Mubadalah.id – Baru-baru ini berita kelanjutan penahanan I Wayan Agus Suartama atau kita kenal dengan sebutan IWAS atau Agus Buntung menjadi atensi publik kembali. Hal ini lantaran videonya yang menangis di pelukan ibunya saat akan ditahan.
Kondisi tersebut seakan menggambarkan bagaimana seorang Agus yang tak berdaya dan sangat membutuhkan peran seorang perempuan sebagai tempat teraman baginya. Perempuan tersebut tak lain adalah ibunya.
Melihat kondisi tersebut, netizen banyak yang semakin menghujat Agus alias IWAS. Pasalnya tangisannya tersebut sangat kontras dengan pebuatan yang telah ia lakukan kepada banyak korban perempuan.
Pemandangan yang sangat kontras tersebut lantas memunculkan pertanyaan. Jika pada satu sisi sosok perempuan adalah tempat yang aman, namun mengapa pada sisi yang lain perempuan masih mencari-cari tempat yang aman dalam hidupnya.
Ruang Aman Perempuan yang Masih Menjadi Pertanyaan
Melihat kasus yang terjadi, rasanya ruang aman perempuan hingga saat ini hanya akan menjadi angan-angan semata. Bagaimana tidak? Para perempuan masih banyak yang menjadi korban, bahkan dari pelaku tindak kriminal yang notabene adalah penyandang disabilitas.
Sebelumnya kasus pelecehan seksual dengan pelaku IWAS ini mulai mencuat sejak 7 Oktober 2024 lalu. Publik awalnya bertanya-tanya bagaimana bisa Agus melakukan tindakan yang melanggar etika dan hukum tersebut. Bukankah ia seharusnya mendapatkan perlindungan dan perhatian khusus?
Banyak yang tidak percaya karena rasanya sangat mustahil. Namun begitulah faktanya. Hingga akhirnya Agus menjadi tersangka dan harus mempertanggungjawabkan perbuatanya.
Korban Tidak Hanya Satu Perempuan
Agus resmi menjadi tersangka setelah sebelumnya terdapat salah seorang Mahasiswi yang menjadi korbannya melapor ke Polisi. Hingga akhirnya polisi menindaklanjuti laporan tersebut dan melakukan penyelidikan.
Hasil penyelidikan sangat mengejutkan. Ternyata tidak hanya satu perempuan yang menjadi korban, bahkan mencapai 15 orang. Beberapa korban di antaranya juga masih di bawah umur.
Pelecehan seksual yang terjadi tersebut seringkali IWAS lakukan dengan memanfaatkan emosional korban. Ia sering kali mengeluarkan jurus rayuan dan memanfaatkan ketidakmampuan korbannya untuk memberikan persetujuan. Hal demikian terbukti dengan reka adegan saat rekonstruksi dilakukan.
Sinergitas Perempuan Demi Menciptakan Ruang Aman
Melihat dari kasus yang terjadi, rasanya tidak mungkin menciptakan ruang yang aman lagi bagi perempuan. Namun, pesimisme itu harus kita hapus dengan sinergi dari para perempuan untuk bersuara dan melawan tindak pelecehan dan kekerasan seksual.
Komisi Nasional Disabilitas (KND) juga menanggapi kasus yang terjadi. Pihaknya menegaskan jika hambatan yang Para penyandang disabilitas miliki tetap memungkinkan mereka untuk melakukan tindak kejahatan, termasuk tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Pihaknya juga menegaskan jika penyandang disabilitas adalah manusia pada umumnya yang bisa menjadi korban, saksi dan bahkan tersangka atau pelaku.
Pelecehan seksual yang terjadi pada kenyataannya tidak hanya merugikan korban, tetapi juga merusak struktur sosial masyarakat. Sehingga penting untuk mengedukasi dan mengampanyekan kewaspadaan dan kepedulian masyarakat terhadap anti pelecehan dan kekerasan seksual.
Peran masyarakat, pemerintah, dan aparat penegak hukum serta lembaga pendidikan sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman. Khususnya peran keluarga dalam mengontrol batasan diri dan etika sosial kepada anak-anaknya sejak dini.
Hal demikian bertujuan agar tidak ada lagi perempuan-perempuan yang menjadi korban. Meskipun pada satu sisi sosok perempuan menjadi tempat yang aman bagi seorang pelaku tidak kriminal sekalipun, namun pada posisi korban perempuan, mereka sangat lemah untuk menjadi tempat yang aman. []