Setiap 4 September diperingati sebagai Hari Kesehatan Seksual Sedunia. Mungkin peringatan hari ini tidak seramai peringatatan Hari AIDS Sedunia, namun kesadaran akan kesehatan seksual butuh terus di tingkatkan terutama di Indonesia, khususnya saat pandemi seperti sekarang.
Hak-hak seksual merupakan komponen penting dalam hak asasi manusia yang tidak bisa dipisahkan dari kemerdekaan manusia untuk hidup. Tapi mungkin kita bisa melihat orang-orang di sekeliling kita yang belum terpenuhi hak-hak seksual dan reproduksinya karena tidak memiliki akses untuk itu, baik laki-laki ataupun perempuan.
Dalam sejarahnya pada 2000, Millennium Development Goals berkomitmen bahwa setiap negara di seluruh dunia untuk mengambil tindakan. Mereka setuju bahwa jika kita semua ingin hidup di dunia tanpa kemiskinan, di mana orang dapat mencapai potensi mereka, dan dimana kesehatan dan pendidikan yang baik dijamin.
Maka untuk mencapai visi ini, hak kesehatan seksual dan reproduksi harus diprioritaskan sebagai dasar penguatan. Hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi merupakan kebutuhan setiap orang dalam kehidupan sehari-hari yang memengaruhi mata pencaharian mereka, oportunitas mereka dan aspirasi mereka. Dengan begitu, setiap individu dapat diberdayakan dengan pilihan dalam kehidupan seksual dan reproduksi mereka.
Menurut International Planned Parenthood Federation (IPPF), hak-hak seksual diatur berdasarkan hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas yang bermula dari hak untuk mendapatkan kemerdekaan, kesetaraan, privasi, otonomi, integritas, dan harga diri semua orang. Jadi seperti hak asasi manusia, hak-hak seksual dan reproduksi adalah keniscayaan.
IPPF adalah pemberi pelayanan global dan memimpin untuk melakukan advokasi kesehatan seksual, kesehatan reproduksi, hak-hak seksual dan hak reproduksi bagi semua orang, baik masyarakat ataupun individu. Kerja-kerja IPPF bertujuuan agar perempuan, laki-laki dan orang muda di manapun berada memilki kendali atas tubuh mereka, dan harkatnya.
IPPF ingin menciptakan dunia di mana laki-laki dan perempuan bebas memilih berkeluarga atau tidak; bebas untuk memutuskan berapa banyak anak yang akan mereka inginkan dan kapan waktunya; bebas untuk memiliki kehidupan kesehatan seksual tanpa rasa takut akan kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi yang diakibatkan dari hubungan seksual, termasuk HIV. Dengan begitu, gender dan seksualitas tidak lagi menjadi sumber dari ketidakadilan atau stigma.
Dua Belas Kunci untuk Hak Asasi dan Hak Reproduksi
Menurut Center for Reproductive Rights, ada dua belas hak kesehatan seksual dan reproduksi yaitu:
– Hak untuk hidup
– Hak atas kemerdekaan dan keamanan
– Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan
– Hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak, dan kapan mempunyai anak
– Hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga
– Hak atas kerahasiaan pribadi
– Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi
– Hak untuk bebas dari praktik yang membahayakan perempuan dan anak perempuan
– Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat dan mendapatkan hukuman
– Hak untuk bebas dari kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender
– Hak mendapatkan akses informasi dan pendidikan tentang kesehatan seksual dan reproduktif dan informasi perencanaan keluarga
– Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan
Kesehatan Reproduksi Nasional Saat Pandemi
Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pandemi menyebabkan pengurangan angka kunjungan masyarakat ke fasilitas kesehatan. Karena itu maka berdampak pada penurunan jumlah peserta KB aktif maupun peserta KB baru yang ingin mengakses pelayanan keluarga berencana.
Penurunan angka tersebut berdampak pada risiko meningkatnya kehamilan tidak diinginkan (KTD). Selain itu, remaja dianggap memiliki dampak besar dalam kekerasan berbasis gender, termasuk perkawinan usia dini.
Menurut BKKBN, jumlah Ibu hamil di Jawa Timur meningkat sejak Februari-Mei hampir mencapai 10% dengan lebih dari 400.000 kehamilan tidak direncanakan. Yang diikuti dengan 7,07% (414.000) peserta KB yang drop out saat pandemi. Diperkirakan angka kehamilan ini akan terus meningkat dalam 2-3 bulan ke depan.
Selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebagian klinik kesehatan dan kandungan tutup dan dibatasi waktu berkunjungnya. Hal ini yang membuat peserta KB kesulitan mengakses alat kontrasepsi.
Selain itu, Komnas Perempuan mencatat peningkatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama pandemi Covid-19. Melalui survey yang dilakukan terhadap 2.285 responden, sebanyak 80% responden yang berpenghasilan di bawah Rp 5 juta rupiah perbulan mengalami peningkatan kekerasan selama pandemi.
Realitas Kesadaran Hak-Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Seperti kita ketahui bahwa perempuan memiliki pengalaman biologis dan siklus reproduksi yang berbeda dengan laki-laki. Dalam KTD, perempuan yang lebih banyak menanggung beban baik secara fisik, psikologis maupun ekonomi.
Di sisi lain, alat kontrasepsi di Indonesia masih seringkali dibebankan pada perempuan. Padahal, ketika perempuan kesusahan mengakses KB karena pandemi, laki-laki juga bisa menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Kondom sebagai alat kontrasepsi bagi laki-laki cenderung lebih mudah didapatkan dan digunakan dari pada alat kontrasepsi pada perempuan.
Melihat kembali pada 12 hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi, masih banyak sekali hak-hak warga Negara yang tidak terpenuhi, terutama perempuan. Sebagian perempuan mungkin memiliki hak untuk hidup dan hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan, namun tidak memiliki hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak, dan kapan mempunyai anak. Karena tekanan lingkungan yang mengharuskannya memiliki anak, dan setelah itu masih ada tekanan untuk memiliki anak lagi.
Ada orang-orang di sekitar saya yang juga mengalami KTD dan itu berdampak secara psikologis bagi para Ibu, karena kurangnya akses informasi dan pendidikan tentang kesehatan seksual dan reproduktif dan informasi perencanaan keluarga. Juga karena memiliki pasangan yang tidak supportif. Apalagi saat pandemic seperti sekarang, hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi semakin terbatas.
Peringatan Hari Kesehatan Seksual Sedunia ini diharapkan menambah kesadaran kita untuk lebih peka terhadap hak-hak kesehatan seksual terutama bagi diri sendiri dan orang di sekitar kita. Saat mengetahui hak-hak kita, maka kita akan lebih sadar apa saja yang bisa kita lakukan untuk hidup yang sejahtera. Kita akan lebih memahami bahwa banyak pilihan, tidak hanya 1 seperti yang selama ini dibentuk dalam masyarakat.
Sudahkah kita mendapatkan keduabelas hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi? []