• Login
  • Register
Selasa, 8 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Sejarah perempuan, termasuk SNI secara umum, bukan sekadar nostalgia masa lalu dengan tone yang positif untuk menyanjung kegemilangan rezim.

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
18/06/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pemerintah ingin sejarah nasional yang Indonesia-sentris dan dalam tone yang positif. Sebagaimana kata Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Bahwa, “…yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif, dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya.” Sebagaimana dilansir dari Kompas.com; “Apa Alasan Fadli Zon Ingin Penulisan Sejarah dengan ‘Tone’ Positif?” (08/06/2025).

Pernyataan itu menegaskan kalau sejarah Indonesia yang ingin pemerintah catat, terkait rezim terdahulu hanya yang positif-positif saja. Tentu, positif menurut kurasi tim sejarawan pemerintah dan berdasar acc dari rezim.

Penulisan SNI yang Indonesia-sentris

Pendekatan Indonesia-sentris untuk penulisan ulang sejarah Indonesia, itu bukan hal baru. Sejak awal, buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), yang sudah direncanakan sejak 1951 dan baru dapat terlaksana pada 1970, memang ditulis berdasarkan pendekatan Indonesia-sentris.

Sebelum penulisan SNI, umumnya buku sejarah Indonesia dalam narasi yang Neerlando-sentris, atau penulisan sejarah dari sudut pandang kolonial Belanda. Pendekatan ini tidak dapat menampilkan sejarah Indonesia “dari dalam”, dan cenderung menyajikan sejarah Indonesia dalam tone yang negatif.

Sebagaimana contoh, dalam pendekatan Neerlando-sentris, figur seperti Pangeran Diponegoro terkenang sebagai seorang brandal. Hal itu sebab sudut pandang kolonial tidak melihatnya sebagai seorang pahlawan, melainkan sebagai seorang pemberontak. Brandal Diponegoro, begitu Neerlando-sentris mencatatanya.

Baca Juga:

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Peminggiran Sejarah Perempuan

Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98

Kondisi itu juga berlaku bagi pejuang-pejuang perempuan. Seperti Nyi Ageng Serang dalam Perang Jawa, Cut Nyak Dien dalam Perang Aceh, dan perempuan pejuang lainnya, dalam sudut pandang kolonial, mereka bukan pahlawan. Mereka adalah pemberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Kondisi penulisan ulang sejarah Indonesia yang seperti itu, kemudian memunculkan kesadaran bahwa kita perlu menulis sejarah yang Indonesia-sentris. Kita perlu upaya dekolonisasi historiografi, di mana penulisan sejarah Indonesia harus lepas dari penjajahan atau bayangan sudut pandang kolonial.

Dalam hal ini, pendekatan Indonesia-sentris, sebagaimana Ahmad Choirul Rofiq dalam Menelaah Historiografi Nasional Indonesia, mempersoalkan perspektif sejarah dan pengalihan perhatian utama sejarah dari sang penguasa kolonial kepada anak negeri.

Seperti contoh dalam kasus Pangeran Diponegoro, jika Neerlando-sentris melihatnya sebagai seorang brandal, maka Indonesia-sentris membacanya sebagai seorang pahlawan. Begitu juga, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, dan perempuan pejuang lainnya, yang dalam kacamata kolonial adalah pemberontak, maka dalam kacamata sejarah Indonesia dari dalam adalah pahlawan.

Sampai sini, pendekatan Indonesia-sentris membawa penulisan sejarah Indonesia pada tone yang positif. Kita dapat membaca sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari sudut pandang Indonesia sendiri. Bukan dalam framing narasi negatif kolonial.

Tone Sejarah dalam Pendekatan Indonesia-sentris

Namun, apakah pendekatan Indonesia-sentris dalam his(her)toriografi Indonesia hanya untuk mencari tone sejarah yang positif? Sebagaimana ingin pemerintah saat ini dalam penulisan ulang sejarah Indonesia.

Menunggalkan sejarah dalam narasi tone yang positif memang berpotensi pada historiografi sesuai kepentingan penguasa. Sebab, penguasa dapat memilah-milah sejarah yang masuk SNI, yang mereka sebut sejarah resmi, hanya yang positif berdasarkan kurasi tim yang mereka bentuk.

Pendekatan semacam ini hanya akan banyak mencatat kegemilangan rezim, dan mengabaikan kesuraman rezim. SNI hanya akan banyak berisi narasi seputar kepahlawanan rezim, dan abai dengan jeritan masa lalu rakyat yang tertindas. Dalam kondisi ini, sejarah sebagai peristiwa penting pada masa lalu, di mana kata penting itu menyesuaikan kepentingan penguasa.

Jika kita benar-benar bicara sejarah yang Indonesia-sentris, maka sejarah Indonesia bukan hanya untuk sejarah rezim dalam tone yang positif. Pendekatan Indonesia-sentris dalam historiografi pada dasarnya, sebagaimana Rofiq, ingin membaca kelampauan dari gejolak kehidupan anak negeri dalam menghadapi berbagai tantangan dan cobaan yang datang menerpa.

Artinya, Indonesia-sentris boleh jadi mencatat sejarah dalam tone yang positif dan bukan tidak mungkin juga dalam tone yang negatif. Hal itu karena gejolak kehidupan anak negeri tidak selalu tentang kegemilangan, ada saat-saat juga berada pada kondisi suram.

Bukan Hanya Tone Positif, Tapi Bisentris Histori

Dalam Prakata Editor Umum SNI Edisi ke-1, Sartono Kartodirjo menjelaskan bahwa, penulisan sejarah nasional untuk menyajikan “…sejarah Indonesia yang menggambarkan nasib bersama, dalam suka duka, kegemilangan dan kesuraman, selain kepahlawanan serta kewibawaan tokoh-tokoh sejarah, mampu membangkitkan rasa kebanggaan, memantapkan kepribadian bangsa serta identitasnya.”

Penjelasan Kartodirjo itu menghendaki historiografi yang tidak hanya untuk mencari-cari tone positif, namun benar-benar menuliskan sejarah bangsa Indonesia, baik pada masa kegemilangan maupun kesuraman.

Saya menggunakan istilah bisentris histori, untuk menyebut penulisan sejarah yang tidak hanya berfokus pada satu aktivitas namun keduanya; menuliskan sejarah laki-laki dan perempuan, pahlawan dan korban, penguasa dan rakyat, termasuk sejarah dalam tone pasang dan surut, unggul dan kalah, suka dan duka.

Sejarah dalam kerangka bisentris histori tidak hanya berisi kelampauan rezim namun juga menjelaskan nasib rakyat. Misalnya, dalam konteks sejarah perempuan, SNI jilid Orde Baru seharusnya tidak hanya untuk menyanjung catatan gemilang bapak pembangunan. Penulisan ulang sejarah Indonesia juga harus menjelaskan kondisi perempuan di masa Orba. Tidak hanya tentang tokoh-tokoh gemilangnya, namun juga nasib perempuan-perempuan yang menjadi korban dari kekacauan rezim.

Sejarah, Bukan Nostalgia Masa Lalu

Sejarah perempuan korban perkosaan pada tragedi Rumoh Geudong Pidie Aceh, tragedi kekerasan seksual yang perempuan etnis Tionghoa alami pada kerusuhan Mei 1998, dan berbagai sejarah korban lainnya dalam kelampauan perempuan Indonesia. Itu semua merupakan bagian dari duka perempuan Indonesia yang tidak boleh kita abaikan dalam penulisan sejarah Indonesia.

Hal itu sebab sejarah perempuan, dan juga termasuk SNI secara umum, bukan sekadar nostalgia masa lalu dengan tone yang positif untuk menyanjung kegemilangan rezim. SNI perlu menyajikan sejarah bangsa Indonesia secara utuh. Hal itu sebab, sebagaimana Kartodirjo, “…kesemuanya secara bersama-sama menyusun irama sejarah Indonesia yang sebagai nasib bersama akan mempertinggi kesadaran bangsa Indonesia.”

Sebagai catatan perjalanan bangsa, SNI sudah barang tentu bukan hanya milik, dan untuk kepentingan, penguasa. Ia harus berisi narasi yang tidak hanya menjelaskan kegemilangan rezim, namun juga menyajikan sejarah rakyat secara utuh. Hanya dengan begitu kita dapat belajar dari masa lalu, dan SNI mendapatkan posisinya untuk mempertinggi kesadaran bersama sebagai bangsa Indonesia. []

Tags: Her-story NusantaraIndonesia-sentrisPenulisan Ulang Sejarah IndonesiaSejarah IndonesiaSejarah PerempuanTone Positif
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Film Rahasia Rasa

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

6 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Ahmad Dhani

Ahmad Dhani dan Microaggression Verbal pada Mantan Pasangan

5 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Ulama Perempuan

    Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kasih Sayang Seorang Ibu
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?
  • Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak
  • From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?
  • Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID