Mubadalah.id – Menikah, disamping sebagai ibadah, juga seringkali disosialisasikan sebagai sunah Nabi Saw. Bahkan ada sebuah teks yang menyatakan bahwa dengan menikah seseorang sudah dianggap separoh beragama, tinggal meraih separoh yang lain.
Dari Anas ra, dikatakan bahwa Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang menikah, maka ia telah menguasai separoh agamanya, maka hendaknya bertakwa pada separoh yang lain”.
Redaksi hadits ini diriwayatkan Ibn al-Jawzi, tetapi dia sendiri menilainya lemah. Dalam redaksi lain, yang diriwayatkan Imam al-Hakim, dari Anas ra, berkata: Bahwa Nabi Saw bersabda:
“Barangsiapa yang dianugerahi istri yang shalihah, maka sesungguhnya ia telah dibantu dalam separoh urusan agama, maka bertakwalah pada separoh yang lain”. (Riwayat Ibn al-Jawzi, lihat: Kasyf al-Khafa, II/239, no. Hadits: 2432).
Dalam catatan komentar Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852H), teks-teks hadits seperti ini sebenarnya lemah. Karena itu, hanya bisa kita pahami substansinya saja, tidak pada kebenaran detail literalnya. Substansinya adalah mengenai motivasi dan anjuran menikah. Anjuran ini ada dalam berbagai riwayat hadits (Fath al-Bari, X/139). Di antaranya mengenai menikah sebagai sunah Nabi:
Dari Aisyah ra, berkata: bahwa Nabi Saw bersabda: “Menikah adalah sunahku; barangsiapa yang tidak mengamalkan sunahku, maka ia bukan termasuk ummatku. Menikahlah, karena aku akan membanggakan jumlah besar kalian di hadapan umat-umat lain. Barangsiapa yang memiliki kesanggupan, maka menikahlah. Jika tidak, maka berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali” (Riwayat Ibn Majah, lihat: Kasyf al-Khafa, II/324, no. Hadits: 2833).
Hadis
Ada redaksi lain yang senafas, yang secara riwayat lebih valid (shahih) karena langsung dari Imam Bukhari. Yaitu:
Dari Anas bin Malik ra, berkata: “Ada tiga orang mendatangi keluarga Nabi Saw, mereka menanyakan tentang ibadah yang dilakukan Nabi. Ketika dikabari, mereka merasa sangat jauh dari apa yang dilakukan Nabi Saw.
Mereka berkata: “Kami jauh sekali dari apa yang dilakukan Nabi Saw, padahal baginda sudah diampuni dari segala dosa”. Satu orang dari mereka berkata: “Kalau begitu, saya sembahyang sepanjang malam selamanya”. Yang lain berkata: “Saya akan berpuasa setahun penuh, selamanya”. Yang satu berkata: “Saya akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah”.
Kemudian datang Rasulullah Saw dan berkata: “Kamu yang berkata ini dan itu?. Demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kamu, tetapi aku tetap kadang berpuasa dan kadang tidak berpuasa, ada waktu untuk sembahyang dan ada waktu untuk tidur istirahat, dan aku juga mengawini perempuan. Barangsiapa yang enggan dengan sunahku, maka ia tidak masuk dalam golongan ummatku”. (Riwayat Bukhari, kitab an-Nikah, no. Hadits: 5063).
Dalam teks hadits ini, perkawinan tidak menjadi satu-satunya yang perbuatan sunah. Tetapi juga tidur-bangun dan makan-berpuasa, serta tentu menikah. Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852H) dalam komentarnya terhadap teks hadits ini menyatakan bahwa yang ‘sunah’ adalah jalan yang biasa Nabi Saw lakukan.
Katanya, pernyataan Nabi Saw ‘tidak termasuk golonganku’ bagi yang enggan menikah, tidak serta merta mengeluarkan seseorang dari agama Islam hanya karena ia menolak atau memilih untuk tidak menikah.
Jika penolakan atau pilihan itu karena alasan yang pantas ia ajukan. Tetapi jika penolakan itu memang berangkat dari prinsip dan keyakinan ketidak benaran menikah, maka ia bisa keluar dari agama Islam.
Bukan Pilihan Satu-satunya
Sekalipun dalam teks hadits ini menikah menjadi perbuatan sunah, tetapi dalam fiqh, menikah tidak serta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang tidak memilih menikah, karena tidak merasa berharat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu.
Ada banyak argumentasi yang kita ajukan dalam pembicaraan ini. Paling tidak adalah teks hadits yang mengaitkan pernikahan dengan kemampuan, dan pembukaan peluang bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa sebagai ganti dari anjuran menikah.
Ketika pernikahan ia kaitkan dengan kemampuan, berarti pernikahan tidak menjadi pilihan satu-satunya. Karena pasti ada kondisi di mana seseorang tidak merasa mampu untuk menikah, dan dia memilih untuk tidak menikah. Bahkan teks hadits Ibn Majah di atas menyebutkan secara eksplisit pilihan untuk tidak menikah itu dengan ungkapan ‘berpuasalah’. []