Mubadalah.id – Salah satu pengalaman yang membuat saya sadar tentang kesalingan (mubadalah) adalah bertemu dengan keluarga Budhe Sri yang tumbuh dengan seorang anak difabel. Di Jawa, panggilan Budhe tidak hanya untuk kerabat, tetapi juga tetangga. Sebutan ini menjadi bentuk kedekatan oleh karena hidup berdampingan dalam lingkungan yang sama. Namun, buat sebagian orang hal ini membingungkan.
“Kemarin aku ketemu anak kecil. Ketika kutanya yang mengantar siapa, dia jawab bersama Budhe. Ternyata Budhe itu bukan saudaranya, tapi tetangga…..”
Teman Masa Kecil
Budhe Sri memiliki dua orang anak, Mbak Raras dan Lina. Anak kedua Budhe seorang Teman Tuli. Lina dan saya memiliki usia yang tidak terpaut jauh, bahkan bisa dikatakan seumuran. Waktu itu sekitar tahun 2009-2015, jadi kami masih duduk di sekolah dasar. Saya dan Lina berkawan baik, sering bermain di lapangan, mengaji di masjid, serta ikut acara-acara di kampung.
Lina anak yang ramah. Ia selalu tersenyum, menyapa sambil melambaikan tangan kepada siapa saja yang ditemuinya di jalan. Tidak ada satupun tetangga kami yang asing dengan Lina. Ia bisa berkomunikasi melalui sedikit bahasa isyarat sehingga mudah dipahami.
Saya mengagumi kemampuan Lina dalam bersosialisasi. Namun, dulu saya mengira hal ini semata karena diri Lina sendiri. Kini saya memahami bahwa kemampuannya tidak lepas dari didikan keluarga. Lambat laun, saya menyadari pula prinsip mubadalah yang diterapkan Bude Sri menjadi faktor kuncinya.
Mubadalah dalam Keluarga
Selama ini Budhe Sri dan suami sama-sama bekerja. Budhe Sri merupakan pekerja rumah tangga (PRT) dan Pakdhe sebagai satpam di kantor swasta. Di sinilah prinsip mubadalah terbangun.
Mubadalah adalah konsep relasi antara dua pihak yang berlandaskan kesetaraan, kesalingan, serta kerja sama. Secara khusus, mubadalah dalam relasi gender merupakan keyakinan, cara pandang, sikap, perilaku, dan tindakan yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek kehidupan yang utuh dan setara. Prinsip ini berlaku dalam semua level relasi, memandang setiap manusia terhormat, bermartabat, adil, dan maslahat (Kodir, 2021).
Pakdhe dan Budhe Sri berbagi peran dalam keluarga. Keduanya memastikan pekerjaan rumah selesai di pagi hari sebelum berangkat bekerja. Kemudian bergantian mengantar-jemput Mbak Raras dan Lina ke sekolah. Sepulang sekolah, Lina menemani Budhe bekerja. Ia bermain hingga waktunya selesai. Jika pulang lebih awal, Pakdhe yang akan membersihkan rumah sembari menunggu istrinya kembali. Begitupula sebaliknya.
Kerja domestik memang tanggung jawab bersama, tidak terpisahkan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini adalah bentuk iman terhadap keesaan Tuhan yang mendorong sistem sosial yang sederajat dan resiprokal. Membangun rumah tangga berarti saling berbagi dalam kebaikan, tanpa ada salah satu yang terbebani (mua’syarah bi al-Ma’ruf). Dengan begitu keluarga sakinah yang membawa ketenangan dalam kehidupan dapat tercipta (Kodir, 2022).
Pemenuhan Hak Anak Difabel
Setiap keluarga perlu berbahagia. Perasaan ini muncul dari kasih sayang, interaksi, dan pemenuhan hak anggota keluarga. Keluarga Budhe mewujudkan pilar rahmah (kasih sayang) melalui sikap saling menghargai, welas asih, dan rutin bercengkerama. Dari situ tumbuh kepercayaan penuh antara Kak Raras dan Lina kepada orang tua, begitupun sebaliknya.
Selama ini konsep birrul walidain dikenal sebagai kewajiban anak. Penghormatan ini berupa perbuatan baik, mendoakan, memenuhi keinginan, dan menaati perintah orang tua selama tidak menyengsarakan dan mencederai hak-hak kemanusiaan anak. Namun, sebagaimana konsep kesalingan, penghormatan akan muncul jika resiprokal (Kodir, 2022). Orang tua juga perlu menghargai anak, membebaskannya dari tunduk dan kepatuhan yang tanpa kebebasan bersuara.
Keluarga Budhe Sri memastikan Mbak Raras dan Lina terpenuhi hak dasarnya. Dikutip dari laman UNICEF, ada empat hak dasar anak, meliputi hak hidup, hak perlindungan, hak tumbuh kembang, dan hak partisipasi. Lebih spesifik, ada 7 hak anak penyandang disabilitas yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2016.
Pertama, mendapatkan pelindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual. Kedua, mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal.
Ketiga, dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan. Keempat, perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak. Kelima, pemenuhan kebutuhan khusus. Keenam, perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan individu. Ketujuh, mendapatkan pendampingan sosial.
Lina mengenyam pendidikan Sekolah Luar Biasa, hidup dalam lingkungan rumah yang mendukung, dan mendapatkan kasih sayang yang cukup. Lina tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri karena kedua orang tuanya senantiasa meluaskan pertemuan Lina dengan banyak orang. Dari merekalah saya jadi menyadari betapa Lina sangat menginspirasi.
Baik Budhe dan Pakdhe telah memiliki kesadaran pilar fitrah perkembangan anak. Meski saya dan Lina seumuran, Lina terpaut tiga kelas di bawah saya. Namun, hal ini bukan masalah selama Lina dapat menyerap ilmu dari SLB sesuai kemampuannya.
Ciptakan Ekosistem Ramah Difabel
Selama ini, anak difabel rentan terhadap perundungan yang berdampak bagi psikologis dan aksesibilitas. Begitupula Lina yang beberapa kali mendapatkan perundungan secara verbal berupa ejekan atau tatapan kurang menyenangkan.
Padahal difabel sama-sama hamba Tuhan yang bermartabat sehingga tidak sepatutnya menjadi korban perundungan. Anak difabel berhak atas kehidupan yang adil dan setara. Perihal ini, saya melihat peran Budhe Sri sebagai orang tua yang memberi daya dukung kuat bagi Lina. Pada akhirnya menjadi sebuah upaya menciptakan ekosistem ramah difabel.
Lalu, bagaimana caranya?
Pertama, orang tua perlu memiliki kesadaran bahwa sang anak merupakan subjek yang penuh dan utuh. Penuh maksudnya berhak memberikan dan menerima kesalingan. Sementara utuh berarti memiliki otoritas atas tubuh, akal, dan jiwanya. Kesadaran ini mesti tumbuh juga dalam diri anak. Maka, penting bagi orang tua dalam menstimulasinya.
Kesadaran ini dapat dimunculkan melalui pemahaman atas kondisi yang dialami, nilai diri, dan cara bersosial. Dengan begitu, anak memiliki kepercayaan diri serta dapat memberikan pengertian kepada orang lain dengan kesiapan mental yang baik.
Kedua, Budhe Sri juga memberikan edukasi kepada orang sekitar. Paling awal biasanya mengenai kondisi Lina, kebutuhannya, dan bagaimana menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi Lina. Hal ini penting karena masyarakat saat ini masih memerlukan informasi mengenai difabel untuk dapat memahami. Alih-alih melakukan perundungan, seharusnya semua bisa berteman dan hidup bersama.
Cara-cara ini tentu memerlukan proses panjang dan akan terjadi hanya jika ada daya dukung, kesalingan, kelapangan hati, dan keyakinan diri. Kembali ke awal, Budhe dan Pakdhe membangunnya mulai dari keluarga. Keduanya menyadari bahwa Mbak Raras dan Lina mungkin berbeda, tetapi mereka tetaplah buah hati yang tidak boleh dibeda-bedakan.
Keduanya bersepakat soal pilar maslahah yaitu sebagai suami dan istri harus sama-sama berkontribusi dalam memaksimalkan kebaikan untuk anak. Pada akhirnya, Budhe Sri dan Pakdhe mampu menjadi suri tauladan bagi siapa saja yang menjadi pasangan dan orang tua yang dianugerahi buah hati spesial seperti Lina. []