Mubadalah.id – Al-Qur’an telah memberikan pernyataan yang sangat eksplisit bahwa ia adalah buku petunjuk bagi manusia (hudan li al-nas) dan untuk menebarkan kerahmatan semesta (rahmatan Ii al-‘alamin).
Dua pernyatan ini menjelaskan kepada kita bahwa al-Qur’an adalah kitab (bacaan) yang terbuka (inklusif) bagi setiap akses manusia di manapun yang menginginkan terwujudnya sistem kehidupan yang berkeadilan, merahmati dan yang menyejahterakan seluruh umat manusia.
Terma kerahmatan mengandung makna kebaikan, kasih sayang, cinta, kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan norma-norma kemanusiaan lannya. Semua ini merupakan tujuan-tujuan moral yang ingin diwujudkan dalam tata kehidupan umat manusia.
Norma-norma ini pada hakikatnya merupakan nilai-nilai moral yang turun dan berkembang dari prinsip utama Islam tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan).
Petunjuk-petunjuk al-Qur’an secara sederhana tercatat dalam dua bentuk narasi (khitab) yaitu, narasi berita (khabari, deskriptif) dan narasi perintah atau larangan (thalabi, preskriptif).
Narasi deskriptif adalah uraian informasi tentang fakta-fakta atau realitas. Sementara narasi preskriptif pada dasarnya adalah perintah atau larangan Tuhan kepada manusia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Akan tetapi segera Tuhan kemukakan bahwa pemahaman dan pelaksanaan narasi perintah atau larangan tidaklah mudah. Preskriptif tidak selalu berarti kewajiban (li al-wujub) atau keharaman (li al-tahrim).
Perintah bisa berarti anjuran, saran atau himbauan, bahkan ancaman. Larangan juga bisa berarti peringatan (warning), tidak al-Qur’an anjurkan dan sebagainya.
Pemahaman atas hal-hal ini memerlukan referensi-referensi lain yang mendukungnya. Narasi preskriptif inilah yang pada gilirannya menjadi pusat perhatian para ahli hukum.
Teks-teks al-Qur’an yang menarasikan dalam gaya bahasa deskriptif merupakan basis yang mendasari narasi preskriptif.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.