Mubadalah.id – Meskipun Festival Beda Setara yang diselenggarakan oleh GUSDURian telah selesai pada 16 November 2024 lalu, ada beberapa hal penting, yang saya kira perlu untuk diangkat, khususnya mengenai dampak buruk perubahan iklim bagi perempuan dan kelompok rentan.
Dampak buruk perubahan bagi perempuan dan kelompok rentan ini disampaikan oleh Dewi Candraningrum, seorang akademisi dan aktivis perempuan yang dikenal dengan kajian-kajiannya terkait ekologi dan gender.
Menurut Dewi, setidaknya ada lima dampak buruk perubahan iklim yang sangat berpengaruh kepada perempuan. Lima dampak buruk tersebut sebagai berikut:
Pertama, kehamilan terganggu. Perubahan iklim dapat menyebabkan curah hujan ekstrem, badai tropis, dan banjir. Fenomena ini menciptakan lebih banyak genangan air yang mendukung pertumbuhan nyamuk pembawa penyakit seperti malaria, virus zika, dan demam berdarah.
Penyakit-penyakit tersebut dapat memicu komplikasi kehamilan, seperti preeklampsia, persalinan prematur, cacat lahir, peningkatan risiko keguguran, hingga kematian ibu atau bayi.
Kedua, menghambat pendidikan perempuan dan meningkatkan pernikahan anak. Cuaca ekstrem yang menyebabkan curah hujan ekstrem yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana sering kali dapat menghambat pendidikan perempuan.
Dengan kondisi bencana tersebut, menurut Dewi tidak banyak anak perempuan kerap dipaksa untuk berhenti sekolah. Lalu para orang tua lebih memilih untuk menikahkan anak perempuannya dengan alasan keamanan dan ekonomi keluarga.
Sebagian orang tua percaya bahwa menikahkan anak lebih cepat dapat memperbaiki ekonomi keluarga. Padahal, pernikahan anak justru memperburuk kondisi sosial-ekonomi dan terkait dengan peningkatan kerentanan terhadap perubahan iklim.
Meningkatkan Risiko Kekerasan Seksual
Ketiga, meningkatkan risiko kekerasan seksual. Bencana akibat perubahan iklim dapat memperparah angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, terutama di lokasi pengungsian. Sering kali, tenda pengungsian tidak menyediakan ruang aman bagi perempuan.
Menurut National Sexual Violence Resource Center, sepertiga kasus kekerasan seksual yang dilaporkan selama Badai Katrina dan Rita terjadi di tempat penampungan. Setelah Badai Matthew pada 2016, Haiti juga mengalami peningkatan perdagangan seks akibat krisis ekonomi yang semakin parah.
Keempat, meningkatkan kerawanan pangan dan air. Perubahan iklim berdampak langsung pada pasokan makanan dan air. Perempuan sering kali menjadi pihak yang paling terdampak oleh kerawanan pangan dan air, terutama saat hamil.
Ibu hamil yang kekurangan gizi berisiko melahirkan bayi dengan berat badan rendah. Selain itu, naluri keibuan membuat perempuan cenderung mengorbankan asupan gizi mereka demi anak-anak. Sulitnya mendapatkan air bersih juga meningkatkan risiko penyakit menular pada perempuan dan anak perempuan.
Kelima, stres akibat perubahan iklim berdampak pada kesehatan mental. Stres akibat perubahan iklim dapat memengaruhi kesehatan mental, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, perempuan, terutama yang sedang hamil, memiliki risiko lebih tinggi.
Stres saat hamil dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, kelainan perkembangan otak janin, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, hingga keguguran.
Lima Cara Mengatasi Dampak Buruk Perubahan Iklim
Selain menjelaskan lima dampak buruk, Dewi Candraningrum juga memberikan lima rekomendasi untuk menghadapi dampak perubahan iklim terhadap perempuan:
Pertama, menguatkan petani dan nelayan perempuan sebagai bagian dari ketahanan pangan. Kedua, berinvestasi dalam kerja domestik dan perawatan. Ketiga, mendukung kepemimpinan perempuan dalam kebijakan iklim.
Keempat, mendukung pendanaan bagi organisasi perempuan. Kelima, melindungi kesehatan dan hak kesehatan seksual serta reproduksi perempuan.
Tentang Festival Beda Setara
Festival Beda Setara diselenggarakan oleh Jaringan GUSDURian ini bekerja sama dengan UIN Sunan Kalijaga. Festival Beda Setara bertujuan untuk merayakan perjuangan menegakkan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia.
Kegiatan ini juga menjadi wadah bagi mahasiswa, aktivis, akademisi, dan masyarakat umum untuk berbagi pengalaman serta upaya memperjuangkan hak asasi manusia. []