Mubadalah.id – Brain Rot. Suatu istilah yang oleh Oxford English Dictionary (OED) “dinobatkan” sebagai spirit yang tercermin di tahun 2024 ini. Dalam akun instagramnya @malakaproject.id, seraya mengutip OED pula, menjelaskan bahwa brainrot merupakan semacam kondisi yang muncul akibat maraknya konten-konten nirfaedah yang tersebar di media sosial. Konten itu dikonsumsi oleh jutaan pengguna media sosial, yang merangsang kerja otak pengguna dan menciptakan dampak buruk secara eksesif.
Singkatnya, brain rot adalah kondisi membusuknya (kinerja) otak. Persis, sebagaimana istilah itu muncul dalam bukunya Henry David Thoreau, Walden, brain rot menandai kondisi di mana masyarakat tidak lagi berkenan untuk berpikir serius karena lebih menggemari ide-ide semu, naif, dan dangkal.
Tapi, yang sesungguhnya perlu kita pahami lebih jauh, adalah, bahwa brain rot tidak semata-mata muncul akibat media sosial. Artinya, konten-konten nirfaedah yang kerap muncul di media sosial pastilah punya sebab yang perlu kita pertanyakan. Misalnya, mengapa konten-konten nirfaedah di media sosial banyak sekali bermunculan dan tak sepi peminat?
Jangan-jangan, mengutip akun Instagram @menjadimanusia.id, brain rot itu muncul sebagai (reaksi) pelarian masyarakat dari dunia nyata yang ternyata (juga) berkualitas rendah. Ketika realitas nyata tak cukup memberikan hal-hal bermanfaat dan menciptakan ketidakpuasan psikis, misalnya, maka akan banyak orang kemudian berbondong-bondong beralih ke dunia-dunia virtual. Demi hal-hal yang dianggapnya dapat mengisi kekosongan batin atau ketidakpuasan psikis itu sendiri.
Cermin Konten Media Sosial
Ada banyak fakta kehidupan kita saat ini yang ternyata tak cukup memuaskan dan malah menciptakan trauma. Entah dalam hal politik, sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan agama sekalipun. Jadi, brain rot mungkin memang cermin konten media sosial.
Tapi, konten-konten di media sosial, (selalu) diproduksi sebagai bentuk (kritik) ketidakpuasan dari cermin realitas kehidupan itu sendiri. Sehingga, brain rot, mesti pula kita pahami sebagai cermin kehidupan dunia hari ini yang begitu semu dan jauh dari kebermaknaan.
Ini persis seperti halnya yang Haidar Bagir tulis dalam bukunya Islam Tuhan, Islam Manusia (2017). Di bagian awal buku tersebut Haidar menyoal “Dunia Kita yang Sedang Meluruh”. Suatu deskripsi tentang krisis yang sedang umat manusia hadapi hari ini.
Mengutip dalam bukunya tersebut, Haidar Bagir menjelaskan bahwa realitas kehidupan dewasa ini, sebagaimana dialami oleh banyak negara “telah tercabik-cabik, seperti partikel-partikel sosial kemanusiaan yang sedang menggandakan (membelah) diri menjadi bagian-bagian penyusunnya, yakni suku, klan, fundamentalisme keagamaan segala agama, geng kota, kelompok maut, gerakan teroris dan gerilya, serta kelompok yang mementingkan diri lagi berang” (h. 18).
Itulah pertunjukkan-pertunjukkan kehidupan yang kemudian menciptakan “Zaman Kacau”. Suatu kondisi yang diakibatkan oleh dunia digital. Mengakibatkan munculnya, yang oleh Nicholas Carr, disebut sebagai ‘Orang-orang Dangkal’.
Siapa mereka? Ya, orang-orang yang berlarian menjelajahi media-media sosial dan mengonsumsi konten-konten nirfaedah tanpa kedalaman makna—sebagai reaksi atas adanya kehidupan dunia yang meluruh itu sendiri, yang sedang mengalami krisis dari berbagai lini.
Brain Rot
Saya kira buku Haidar Bagir tersebut bisa menjadi bacaan penting hari-hari ini. Alasannya, untuk memahami brain rot dalam eskalasi cara pandang dan pemahaman yang agak berbeda. Karena Haidar Bagir adalah seorang pemikir agama dan spiritualis, membaca buku tersebut akan menghantar kita untuk memahami kacau balau kehidupan yang menciptakan brain rot itu dari, dan dalam, konteks agama dan spiritualisme.
Misalnya, dalam hal beragama. Ada banyak hal fenomena di hari ini yang sesungguhnya kacau balau. Saya tidak perlu menyebut contoh-contohnya. Satu hal yang jelas, bahwa agama yang seyogyanya menjadi kompas nilai, hari ini pun sedang mengalami disorientasi. Suatu kondisi yang memungkinkan pula para pemeluknya, juga masyarakat secara umum, mengalami brain rot.
Misalnya, seringnya kita temui cara-cara beragama yang intoleran. Seperti banyak munculnya orang-orang yang membawa paham-paham keyakinan (agama) bersifat fundamentalistik, integralistik-total, dan mengklaim diri sebagai satu-satunya yang paling benar (h. 44).
Orang-orang yang dengan sesuka hati memastikan mereka-mereka yang berbeda sebagai orang-orang yang salah, kufur, dan penuh dosa. Orang-orang yang merasa paling memahami Tuhan, yang dengannya mereka justru berlaku sewenang-wenang terhadap sesamanya.
Tak ayal, apabila frustasi lantas terjadi di mana-mana. Ini berbahaya kalau tak sesegera mungkin kita antisipasi. Rasa frustasi sebagai imbas adanya persaingan kelompok politik dan keagamaan. Baik dalam tingkat lokal, regional, maupun internasional—yang sering kali menyediakan patronase paham ekstrem atau fundamentalistik amat berpeluang melahirkan radikalisme dan terorisme keagamaan sebagai kenyataan akhir paling mengerikan. Seperti pernah kita alami sendiri sebelum-belumnya dalam fakta keberagamaan di NKRI.
Menyembuhkan Brain Rot, Memaknai Kemanusiaan
Beragama, pada akhirnya, bukan perkara mudah. Apalagi brain rot dalam beragama, tentu saja, sangat mengkhawatirkan. Artinya, kita tidak bisa memahami agama secara dangkal sekadar melalui konten-konten FYP TikTok, misalnya.
Agama harus kita pahami secara lebih mendalam. Dalam fenomena keberagamaan yang penuh nuansa “radikal” dan intoleran bisa jadi merupakan akibat dari hasil-hasil pemahaman keagamaan yang “dikonsumsi” secara dangkal. Tak sungguh-sungguh kita pahami secara mendalam.
Hal ini akhirnya memunculkan suatu kondisi “kebusukan (otak)” dalam memahami agama—juga dalam beragama. Sesama pemeluk agama kita akhirnya saling bersitegang. Tidak saling rukun. Tidak saling damai. Malah saling mengolok-ngolok. Mengintimidasi. Mendiskriminasi. Mempersekusi. Fenomena “takfirisme”, misalnya, mewakili sekali contoh dari kondisi yang mencerminkan brainrot dalam beragama.
Dengan dalih agama (Islam), mengatasnamakan “Tuhan”, beberapa kelompok radikal dan ekstrimis ber-amar ma’ruf nahi munkar justru dengan cara-cara yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan, kelompok-kelompok lain siap siaga selalu memasang cara pandang suudzon terhadap sesama saudara kita yang lain.
Bagi Haidar, di tengah hiruk-pikuk cara beragama yang sibuk dengan benarnya sendiri, kita sebagai kaum beragama, mesti memahami makna agama itu sendiri secara sungguh-sungguh: sebagai sebuah prinsip nilai mengajarkan cinta-kasih-kemanusiaan.
Makna Agama
Hal itu pula yang menjadi alasan Haidar Bagir memberikan judul bukunya: Islam Tuhan, Islam Manusia. Ada dua alasan yang dijelaskan oleh Haidar mengenai alasan tersebut.
Pertama, sebagai orang beragama kita wajib yakin, bahwa agama berasal dari Tuhan. Namun, pada saat yang sama, agama juga menemui bentuknya sebagai agama manusia. Tepat setelah agama berpindah dari khazanah ketuhanan menuju wilayah kemanusiaan. Artinya, manusia juga mesti berbicara mengenai agama dalam konteks hidup manusia (kemanusiaan).
Kedua, Haidar menuliskan bahwa agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia. Dengan kata lain, menjadi suatu kesalahan apabila kita mengembangkan pemahaman atas agama tapi melepaskan ajaran-ajarannya dari konteks kebutuhan (hidup) manusia (h. 12-13). Apalagi jika agama kita gunakan untuk mencederai kebutuhan hidup manusia. Itu sebuah kesalahan besar yang sangat mendasar dalam beragama.
Oleh karena itu, kita sedikit banyak perlu untuk mendekonstruksi cara beragama kita. Kembali berani dengan jujur mempertanyakan asumsi-asumsi, bahkan pemahaman, kita atas agama itu sendiri. Apa yang dituliskan Haidar dalam sepanjang buku tersebut sesungguhnya mengajak kita untuk kembali mempertanyakan asumsi dan pemahaman kita atas agama (Islam) demi terjadinya pembaharuan dalam pemahaman kita atas agama itu sendiri pula.
Dengan cara itu, demi masifnya pemahaman akan “Cinta sebagai Asas Agama”. Haidar berharap, seraya menuliskan demikian, agar “agama (bisa) kembali (lagi) pada perannya sebagai oase spiritualitas dan moralitas di tengah kemanusiaan yang berada dalam ancaman belakangan ini dan bukannya justru menuang bensin kepada kobaran api kekacauan kemanusiaan itu. Sudah waktunya Rukun Islam dan Rukun Iman kita kembalikan kepada puncaknya: Rukun Ihsan, pilar cinta agama.” (h. 242). []