Mubadalah.id – Dalam isu-isu perempuan, al-Qur’an sungguh-sungguh berusaha membebaskan perempuan dari sistem sosial patriarkis yang menindas itu.
Reformasi ini sekali lagi memang tidak mudah diwujudkan dengan segera, karena sistem ini telah demikian mencengkeram dengan sangat kokoh. Gamal al-Bana mengatakan:
“Perilaku masyarakat Arab pada masa Nabi, bahkan masa sahabat-saha-batnya, masih dipengaruhi oleh tradisi pra Islam yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Kehadiran Islam, dengan visi kemanusiaannya belum bisa mengatasi apalagi menghapus kuatnya akal dan psikologi inferioritas perempuan. Meskipun Islam sangat menghendakinya.”
Ide reformasi al-Qur’an, di samping dapat kita lihat pada visi kemanusiaan universal sebagaimana dalam ayat-ayat Makiyyah dan teks-teks partikularnya, menyiratkan kehendak-kehendak untuk melakukan reformasi terhadap pola relasi gender.
Kehendak reformasi juga dalam banyak hal terlihat pada sikap-sikap Nabi Muhammad Saw sendiri yang ramah terhadap perempuan.
Untuk menjalankan reformasi tersebut, al-Qur’an sendiri maupun Nabi, pada satu sisi melancarkan berbagai strategi, baik melalui pernyataan-pernyataan yang bernada persuasi, gradual, maupun dengan membuka ruang publik, membebaskan bagi perempuan, dan memberikan hak yang sebelumnya terlarang.
Sementara pada sisi yang lain, terhadap tindakan yang biasa dilakukan oleh orang Arab terhadap perempuan yang nusyuz misalnya, dilakukan dengan mengubah tradisi itu.
Dalam tradisi Arab saat itu, istri yang membangkang suami dapat sanksi perendahan dan pemukulan. Hal ini menurut tradisi mereka sebagai cara mendidik istri. Kenyataan ini menurut al-Qur’an sebagai tradisi kekerasan yang harus Islam ubah.
Al-Qur’an menyampaikan langkah persuasif sekaligus bertahap dan berurutan: menasihati, membiarkannya, dan kemudian memukulnya.
Sebenarnya Nabi sendiri menginginkan transformasi yang radikal, dengan memberikan kesempatan kepada istri yang suaminya pukul untuk membalasnya secara setimpal. Namun, Tuhan belum mengizinkannya. []