Kalau perempuan bisa pasang IUD, kenapa laki-laki takut vasektomi?
Mubadalah.id – Setelah maraknya isu vasektomi dan bansos yang digemparkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, seorang perempuan bertanya di forum diskusi santai FPL. Mendengar pertanyaan tersebut, sebagian besar orang tertawa keheranan, tetapi tidak ada yang benar-benar menjawab.
Entah mengapa di benak saya respon seperti itu mengandung makna seolah-olah tanggung jawab mengenai kontrasepsi dan seluruh beban kehamilan serta kelahiran memang sudah ‘alami’ jatuh ke pundak perempuan.
Tapi, benarkah itu soal alami? Atau ini hanya warisan budaya patriarki yang belum pernah sungguh-sungguh kita tantang?
Di Indonesia, kampanye keluarga berencana (KB) sudah berjalan sejak Orde Baru. Tapi sampai sekarang, ketika orang mendengar kata KB, yang terbayang hanya selalu pil, suntik, IUD, atau implan. Dan semuanya untuk perempuan. Padahal ada metode kontrasepsi untuk laki-laki yang murah, aman, dan efektif. Mengapa metode ini justru tidak lazim terdengar seperti halnya KB pada perempuan.
Mengapa Vasektomi Masih Dianggap Menakutkan?
Menurut data BKKBN tahun 2023, hanya 0,2% laki-laki Indonesia yang menjadi akseptor vasektomi, jauh daripada 57% penggunaan kontrasepsi hormonal oleh perempuan. Artinya, beban kontrasepsi masih nyaris sepenuhnya tertanggung oleh perempuan. Mengapa?
Sebagian besar penyebabnya karena stigma sosial dan mitos. Survei Lembaga Demografi UI (2021) menunjukkan:
- 42% laki-laki percaya vasektomi bisa membuat lemah syahwat
- 37% menganggap vasektomi adalah tindakan tidak jantan
- Dan 60% menyebutkan bahwa istri seharusnya yang memakai KB, bukan suami.
Ini menunjukkan bahwa persepsi maskulinitas tradisional masih menjadi tembok besar bagi laki-laki untuk mengabil peran dalam mengendalikan kelahiran.
Ketimpangan Gender dalam Beban Reproduksi
Data dari WHO (2021) menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang, sekitar 57% pengguna alat kontrasepsi adalah perempuan, sedangkan 25% peran (terutama melalui kondom).
Di Indonesia, proporsinya lebih timpang. Berdasarkan SKDI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia), jenis penggunaan kontrasepsi yang paling banyak adalah:
- Suntik 29%
- Pil 14%
- IUD 10%
- Vasektomi: dibawah 1%
Vasektomi dan Politik Otonomi Tubuh
Berbicara tentang vasektomi berarti masuk ke wilayah politik tubuh. Siapa yang berhak menentukan apa yang perempuan lakukan terhadap tubuhnya, dan sejauh mana negara dan budaya ikut campur.
Otonomi tubuh bukan sekadar konsep feminis untuk perempuan. Ia juga menyangkut bagaimana laki-laki memandang tanggung jawab personal terhadap keputusan reproduksi. Seorang suami yang bersedia vasektomi, terutama setelah memiliki cukup banyak anal sejatinya sedang menantang struktur patriarki, yang selama ini menganggap tubuh laki-laki adalah simbol kontrol, bukam kerja sama.
Menurut laporan UNFPA (2022), negara-negara dengan partisipasi laki-laki dalam KB yang tinggi seperti Iran, India, dan Nepal menunjukkan: Penurunan angka kehamilan tak diinginkan, Peningkatan kesejahteraan keluarga, dan relasi rumah tangga yang lebih egaliter.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika tubuh laki-laki ikut ambil bagian, beban tak lagi timpang.
Menuju Narasi KB yang Lebih Adil
Vasektomi adalah simbol kecil dari perubahan besar. Ia menyentuh cara berpikir lama yang menyamakan maskulinitas dengan dominasi. Bahwa menjadi laki-laki sejati bukan soal membuahi sebanyak-banyaknya, tapi soal memilih untuk bertanggung jawab secara adil dan sadar.
Sudah waktunya program KB tidak hanya menyasar tubuh perempuan. Sudah waktunya brosur-brosur tentang vasektomi tidak hanya kita berikan pada istri. Sekarang sudah waktunya kebijakan kesehatan reproduksi menyentuh laki-laki dengan empati dan edukasi. Vasektomi bukan soal takut atau berani, jantan atau tidak jantan. Ini soal kesediaan untuk menambil tanggung jawab yang selama ini tidak pernah kita tanyakan pada laki-laki. []