Mubadalah.id – Teologi feminis adalah salah satu cabang pemikiran yang menantang interpretasi tradisional agama yang sering kali melanggengkan ketidaksetaraan gender. Gerakan ini bertujuan untuk meninjau kembali teks-teks suci dengan lensa keadilan gender. Selain itu menempatkan perempuan sebagai subjek yang aktif dalam diskursus keagamaan.
Dalam banyak tradisi keagamaan, narasi yang dominan sering kali bersifat patriarkal, meminggirkan perempuan dari posisi kepemimpinan atau peran strategis dalam masyarakat.
Teologi Feminis: Sebuah Pendekatan Baru dalam Memahami Agama
Riffat Hasan, seorang teolog feminis asal Pakistan, merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam membawa wacana teologi feminis ke dalam Islam.
Karyanya menekankan bahwa banyak interpretasi Islam yang ia gunakan untuk membenarkan subordinasi perempuan sebenarnya berasal dari budaya patriarkal, bukan dari prinsip dasar agama itu sendiri. Dengan membedah teks-teks Al-Qur’an dan Hadis, ia menyoroti bagaimana prinsip-prinsip keadilan dan persamaan gender sebenarnya inheren dalam Islam.
Menurut Riffat Hasan, salah satu konsep yang perlu kita kaji ulang adalah pemahaman tentang penciptaan manusia. Narasi populer yang menganggap Hawa (perempuan) sebagai penyebab dosa asal bukanlah bagian dari ajaran Al-Qur’an, melainkan warisan dari tradisi Judeo-Kristen.
Dalam Al-Qur’an, penciptaan laki-laki dan perempuan disebut setara. Hal ini menunjukkan kesamaan martabat dan tanggung jawab di hadapan Tuhan. Dengan pandangan ini, Riffat Hasan tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga menciptakan ruang untuk dialog yang lebih inklusif dalam tradisi Islam.
Menantang Patriarki melalui Perspektif Teologi Feminis
Pemikiran Riffat Hasan tidak hanya berkutat pada pembacaan ulang teks agama. Tetapi juga melibatkan upaya sistematis untuk membongkar struktur sosial yang diskriminatif. Salah satu aspek utama dari teologi feminis adalah memahami bagaimana agama sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan patriarkal.
Dalam konteks ini, Hasan menunjukkan bahwa tantangan terhadap patriarki tidak bisa berhenti pada revisi teologis, tetapi harus mencakup perubahan sosial yang konkret.
Sebagai seorang akademisi, Riffat Hasan menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka ruang kesadaran kritis. Ia mengajarkan pentingnya mendekati agama dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Bukan hanya menerima interpretasi dogmatis.
Dalam banyak masyarakat, perempuan sering kali tidak memiliki akses yang setara terhadap pendidikan agama. Sehingga mereka tidak dapat menafsirkan teks-teks suci dari sudut pandang mereka sendiri. Dengan memberdayakan perempuan untuk memahami dan menafsirkan agama secara langsung, Hasan mendorong mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka dengan landasan yang kuat.
Di sisi lain, Hasan juga menekankan pentingnya solidaritas antara laki-laki dan perempuan dalam perjuangan melawan ketidaksetaraan. Ia percaya bahwa patriarki adalah masalah bersama yang harus diatasi oleh semua pihak. Dalam pemikiran ini, teologi feminis tidak hanya menjadi gerakan perempuan, tetapi juga panggilan universal untuk menegakkan keadilan.
Teologi Feminis dan Hak Asasi Manusia: Jembatan Menuju Kesetaraan Global
Kontribusi Riffat Hasan dalam teologi feminis memiliki implikasi yang lebih luas terhadap perjuangan hak asasi manusia (HAM). Dalam pandangannya, agama dan HAM bukanlah entitas yang saling bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi jika kita interpretasikan dengan cara yang inklusif.
Riffat Hasan menegaskan bahwa prinsip-prinsip seperti keadilan, persamaan, dan martabat manusia adalah nilai-nilai universal yang terdapat baik dalam ajaran agama maupun dalam deklarasi HAM internasional.
Namun, ia juga mengakui tantangan besar dalam membangun jembatan antara agama dan HAM. Salah satu tantangan tersebut adalah adanya resistensi dari kelompok-kelompok konservatif yang melihat gerakan feminisme atau HAM sebagai ancaman terhadap otoritas tradisional.
Dalam konteks ini, pendekatan Riffat Hasan yang menggunakan argumen berbasis agama menjadi sangat relevan. Dengan menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM memiliki akar dalam tradisi keagamaan, ia mampu menarik perhatian audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang skeptis terhadap wacana sekular.
Selain itu, teologi feminis juga berkontribusi pada pengembangan kebijakan yang lebih adil dan inklusif. Dalam dunia yang semakin plural, pemikiran seperti ini penting untuk membangun masyarakat yang menghargai perbedaan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keadilan.
Sebagai contoh, pendekatan Riffat Hasan dapat kita gunakan untuk mendorong reformasi hukum di negara-negara yang masih memberlakukan aturan diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama.
Menuju Kesetaraan yang Substantif
Perjuangan untuk kesetaraan gender adalah upaya panjang yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari revisi teologi hingga reformasi sosial dan hukum. Pemikiran Riffat Hasan sebagai seorang teolog feminis Muslim menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan ini.
Dengan membongkar mitos-mitos patriarkal yang selama ini mendominasi interpretasi agama, ia membuka jalan bagi dialog yang lebih inklusif dan transformasi sosial yang berkeadilan.
Teologi feminis bukan hanya sekadar kritik terhadap ketidakadilan. Tetapi juga tawaran solusi untuk menciptakan dunia yang lebih setara. Dalam konteks global, pendekatan ini dapat menjadi jembatan antara agama dan HAM. Dua elemen yang sering kali diposisikan secara diametral. Dengan demikian, perjuangan untuk kesetaraan gender tidak hanya menjadi isu perempuan, tetapi juga bagian integral dari perjuangan untuk keadilan universal. []