Momentum Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia ini bukan hanya seremonial semata. Ia membawa pesan penting bagi kita semua, terutama para santri muda, untuk tidak melupakan sejarah perjuangan para ulama perempuan.
Mubadalah.id – Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasiona, sebuah momen bersejarah yang menandai awal era pergerakan menuju kemerdekaan dari penjajahan kolonial. Namun, Mei 2025 ini terasa istimewa dan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada Mei 2025, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) secara resmi mendeklarasikan bulan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia. Deklarasi tersebut berlangsung pada 18 Mei 2025 di Masjid Puser Bumi, Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Sebuah peristiwa penting yang bukan hanya historis, tetapi juga membawa semangat baru untuk mengangkat dan mengakui peran ulama perempuan dalam kehidupan keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Acara ini dihadiri oleh para tokoh nasional dan ulama terkemuka, seperti Nyai Hj. Alissa Wahid, KH. Husein Muhammad, Ibu Nyai Hj. Masriyah Amva, Ibu Hj. Rieke Diah Pitaloka, dan Ibu Nyai Hj. Masruchah. Selain itu, hadir pula para ulama perempuan dari berbagai daerah: Cirebon Raya, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.
Tawasul Kepada Ulama Perempuan
Salah satu momen yang paling berkesan bagi saya adalah ketika acara dibuka dengan pembacaan tawasul, yang dipimpin oleh Ibu Nyai Hj. Thoatilah Ja’far. Beliau secara khusus menyebut dan mendoakan para ulama perempuan terdahulu.
Ini adalah hal yang sangat langka saya temui dalam kegiatan pengajian atau tradisi pesantren, di mana biasanya hanya nama-nama ulama laki-laki yang disebut saat tawasul. Seolah-olah hanya laki-laki yang memiliki peran, perjuangan, dan ilmu dalam sejarah keislaman kita.
Padahal, kenyataannya banyak sekali ulama perempuan yang berjasa, baik dalam mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan, membina masyarakat, maupun berjuang di ranah keagamaan dan sosial. Karena itu, ada rasa haru dan bangga saat mendengar nama-nama mereka disebut satu per satu oleh Ibu Nyai Hj. Thoatilah Ja’far.
Tawasul yang menyebut nama ulama perempuan bukan hanya bentuk penghormatan, tapi juga simbol pengakuan atas kontribusi mereka yang selama ini sering kali terlupakan.
Hal ini tentu menjadi pengingat penting bagi kita semua bahwa perjuangan ulama perempuan layak untuk diapresiasi dan dikenang. Salah satunya melalui doa-doa yang kita panjatkan dalam setiap kegiatan keagamaan.
Pentingnya Mengingat Kiprah Para Ulama Perempuan Terdahulu
Selain pembacaan tawasul yang begitu mengharukan, sambutan yang disampaiakn oleh Ketua Majelis Dzikir dan Fikir Puser Bumi, Ibu Hj. Rieke Diah Pitaloka juga semakin menguatkan saya bahwa kiprah ulama perempuan itu nyata.
Beliau menyampaikan bahwa kita tidak boleh melupakan keteladanan para ulama perempuan masa lalu, seperti Nyai Syarifah Mudaim (Ibunda Sunan Gunung Jati), Nyimas Subanglarang, dan para ulama perempuan Cirebon lainnya. Mereka mengajarkan nilai-nilai perjuangan, semangat pantang menyerah, dan cahaya keimanan yang menjadi sumber kekuatan bagi umat.
Senada dengan itu, Nyai Hj. Alissa Wahid juga mengingatkan bahwa ulama perempuan telah hadir dalam perjuangan bangsa Indonesia bahkan sebelum nama “Indonesia” disepakati.
Beliau juga menyoroti peran penting perempuan dalam dunia pendidikan, salah satunya melalui sosok Nyai Khoiriyah Hasyim Asy’ari, inisiator pendirian pesantren khusus untuk santri perempuan. Upaya inilah yang membuka akses pendidikan bagi kaum perempuan, memperluas peran dan kontribusi mereka dalam masyarakat.
Puisi Ulama Perempuan
Di tengah acara, saya juga sangat menantikan momen pembacaan puisi dari para ulama perempuan. Salah satu yang paling mengena adalah puisi karya Ibu Nyai Hj. Masriyah Amva, pengasuh Pesantren Kebon Jambu, yang sarat akan makna:
Satu orang ternyata mereka hanyalah kekecilan
Tak mampu membesarkanku, tak mampu memberi
Satu demi satu kudatangi orang-orang kaya
Ternyata mereka hanyalah kemiskinan
Tak mampu memberiku, tak mampu membelaku
Satu demi satu kudatangi orang-orang hebat
Ternyata mereka hanyalah ayat-ayat
Tak mampu membelaku, tak mampu membantuku
Ternyata yang kaya, yang hebat, yang besar, adalah Engkau
Seharusnya aku datang bersimpuh kepada-Mu.
Puisi yang dibacakan Nyai Hj. Masriyah Amva ini begitu menggetarkan hati. Bagaimana tidak, selama ini masyarakat umum selalu menganggap bahwa perempuan adalah makluk yang jauh dari Tuhan.
Bahkan ia dianggap sebagai manusia yang selalu menggoda laki-laki untuk jauh dari Tuhan. Tetapi dari isi puisi di atas, saya sadar betul bahwa stigma negatif itu tidak lah benar. Ada banyak ulama perempuan yang hidupnya hanya bergantung pada Allah. ia tidak menginginkan kehadiran siapapun, kecuali Allah.
Tentu hal ini menegaskan pada kita bahwa, laki-laki dan perempuan sebetulnya manusia yang setara. Karena setara, seharusnya keduanya hanya berpegang dan mengabdikan diri pada Allah, melalui kebaikan dan keadilan.
Puisi Buya Husein Muhammad
Di sisi lain, Buya Husein Muhammad juga membacakan satu puisi yang juga sangat kuat. Teks puisi tersebut ialah:
Perempuan tercipta dari cahaya Tuhan
Ia bukan sekadar kekasih,
Bahkan bukan sekadar ciptaan Tuhan yang perempuan
Tetapi ia adalah kreator.
Lihatlah utusan Tuhan ini
Dia tak pernah mengurangi hak-hak perempuan beriman.
Ilmu pengetahuan menjadi jalan hidup keluarganya.
Mereka menjadi entrepreneur, aktivis hukum, aktivis politik, aktivis kebudayaan, dan lainnya.
Berkat putri-putri Nabi, gelombang pengetahuan menjulang ke puncak langit.
Meski saya sudah beberapa kali mendengar puisi ini di berbagai kesempatan, penyampaiannya selalu menggetarkan jiwa. Setiap bait terasa begitu dalam, menegaskan bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak perubahan sosial, penopang keluarga, dan sumber inspirasi tanpa kehilangan kelembutan dan sisi kemanusiaannya.
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Bukan hanya Seremonial
Momentum Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia ini bukan hanya seremonial semata. Ia membawa pesan penting bagi kita semua, terutama para santri muda, untuk tidak melupakan sejarah perjuangan para ulama perempuan terdahulu. Kita diajak untuk terus melanjutkan perjuangan para guru dan ulama perempuan, menghidupkan semangat keberanian, kebaikan, dan kasih sayang yang telah mereka wariskan.
Semoga peringatan ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk menciptakan ruang-ruang yang adil, setara, dan memberdayakan bagi perempuan, agar mereka dapat tumbuh, berkembang, dan memberikan cahaya bagi kehidupan umat. []