Mubadalah.id – Sesekali duduk dan pandanglah sekitar ruangan. Kenali apa yang kita miliki. Kursi, meja, televisi, pakaian dan semua pernik-pernik yang tergeletak di meja, rak atau mungkin sisi-sisi kusen jendela. Ingatkah apa tujuan saat membelinya? Bagaimana nasib barang-barang itu sekarang? Apakah kita masih punya hasrat menggunakan dan membutuhkannya?
Kebutuhan memang berbeda dengan hasrat yang sifatnya tak terbatas. Namun saat ini, kebutuhan hidup manusia modern tidak lagi murni. Ragam informasi yang masuk lewat inderanya sangat punya pengaruh. Hasrat juga tidak melulu tentang barang. Bisa juga pencapaian, penggunaan pikiran ataupun waktu. Lalu, benarkah mencoba gaya hidup minimalis dapat memfilter hasrat-hasrat kita?
10 tahun terakhir orang ramai memperbincangkan gaya hidup minimalis. Serial Tidying Up with Marie Kondo dan video dokumenter Minimalist yang tayang di Netflix, menjadi salah satu pintu masuknya. Buku yang berjudul Goodbye, Things dari Fumio Sasaki dan Seni Hidup Minimalis dari Francine Jay menjadi guide dalam praktik minimalis bagi para pemula.
Sedangkan buku bergenre spiritual yang bertolak dari Zen Budhism karya Haemin Sunim, kerap menjadi referensi pelengkap. Rentetan referensi tersebut telah memperluas pengaruh gaya hidup minimalis ini. Di Jepang, Korea, bahkan di Amerika sebagai negeri asal konsumerisme, sebagian kecil warganya mulai mengincar minimalis sebagai pilihan hidup. Apakah beralasan jika kita juga mengikuti mereka?
Kebisingan informasi yang mengepung keseharian kita, berangsur-angsur menjadi perilaku dan gaya hidup. Gaya hidup yang tidak pernah original itu adalah wujud dari konstruksi sosial. Pengaruh itu kemudian dicopy lalu disebarluaskan. Maka tidak heran jika gaya hidup menjadi serupa.
Iklan di televisi, cara berpakaian tetangga sebelah rumah, aroma ayam goreng dari rumah makan terkenal juga segala aktivitas orang di Instagram seringkali terasa mengejar. Lantas bermunculan hasrat-hasrat baru, yang kemudian terdefinisi menjadi “kita”.
Tentang barang misalnya. Sekelompok manusia yang berselera homogen atas kepemilikan barang, sama-sama merasa “takut kehabisan”, “mumpung masih ada”, atau “kapan lagi?” Hal ini bukan berlaku hanya untuk barang mahal, tapi juga untuk barang gratisan yang setelah kita miliki justru tidak digunakan.
Permisalan lain lagi adalah Ketika manusia menkondisikan dirinya dalam aktivitas yang padat, pikiran dan ide yang terus mengalir dan hasrat untuk terus produktif. Hasrat manusia menggiring kita untuk mengambil semua kesempatan tanpa memikirkan keterjangkauan. Terlebih di masa pandemi yang banyak menganggur ini.
Pandemi mengkondisikan kita untuk tak beranjak, namun indera kita berhadapan dengan arus informasi yang derasnya sulit dibendung. Informasi ada tanpa dicari, bebas belajar tanpa dituntut komitmen, bahkan kemudahan berbelanja online, hampir semua hal itu berpeluang menjadikan hasrat kita makin membeludak.
Banyak orang di berbagai belahan dunia sudah mulai meminimalisir barang agar lebih fokus pada diri. Namun ada juga yang melakukannya agar ruangan di rumah menjadi lebih estetis. Bagi orang yang bergelut dengan software, meminimalisir aplikasi pada devicenya juga dilakukan agar tidak mudah terdistraksi saat bekerja.
Mungkin benar juga Haemin Sunim dalam bukunya “The Things You Can See Only When You Slow Down”. Banyaknya waktu luang, tidak sibuk, dan tidak terburu-buru akan membuat manusia cermat dan kritis pada kebiasaannya. Kesadaran baru yang muncul akan mengubah perspektif hidup kita, mendatangkan inspirasi dan daya. Jadi wajarkan jika sebagian orang meminimalisir pekerjaan dan barang demi ruang dan waktu yang lebih luas.
Minimalisme memaksa kita merenung sebelum berkeinginan. Kita dilatih untuk menimbang berkali-kali sebelum mengambil brosur di pusat perbelanjaan, atau memilih barang yang perlu dan tidak perlu dimiliki sekalipun gratisan. Kita terlatih memilih seminar atau kelas-kelas online mana yang perlu kita ikuti. Mau tak mau, hasrat akan sedikit demi sedikit terfilter.
Konon, banyaknya hasrat dalam diri kita akan membebani pikiran dan menjadikan pikiran kurang optimal untuk bekerja. Sebenarnya ketidakmampuan manusia membendung hasratnya memang sudah ditunggu oleh pasar, agar bermuara pada gaya hidup konsumtif. Konsekuensi konsumerisme bukan hanya personal namun juga global.
Seperti yang diberitakan Nationalgeographic.grid.id pertengahan tahun lalu, bahwa bumi akan dipenuhi 1,3 ton sampah plastik di darat maupun di laut pada tahun 2040. Pemberitaan ini menguatkan bahwa mungkin saja arus minimalisme ini akan meluas seiring kesadaran manusia untuk menjalin hubungan baik dengan pikirannya, tubuhnya dan buminya. Akankah kita menjadi minimalis untuk memfilter hasrat kita? []