Mubadalah.id – Ada satu adegan rumah tangga yang terasa akrab di banyak kepala: sang istri memberi nasihat, sang suami terdiam, dahi mengkerut, lalu suasana mendadak berubah tegang. Bukannya diterima, nasihat sang istri justru berbalas bentakan oleh suami. Kadang, pertengkaran kecil pun meletus hanya karena keinginan sang istri untuk membantu suaminya. Keinginan mulia yang sering kali keliru dipahami oleh lelaki
Fenomena ini bukan hanya terjadi dalam rumah tangga. Baik di lingkungan kerja, sekolah, maupun pondok pesantren, nasihat perempuan kepada laki-laki kerap berujung pada reaksi dingin, sinis, atau bahkan tertolak mentah-mentah. Penyebabnya bukan hanya soal ego.
Ada banyak faktor lain yang melatarbelakangi hal ini, mulai dari perbedaan cara berkomunikasi, pengaruh budaya, serta stereotip gender. Atasan laki-laki yang tidak suka dengan saran pegawai perempuan, boleh jadi bukan hanya karena perbedaan kelas jabatan. Dan ustad yang acuh tak acuh dengan nasihat istrinya, bukan berarti ia kurang memahami agama.
Adham Syarqawi, penulis muda asal Palestina, memberikan beberapa tips dan solusi menasihati lelaki dan terkait hal di atas dalam bukunya berjudul Lirrijal Faqad. Buku setebal 297 halaman ini mengupas persoalan perbedaan alur berpikir laki-laki dan perempuan, termasuk perbedaan pola interaksi di antara keduanya.
Dari 19 bab, pembahasan berjudul “Hiya Tanshah Anta Tasy’uru bil Ihanah” (Dia menasihati, sementara Anda merasa terhina) adalah bab yang menarik dan relevan dengan topik kita kali ini.
Perbedaan Cara Berpikir Laki-laki dan Perempuan
Syarqawi menjelaskan bahwa hal ini bukan sekadar persoalan ego atau gengsi, melainkan cara berpikir dan cara memproses informasi antara lelaki dan perempuan. Allah menciptakan keduanya dengan keunikan masing-masing, dan perbedaan ini kerap menjadi sumber gesekan jika tidak kita pahami dengan baik.
Menurut Syarqawi, ada beberapa alasan mendasar yang melatarbelakangi penolakan menasihati lelaki .
Pertama, Perempuan tercipta sebagai pribadi yang penuh perhatian, sementara lelaki diciptakan sebagai pribadi yang berfokus untuk bekerja. Perbedaan naluri penciptaan ini menghasilkan logika berpikir yang berbeda. Bagi perempuan, nasihat yang ia berikan adalah ungkapan cintanya pada laki-laki. Ungkapan cinta ini persis seperti pemberian bunga dan cincin oleh lelaki.
Namun, sering kali laki-laki gagal dalam memahami pesan cinta di balik saran dan masukan istrinya. Di telinga mereka, pesan tadi terdengar sebagai bentuk perintah dan mengesankan seolah-olah sang istri lebih tahu segalanya. Alih-alih memahaminya sebagai pesan cinta, nasihat tersebut justru laki-laki terima sebagai bentuk penghinaan kepada dirinya.
Kedua, perbedaan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Syarqawi menyerupakan perasaan laki-laki seperti biji kenari: keras di luar, namun rapuh di dalam. Laki-laki tidak menyukai sisi rapuhnya terekspos dan diketahui orang lain. Mereka lebih suka berpura-pura tegar dan menyimpan lukanya sendirian. Hal ini menjawab pertanyaan mengapa mereka tidak senang bila ada orang lain yang sering ikut campur urusannya.
Sebaliknya, perempuan justru butuh untuk mengungkapkan perasaan yang sedang ia alami. Mereka butuh menceritakan persoalan hidupnya agar hatinya lega. Dalam hal ini, cerita menjadi obat sakit perempuan yang tidak dipahami oleh sebagian laki-laki.
Ketiga, perempuan lebih peka terhadap ketidakteraturan di sekitarnya. Syarqawi mendasarkan hal ini pada pengalaman empirisnya. Ketika ia berkunjung ke perpustakaan kampus, ia sering mendapati mahasiswa perempuan memperbaiki susunan buku yang kurang rapi di hadapannya. Bukan hanya sekali, ia mendapatinya berkali-kali. Dan dari pengamatannya, tidak ada satu pun laki-laki yang melakukan hal serupa: menata dan menyusun kembali urutan jilid buku yang berantakan.
Opini dan Solusi dari Adham Syarqawi
Syarqawi juga berproposisi bahwa laki-laki lebih fokus pada fungsi. Selama barang tersebut masih berfungsi dengan baik, maka penampilan bukan prioritas. Sementara bagi perempuan, keindahan bentuk luar juga tidak kalah penting dengan fungsinya. Oleh karenanya, nasihat dan teguran perempuan lahir sebagai usaha dia dalam memperbaiki kesempurnaan sesuatu yang sedang ia lihat di hadapannya.
Dengan semua perbedaan ini, Syarqawi menawarkan beberapa solusi yang bisa laki-laki dan perempuan lakukan untuk menghindari konflik ini:
Belajar untuk saling memahami
Hendaknya suami belajar untuk memahami kehendak baik istri di balik menasihati lelaki dan masukan yang ia ucapkan. Belajar memahami bahwa hal itu bukanlah bentuk penghinaan, melainkan sebagai bentuk kasih sayang padanya. Terlihat lemah di hadapan pasangan bukanlah hal yang memalukan, justru itulah tanda kepercayaan.
Memilih waktu yang pas
Syarqawi berpendapat bahwa terkadang laki-laki bukan menolak pesannya, tapi momen penyampaiannya. Perempuan harus cermat dalam menilai situasi kapan ia menasihati lelaki, dan kapan waktunya untuk bersikap dingin. Syarqawi juga berpesan, bahwa menasihati lelaki di hadapan orang lain adalah hal yang sangat menyakitkan hatinya. Ia pun menukil pepatah Arab.
النصيحة على الملأ فضيحة
“Nasihat di hadapan khalayak ramai adalah penghinaan.”
Gunakan gaya bahasa yang lembut.
Boleh jadi, yang sebenarnya didengarkan oleh laki-laki adalah intonasi, sehingga reaksi yang muncul justru bersifat defensif. Syarqawi menawarkan kalimat pujian sebagai alternatif kalimat pembuka, dengan demikian laki-laki akan lebih merasa kita hargai dan lunak dalam mendengarkan aspirasi.
Alhasil, kunci dari semua ini adalah komunikasi. Tips ini bukan hanya berlaku dalam relasi suami-istri, tapi juga di dunia kerja, pendidikan, bahkan dalam pertemanan. Ketika komunikasi dijalankan dengan asas saling memahami bukan menghakimi, maka relasi kesalingan akan tumbuh sehat tanpa dominasi. []