Mubadalah.id – Undang-undang maupun hukum Islam sudah mengatur tentang hukum waris secara rinci. Namun, penyandang disabilitas kadangkala mengalami diskriminasi dalam hal pembagian hak waris, sebab dianggap tidak cukup cakap dalam mengelola harta. Akhirnya bagian mereka diambil oleh keluarga mereka yang sehat.
Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip keadilan. Maka untuk mengoreksi masalah tersebut perlu kita paparkan beberapa penjelasan fikih terkait hal tersebut.
Perlu diketahui bahwa hak waris bisa ditetapkan bagi seseorang dengan adanya tiga perkara, yaitu pertama, terdapat sebab-sebabnya (wujµdu asbabihi).
Kedua, terdapat syarat-syaratnya (wujµdu syurµ¯ihi). Ketiga, tidak terdapat padanya hal-hal yang menghalangi hak waris (intifa ‘u mawani’ihi).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan hak waris menurut as-Syaikh Muhammad Khathib as-Syarbini dalam kitabnya al-Iqna’ ada empat hal, yaitu: pertama, hubungan kekerabatan. Kedua, hubungan pernikahan. Ketiga, sesama muslim, dan keempat, wala’ atau pembebasan budak.
Selanjutnya, syarat-syarat hak waris ada tiga, yaitu: pertama, terbukti nyata kematian pewaris, baik dengan melihat sendiri atau melewati keputusan hakim. Kedua, terbukti nyata hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris. Ketiga, mengetahui alasan dia mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia.
Sedangkan faktor yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak waris adalah pertama, perbudakan. Kedua, pembunuhan. Ketiga, perbedaan agama, dan keempat, ad-daurul sukmi.
Demikian teori dasar tentang pewarisan. Lalu bagaimana dengan penyandang disabilitas?
Seorang penyandang disabilitas tetap dijamin untuk mendapatkan hak waris. Disabilitas bukan termasuk hal-hal yang menghalangi seseorang untuk mendapat warisan dengan catatan penyandang disabilitas memenuhi syarat mendapatkan warisan. []