Bertahun-tahun advokasi isu perkawinan anak di Indramayu mengapa angkanya masih saja tinggi?
Mubadalah.id – Pertanyaan di atas terlontar dari salah satu peserta kegiatan “Konsolidasi untuk Perlindungan Anak: Mencegah Perkawinan Usia Anak Melalui Dispensasi Kawin”. Kegiatan ini merupakan Kerjasama antara International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Kabupaten Indramayu yang terlaksana pada Selasa, 3 Desember 2024 di Hotel Prima Indramayu.
Sebagai salah satu peserta yang mewakili Mubadalah.id, saya juga bertanya-tanya, mengapa angka kawin anak masih tinggi? Terutama di Kabupaten Indramayu, di mana sejak 2017 Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) juga telah melakukan upaya yang sama. Bahkan sampai pada tahap pengajuan judicial review amandemen UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Hingga akhirnya permohonan JR oleh anggota KPI yang dua di antaranya berasal dari Indramayu tersebut Mahkamah Konstitusi kabulkan pada 2019.
Kenaikan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan, yang awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun, disamakan dengan laki-laki ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab masih tingginya angka perkawinan anak. Terlebih ada kenaikan selisih usia, dari 16 menjadi 19 tahun, yang sebelumnya belum masuk kategori perkawinan anak.
Di samping ada juga faktor pendukung lainnya, seperti pergaulan beresiko sehingga mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan (KTD) yang menempati urutan pertama alasan kawin anak terjadi.
Hasil Kajian INFID
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) telah melakukan penelitian terkait dispensasi kawin usia anak berjudul “Kajian terhadap Dispensasi Kawin Usia Anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Lampung Tengah, Lampung” pada Agustus 2024 lalu.
Kajian tersebut, sebagaimana pemaparan salah satu tim peneliti Lutfiana Dwi Mayasari mengungkapkan temuan-temuan penting terkait dispensasi kawin. Pertama, Perma No. 5 Tahun 2019 sebagai panduan dalam penanganan dispensasi perkawinan belum tersosialisasi secara memadai kepada pemangku kepentingan terkait.
Kedua, terdapat miskonsepsi atas beberapa konsep dan prosedur pemberian rekomendasi dalam Perma. Konsep rekomendasi disalahpahami sebagai pemberian dukungan perkawinan. Rekomendasi umumnya dipahami sebagai opsional karena adanya klausul ‘dapat’ pada dalam Perma.
Ketiga, independensi hakim dalam memutus perkara menjadi problem implementasi pertimbangan kepentingan terbaik anak. Terkadang hakim mempersepsikan kepentingan terbaik sang anak yang menjadi termohon dispensasi.
Keempat, persetujuan dalam perkawinan anak beriringan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kecenderungan orang tua yang merasa sebagai pemilik otoritas atas anak. Kelima, program, kegiatan, dan gerakan untuk pencegahan dan penanganan perkawinan anak telah dilakukan secara parsial dan intra-sektoral.
Hadir sebagai penanggap dalam pemaparan hasil penelitian tersebut antara lain, Drs. Dindin Syarief Nurwahyudin (Ketua Pengadilan Agama Indramayu, Jawa Barat). Lalu Cicih Sukarsih, S.S.T., M.H.Kes. (Kepala Bidang PHP dan PKA, DisdukP3A Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Dan terakhir KH.Faqihuddin Abdul Kodir (Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Advokasi Tanpa Henti
Sejak bergabung bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pada 2017, kami sudah memulai upaya untuk advokasi pencegahan dan penghentian perkawinan anak di Kabupaten Indramayu. Salah satunya melalui upaya mendorong advokasi kebijakan dari tingkat desa hingga nasional melalui gerakan bersama “Stop Perkawinan Anak.”
Setelah melalui upaya beragam advokasi itu, pada 2018 hingga 2019 di tingkat desa lahir Surat Edaran (SE) Pencegahan Perkawinan Anak di Kabupaten Indramayu, yaitu di Desa Gelarmandala Kecamatan Balongan, Desa Krasak Kecamatan Jatibarang dan Desa Cibeber Kecamatan Sukagumiwang.
Masih di tahun yang sama bahkan di Desa Krasak berhasil mendorong terbitnya Peraturan Desa dan bisa mengakses anggaran dana desa (ADD) untuk sosialisasi pencegahan perkawinan anak di desa.
Di tingkat kabupaten, setelah melalui proses audiensi dan advokasi yang panjang akhirnya pada 2019 dalam Perda KLA No. 6 tahun 2019 Pasal 10 Ayat 2, memasukkan point tentang pencegahan perkawinan anak.
“Mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak serta menjaga anak untuk tidak terjebak dalam pergaulan bebas, budaya permisifisme, dan terhindar dari penyakit HIV/AIDS dan atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya serta pornografi.”
Sementara itu di tingkat nasional, permohonan judicial review (JR) yang Koalisi 18+ ajukan juga membuahkan hasil dengan amandemen UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menjadi UU. No. 16 tahun 2019 dengan perubahan menaikkan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan menjadi sama, yaitu 19 tahun.
Angka Kawin Anak Masih Tinggi
Berdasarkan data total perkara dispensasi kawin dari Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu pada tahun 2023 berjumlah 514 kasus. Sedangkan dalam rentang 2024 ini ada 322 putusan dispensasi kawin anak. Artinya ada satu anak perempuan yang telah kawin dalam usia anak.
Hal yang lebih memprihatinkan, dalam sesi brainstorming kegiatan Konsolidasi untuk Perlindungan Anak: Mencegah Perkawinan Usia Anak Melalui Dispensasi Kawin, terungkap dari peserta perwakilan Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, ada 713 perempuan yang melahirkan sebelum usia 20 tahun. Ada separoh dari data yang tidak mengajukan dispensasi perkawinan. Artinya, banyak di antara mereka yang tidak mencatatkan perkawinan.
Melihat data dan angka-angka di atas membuat saya tak habis pikir. Bertahun-tahun melakukan advokasi mengapa angka kawin anak masih tinggi? Mengapa masih banyak remaja perempuan yang terjebak pergaulan beresiko dan mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD)? Akar masalahnya di mana?
Sinergi dan Kolaborasi
Jika melihat pola beragam advokasi, sosialisasi pencegahan perkawinan anak di Indramayu memang masih berjalan sendiri-sendiri. Antar organisasi masyarakat sipil kadang tidak saling melibatkan antar satu dengan yang lain.
Padahal ini penting untuk saling berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman tentang bagaimana upaya selama ini mencegah kawin anak di Indramayu.
Kedua, gerakan cegah kawin anak dilakukan secara sporadis dan tidak berkelanjutan, hanya mengandalkan program semata. Ketika program selesai, maka upaya pencegahannya pun tidak mereka lanjutkan lagi.
Selain itu hanya di desa area program yang mendapat dukungan dan akses pengetahuan. Dari 309 jumlah desa di Indramayu, hanya 3 desa yang menjadi area program Koalisi perempuan Indonesia, 3 desa area program Inklusi Lakpesdam NU, dan 2 desa area program Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu.
Ketiga, minimnya pelibatan anak muda usia sekolah. Padahal mereka yang menjadi sasaran dari sosialisasi pencegahan perkawinan anak ini. Selama ini anak-anak seringkali hanya menjadi objek program. Jarang sekali pemerintah, dinas terkait atau OMS yang melibatkan mereka sebagai subjek penuh dan manusia utuh.
Jika hanya kita jejali dengan materi-materi yang membosankan, saya tidak tahu apakah anak-anak ini akan tertarik. Perlu ada strategi bagaimana melakukan edukasi menyenangkan dan proses pembelajaran yang riang gembira. Setidaknya ini bisa menepis anggapan sebagian masyarakat bahwa hak kesehatan reproduksi dan seksualitas (HKRS) bagi remaja itu tabu.
Terakhir, sinergi dan kolaborasi itu kunci. Kajian yang telah INFID lakukan bersama Tim Peneliti, menjadi tambahan data untuk memetakan kembali upaya pencegahan perkawinan anak dari hulu hingga hilir. Sehingga harapannya anak-anak di Indramayu, baik laki-laki maupun perempuan, lebih siap untuk menghadapi Indonesia Emas 2045. Menjadi generasi hebat untuk bangsa yang bermartabat. []