• Login
  • Register
Selasa, 8 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Pinokio dan Pelajaran Bangsa tentang Kebohongan

Zahra Amin Zahra Amin
09/10/2018
in Kolom
0
boneka pinokio

Ilustrasi: pixabay[dot]com

58
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pembaca tentu masih ingat dengan kisah dongeng klasik Pinokio. Boneka kayu yang diciptakan Kakek Gepeto. Sebab hidup sendiri dan kesepian, maka kakek berkata dalam hati sambil berharap agar boneka kayu yang telah dibuatnya berubah wujud menjadi seorang anak.

Alangkah terkejutnya, harapan Kakek Gepeto itu menjadi kenyataan. Boneka kayu yang sudah dibuatnya bisa berbicara dan mulai berjalan. Dengan amat gembira, boneka kayu itu diberi nama Pinokio. Kakek Gepeto ingin Pinokio bisa menjadi anak pintar, maka dia memasukkan Pinokio ke sekolah.

Namun malang tak dapat ditolak. Untung tak dapat diraih. Dalam perjalanan menuju sekolah, banyak hal yang ditemui boneka itu. Bahkan dia melanggar janji pada Kakek Gepeto, yang dipanggil ayah olehnya. Langkah kaki kecilnya tak pernah sampai di sekolah, malah dia asyik bermain dan bersenang-senang. Hingga terjebak menjadi salah satu lakon tontonan dalam sirkus keliling.

Setiap kali Pinokia berbohong, hidungnya akan bertambah panjang. Sampai tubuhnya tak sanggup menyangga, karena terlalu berat di bagian depan, hingga boneka itu kesulitan berjalan. Sebaliknya ketika berkata jujur, secara otomatis panjang hidungnya akan berkurang. Dan Pinokio akan nampak senang dan tersenyum gembira.

Di akhir kisah, Pinokio mengalami musibah hingga tenggelam di lautan. Meski akhirnya diselamatkan oleh Kakek Gepeto yang merasa sedih kehilangan kabar dari Pinokio. Berhari-hari pergi tanpa jejak, hingga memutuskan mencari Pinokio di manapun ia berada.

Baca Juga:

Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

Karena kegigihan Kakek Gepeto, dan Pinokio yang menyadari tentang makna kejujuran serta betapa tak enaknya ketika berbohong, telah menjadi satu titik balik perjalanan. Pinokio yang semula berwujud boneka kayu, berubah menjadi seorang anak laki-laki yang nyata.

Dengan membaca kembali kisah Pinokio, saya teringat dengan kisruh pemberitaan hoaks berjamaah yang melibatkan banyak tokoh elite negeri ini. Begitu meyakinkan dan seolah nyata, padahal ternyata itu palsu belaka.

Saya jadi ingat konsep mubadalah: “apa yang tak ingin kamu rasakan maka jangan kamu lakukan itu pada orang lain.” Artinya saat kita tahu bagaimana rasa sakitnya dibohongi, maka lebih baik jangan berbohong. Apalagi jika kebohongan itu dilakukan oleh banyak orang dengan mengajak serta orang lain. Tentu “sakitnya itu di sini.”

Apa jadinya jika semua orang adalah Pinokio. Akan sepanjang apa hidung orang-orang yang suka berbohong itu?

Islam secara tegas mengatakan bahwa berbohong atau berdusta merupakan bagian dari ciri-ciri orang munafik. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda,  tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat (HR. Al-Bukhori).

Orang yang suka berbohong atau menutupi kebenaran maka dia akan semakin dekat dengan sifat kemunafikan. Bohong sendiri artinya adalah segala sesuatu baik perkataan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Ditanyakan kepada Rasulullah SAW: “apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut? Beliau menjawab “Ya”. Lalu beliau ditanyai lagi: “apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil? Beliau menjawab “Ya”. Lalu ditanyakan lagi: “apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab “tidak” (HR. Malik dari Sofwan bin Sulaim dalam kitab Al-Muwatha’).

Maka bagi pembuat cerita bohong, lalu dengan sengaja menyebarkannya untuk memantik rasa tak suka, menyulut kebencian, atau menyudutkan kelompok dan orang tertentu, itu sudah merupakan bagian dari kemunafikan.

Terlebih jika berujung pada permusuhan dan sikap kekerasan lainnya, hingga mungkin mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.

Melalui tulisan ini, di tahun-tahun politik yang mencemaskan ini, mari kita sama-sama saling mengingatkan dalam kerangka kebaikan, agar terhindar dari kebohongan akut, ujaran kebencian dan penyebaran hoaks yang sistematis. Kita semua harus terus berpegang pada kebaikan. Semoga.[]

Tags: anakbohongbonekaelitegapetolaki-lakiperempuanpinokiopolitik
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Jiwa Inklusif

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

8 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nikah Massal

    Menimbang Kebijakan Nikah Massal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Ulama Perempuan yang Membisu dalam Bayang-bayang Kolonialisme Ekonomi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perjanjian Pernikahan
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia
  • Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak
  • Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID