Mubadalah.id – Posisi subordinat perempuan dalam persoalan-persoalan partikular merupakan konsekuensi-konsekuensi logis yang lahir dari pernyataan al-Qur’an tentang otoritas laki-laki atas perempuan yang disebutkan dalam QS. Nuh ayat 34 dan didukung oleh QS. al-Baqarah ayat 228.
Membaca ayat-ayat ini, secara literalistik (mengartikannya secara harfiyah) dan tanpa mengaitkannya dengan ayat lain. Bahkan keterangan lain atau tanpa memperhatikan konteks sosialnya, hanya akan mudah membuat kesimpulan bahwa laki-laki menurut Tuhan sebagai pemimpim, penguasa, pengendali, atau pendidik perempuan.
Sebaliknya, perempuan diposisikan sebagai yang dipimpin, dikuasai, dikendalikan, atau dididik.
Dalam banyak tafsir, ayat ini kemudian menjadi dasar hukum (tasyri‘) yang tetap dan selama-lamanya atau bersifat normatif. Dan bukannya bersifat fungsional belaka bagi setiap hubungan laki-laki dan perempuan.
Jika pendapat ulama tersebut kita yakini sepenuhnya. Maka sebenarnya ia akan bertentangan dengan ayat-ayat kesetaraan dan kesederajatan manusia.
Jadi, di sini kita melihat adanya inkonsistensi atau kontradiksi antar ayat, ayat kesetaraan di satu sisi dan ayat subordinasi di sisi yang lain. Penafian, kontradiksi satu ayat atas ayat yang lain seharusnya tidak boleh terjadi. Kecuali jika memberlakukan teori naskh (penghapusan) atau takhsish (pengecualian atau pembatasan).
Dalam kaitan dengan ayat 34 surat an-Nisa’ tadi, saya ingin berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan takhshish (pengecualian atau pembatasan) atas ayat kesetaraan dan kesederajatan manusia sebagaimana sudah dikemukakan.
Takhshish pengecualian atau pembatasan ini dilakukan oleh al-Qur’an oleh karena adanya konteks tertentu yang menyertainya.
Konteks Sosiokultural
Dalam hal ini adalah tradisi atau konteks sosiokulturalnya. Yakni, takhshish bi al-‘urf. Membaca ayat ini dengan cermat akan terlihat dengan jelas bahwa ia sesungguhnya tengah menginformasikan kepada pembacanya tentang realitas sosial yang patriarkis.
Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam realitas sosial ketika itu sebagaimana dalam ayat itu karena dukungan dua alasan. Yaitu keunggulan dan tanggungjawab enonomi.
Meskipun al-Qur’an tidak menyebut kriteria keunggulan yang laki-laki miliki. Tetapi hampir semua ahli tafsir klasik maupun modern menyatakan bahwa ia adalah keunggulan akal intelektual dan kekuatan fisiknya.
Anehnya, mereka menyatakan bahwa keunggulan akal intelektual tersebut sebagai sesuatu yang kodrat, yang Tuhan ciptakan dan melekat secara tetap pada setiap laki-laki. Mereka mengambil dasar legitimasi pendirian ini dari sumber lain, misalnya tentang sejarah mitologi kejatuhan Adam dan Hawa dari surga. []