan latar belakang apa saja selalu Islam perintahkan untuk saling menghargai sesamanya, berjuang bersama-sama, dan berkontestasi untuk menegakkan kebaikan, kebenaran, dan keadilan baginya sendiri maupun bagi masyarakat manusia secara lebih luas.
Kebebasan, kesetaraan, persaudaraan, dan keadilan adalah konsekuensi-konsekuensi paling rasional dalam sistem tauhid. Ini semua adalah norma-norma kemanusiaan universal yang Islam junjung tinggi.
Oleh sebab itu, seluruh aktivitas manusia di muka bumi yang untuk mewujudkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan tersebut sejatinya merupakan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan juga.
Dari sini pula kita melihat dengan pasti bahwa Islam hadir untuk manusia dalam rangka kemanusiaan, dan bahwa pengabdian kepada kemanusiaan merupakan puncak dari seluruh pengabdian (ibadah) manusia kepada Tuhan.
Dengan demikian, seluruh sumber legitimasi, dan referensi. Serta rujukan keagamaan yang memuat pesan-pesan moral kemanusiaan universal tersebut harus menjadi dasar dan prinsip bagi seluruh cara pandang, pikiran. Juga termasuk konsep, interpretasi, tafsir, perjuangan, kerja dan aktivitas manusia di dunia ini.
Sebaliknya, semua pikiran, pandangan, dan tafsir agama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini dengan sendirinya harus diluruskan.
Pandangan Ibn al-Qayyim
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 1292 H) dengan tegas menyatakan bahwa adalah mustahil (tidak masuk akal) jika agama, apa pun namanya, diturunkan Tuhan untuk mendatangkan ketidakadilan, ketidakrahmatan, dan kesesatan manusia. Jika hal ini terjadi, maka pastilah interpretasi, regulasi, atau hukum positif yang memberlakukannya tidak tepat.
Saya kira kita perlu selalu mengingat bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Kitab Suci kaum muslimin menyatakan hal ini dengan sangat eksplisit dan serius:
“Wa laqad karramni bani adam” (Kami sungguh-sungguh memuliakan anak cucu Adam).
Ayat ini secara sangat eksplisit menegaskan penghormatan Tuhan kepada semua manusia. Tidak ada penjelasan dari ulama manapun bahwa yang dimaksud manusia dalam ayat tersebut dikhususkan pada jenis manusia tertentu, satu kelompok, suku, jenis kelamin, kelas, kebangsaan, atau penganut agama tertentu.
Manusia, ya manusia, “binatang yang berpikir” itu, kata Aristoteles, atau seperti wujud atau eksistensi kita semua ini. Para ulama sejak dulu sampai sekarang sepakat bahwa bani Adam adalah seluruh umat manusia yang singgah di muka bumi ini. []