Mubadalah.id – Realitas sosial relasi antara laki-laki dan perempuan hari ini telah berubah drastis seiring dengan pergeseran bentuk dan fungsi keluarga dalam masyarakat.
Jika kita menengok ke belakang, masyarakat pra-modern cenderung membentuk keluarga besar. Di mana peran-peran sosial dan ekonomi ditopang bersama dalam satu ikatan luas. Namun pada era modern-industrialis sekarang, pola ini menyusut menjadi keluarga inti (nuclear family), yang membawa dampak signifikan pada relasi gender.
Dalam keluarga besar tradisional, perempuan kerap diposisikan semata di ranah domestik. Tugas mereka seolah terbatas pada urusan rumah tangga dan pengasuhan anak.
Namun realitas kontemporer memaksa paradigma itu bergeser. Karena tantangan sosial, ekonomi, bahkan politik yang perempuan hadapi masa kini tidak berbeda jauh dengan yang laki-laki hadapi.
Akibatnya, pemisahan antara wilayah domestik untuk perempuan dan wilayah publik untuk laki-laki menjadi usang. Bahkan memunculkan persoalan sosial yang kerap merugikan perempuan.
Pandangan yang menempatkan perempuan sebagai makhluk lemah, kurang cerdas, dan emosional pun perlahan kita patahkan dengan banyak fakta. Perbedaan biologis seperti hormon tidak serta-merta menjadi dasar bahwa satu jenis kelamin lebih unggul daripada yang lain.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah (2020) menegaskan bahwa perkembangan kesadaran dan kecerdasan manusia lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungan ketimbang semata genetika atau jenis kelamin.
Oleh karena itu, alasan biologis tak bisa lagi menjadi pembenaran untuk membatasi peran sosial perempuan.
Pada akhirnya, kita mesti mengakui bahwa relasi laki-laki dan perempuan tidak lagi dapat kita bentuk oleh pola lama yang kaku. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang memberi ruang setara bagi laki-laki dan perempuan untuk tumbuh, berkontribusi, dan memikul tanggung jawab bersama di segala lini kehidupan. []