• Login
  • Register
Jumat, 13 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Tantangan Difabel: Aku Tidak Berbeda, Hanya Hidup dengan Cara yang Berbeda

Menjadi difabel berarti hidup dengan tantangan yang tidak selalu terlihat oleh orang lain.

Muhammad Khoiri Muhammad Khoiri
25/05/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Tantangan Difabel

Tantangan Difabel

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dunia seringkali memberikan tantangan yang lebih besar daripada yang dihadapi oleh kebanyakan para difabel. Meskipun memiliki keterbatasan fisik atau mental, difabel tidak melihat diri mereka sebagai individu yang “berbeda” dalam arti negatif. Mereka tidak menganggap perbedaan fisik atau mental sebagai penghalang, melainkan sebagai bagian dari cara mereka menjalani kehidupan dengan perspektif yang unik.

Sebagian besar tantangan difabel bukan hanya masalah fisik, tetapi juga masalah aksesibilitas dan penerimaan sosial. Misalnya, fasilitas umum yang tidak ramah bagi mereka, atau pandangan masyarakat yang menganggap mereka tidak mampu melakukan hal-hal tertentu. Hal ini menciptakan kesenjangan dalam kesempatan untuk berkembang dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial maupun profesional.

Namun, meskipun sering menghadapi kesulitan, difabel tetap memiliki potensi yang besar untuk berkontribusi dalam berbagai bidang. Mereka hanya membutuhkan dukungan yang tepat, seperti akses yang lebih baik, pendidikan inklusif, dan kesempatan yang setara. Perjuangan mereka bukan tentang mengatasi ketidakmampuan, melainkan tentang menuntut ruang untuk menunjukkan kemampuan dan berpartisipasi dengan cara yang mereka inginkan.

Pada dasarnya para difabel tidak meminta perlakuan khusus. Mereka hanya ingin diberi kesempatan yang sama untuk tumbuh, berkembang, dan berkarya. Mereka ingin masyarakat melihat mereka sebagai individu yang setara, yang hanya menjalani hidup dengan cara yang sedikit berbeda, bukan sebagai orang yang terpisah dari kehidupan utama. Dengan lebih banyak pemahaman dan inklusi, dunia bisa menjadi tempat yang lebih adil bagi semua.

Menjalani Kehidupan dengan Pandangan yang Berbeda

Bagi seorang difabel, menjadi seperti itu bukanlah sebuah cacat yang menghalangi untuk menjalani hidup dengan penuh makna. Dunia seringkali memandang mereka dengan tatapan berbeda, seolah ada jarak yang tidak bisa mereka lewati.

Baca Juga:

Realita Disabilitas dalam Dunia Kerja

Mengenal Devotee: Ketika Disabilitas Dijadikan Fetish

Menggali Fikih Ramah Difabel: Warisan Ulama Klasik yang Terlupakan

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

Namun, mereka percaya perbedaan itu bukanlah tentang kelemahan atau ketidaksempurnaan. Sejak kecil mereka belajar untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Tantangan yang mereka hadapi adalah kesempatan untuk berkembang, meskipun terkadang dunia terasa tidak adil.

Sering kali mereka mendengar kalimat, “Kamu berbeda,” atau “Kamu tidak seperti mereka.” Namun, dalam hati mereka tahu bahwa mereka tidak lebih atau kurang dari siapa pun. Mereka hanya memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi tantangan.

Cara mereka bergerak, berkomunikasi, dan menjalani rutinitas sehari-hari mungkin terlihat berbeda, tetapi itu adalah bagian dari kehidupan mereka. Mereka tetap memiliki impian, tujuan, dan keinginan yang sama seperti orang lain. Mereka hanya membutuhkan lebih banyak dukungan dan kesempatan untuk mewujudkannya.

Salah satu pengalaman yang paling sering mereka hadapi adalah kesulitan dalam mendapatkan akses yang setara. Misalnya, saat berada di tempat umum yang tidak ramah terhadap difabel, seperti trotoar yang rusak atau gedung yang tidak memiliki fasilitas akses untuk kursi roda.

Padahal, mereka hanya ingin berada di sana, menikmati momen yang sama seperti orang lain. Hanya karena keterbatasan fisik, dunia seperti menutup banyak pintu untuk mereka. Tapi itu tidak membuat mereka menyerah. Mereka terus berjuang untuk mendapatkan ruang yang layak bagi diri mereka dan teman-teman difabel lainnya.

Tantangan yang Sering Dihadapi oleh Difabel

Menjadi difabel berarti hidup dengan tantangan yang tidak selalu terlihat oleh orang lain. Sering kali tantangan terbesar bukanlah fisik, tetapi mental. Dunia ini cenderung memberi lebih banyak ruang bagi mereka yang “sempurna” menurut standar umum.

Mereka sering diabaikan atau disalahpahami. Kadang, mereka merasa seperti berada di luar lingkaran kehidupan sosial yang penuh dengan kesempatan. Mereka belajar untuk hidup dengan ketidakpastian tetapi ada hari-hari di mana rasa frustrasi datang begitu mendalam.

Misalnya di dunia kerja, peluang bagi difabel masih terbatas. Banyak tempat kerja yang tidak siap atau tidak terbiasa dengan kehadiran mereka. Ada banyak pekerjaan yang seharusnya bisa mereka lakukan tetapi hanya karena keterbatasan fisik, mereka sering kali dipandang sebelah mata.

Terkadang orang tidak menyadari bahwa meskipun tubuh mereka mungkin berbeda tetapi otak mereka bekerja dengan cara yang sama, bahkan lebih cepat dalam beberapa hal. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian yang berharga, hanya saja mereka butuh ruang untuk menunjukkan itu.

Selain itu, mereka juga merasakan perbedaan dalam kehidupan sosial. Tidak jarang mereka merasa terabaikan dalam pertemuan sosial meskipun mereka ingin berinteraksi seperti orang lain. Mereka ingin berbicara, tertawa, dan berpartisipasi dalam diskusi.

Namun, kadang ada kecanggungan, atau orang merasa tidak tahu bagaimana bersikap terhadap mereka. Mereka berharap orang-orang lebih sadar bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang sama dan hanya ingin dihargai tanpa adanya rasa kasihan.

Tantangan terbesar bagi mereka yaitu para difabel adalah bagaimana menghadapi dunia yang seringkali tidak siap untuk menerima mereka. Mereka harus berjuang setiap hari untuk mendapatkan hak yang sama, untuk bisa menikmati hidup dengan bebas, dan untuk dihargai tanpa adanya pandangan yang penuh belas kasihan.

Dunia ini sering kali menganggap mereka sebagai “kelompok lain,” padahal mereka hanya ingin menjalani hidup sebagaimana mestinya, tanpa ada batasan yang dibuat oleh orang lain.

Harapan untuk Dunia yang Lebih Inklusif

Meskipun tantangan terus datang, mereka tetap memegang satu keyakinan yaitu dunia bisa menjadi tempat yang lebih inklusif bagi difabel jika kita bersama-sama berusaha menciptakan perubahan. Mereka tidak ingin dunia terus menganggap mereka sebagai individu yang “berbeda” dalam pengertian negatif.

Mereka bukan beban, mereka bukan masalah, mereka hanya memiliki cara yang berbeda dalam berinteraksi dengan dunia. Jika dunia lebih memahami, menerima, dan memberikan akses yang setara, mereka bisa memberikan banyak kontribusi berharga.

Mereka berharap orang-orang bisa lebih empatik dan memahami kebutuhan mereka. Ingin dunia yang lebih ramah terhadap difabel dengan aksesibilitas yang lebih baik dan peluang yang lebih banyak.

Mereka ingin melihat lebih banyak tempat kerja yang terbuka untuk difabel, serta pendidikan yang inklusif. Di mana anak-anak difabel dapat belajar bersama teman-teman mereka tanpa adanya hambatan. Mereka tidak meminta lebih, mereka hanya meminta kesempatan yang sama.

Teknologi Bisa Menjadi Jembatan

Selain itu, mereka juga berharap teknologi bisa terus berkembang untuk mendukung mereka. Dengan adanya teknologi yang lebih canggih, seperti aplikasi yang memudahkan mobilitas atau perangkat yang mendukung kebutuhan sehari-hari, hidup mereka bisa lebih mudah dan lebih mandiri.

Teknologi bisa menjadi jembatan antara keterbatasan fisik dan kebebasan dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, mereka percaya bahwa inovasi harus berfokus pada kebutuhan semua lapisan masyarakat, termasuk difabel.

Dalam pandangan mereka hidup bukan tentang perbedaan, tetapi tentang bagaimana kita saling mendukung dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk berkembang.

Para difabel hanya ingin hidup dengan cara yang sama seperti orang lain yaitu diberi ruang untuk bermimpi, berusaha, dan sukses. Mereka hanya ingin hidup di dunia yang lebih terbuka, di mana perbedaan bukanlah hal yang menakutkan, tetapi sesuatu yang bisa memperkaya pengalaman bersama.

Seperti halnya setiap individu, para difabel juga memiliki hak untuk hidup dengan layak dan dihargai tanpa adanya diskriminasi. Mereka tidak berbeda, hanya menghadapi hidup dengan cara yang berbeda. Dunia ini harus menyadari bahwa keterbatasan fisik tidak membatasi potensi dan kapasitas mereka.

Mereka hanya memerlukan kesempatan, akses yang setara, dan dukungan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih inklusif. Dengan pemahaman dan perhatian lebih, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang, terlepas dari perbedaan fisik atau mental. []

Tags: Difabelhak asasiHak DifabelInklusi SosialPenyandang DisabilitasRuang InklusiTantangan Difabel
Muhammad Khoiri

Muhammad Khoiri

Penulis adalah pemuda dari Kota Tulungagung yang haus ilmu dan berkomitmen untuk terus mengembangkan wawasan melalui belajar literasi, serta berupaya berkontribusi dalam pengembangan keilmuan dan pemberdayaan intelektual.  

Terkait Posts

Nikel Raja Ampat

Penambangan Nikel di Raja Ampat: Ancaman Nyata bagi Masyarakat Adat

12 Juni 2025
Tanah Papua

Nikel di Surga, Luka di Tanah Papua

12 Juni 2025
Kak Owen

Kak Owen Hijaukan Bogor Lewat Aksi Menanam 10.000 Pohon

12 Juni 2025
Sejarah Perempuan

Seolah-olah Tidak Resmi: Sejarah Perempuan dan Rezim yang Ingin Menulis Ulang Sejarah Indonesia

12 Juni 2025
Pancasila

Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

12 Juni 2025
Menyulam Spiritualitas

Menyulam Spiritualitas dan Rasionalitas: Belajar Menyebut Nama Tuhan dari Perempuan Abad 16

12 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Perempuan

    Seolah-olah Tidak Resmi: Sejarah Perempuan dan Rezim yang Ingin Menulis Ulang Sejarah Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kak Owen Hijaukan Bogor Lewat Aksi Menanam 10.000 Pohon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyulam Spiritualitas dan Rasionalitas: Belajar Menyebut Nama Tuhan dari Perempuan Abad 16

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Toleransi, Menghidupkan Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nikel di Surga, Luka di Tanah Papua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Penambangan Nikel di Raja Ampat: Ancaman Nyata bagi Masyarakat Adat
  • Nikel di Surga, Luka di Tanah Papua
  • Tauhid secara Sosial
  • Realita Disabilitas dalam Dunia Kerja
  • Kak Owen Hijaukan Bogor Lewat Aksi Menanam 10.000 Pohon

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID