• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Ambiguitas Publik dalam Memandang Wisata Halal

Kebijakan mengenai wisata negara harusnya bersifat menyeluruh mengingat Indonesia adalah negara yang dipenuhi dengan keberagaman

Cut Novita Srikandi Cut Novita Srikandi
30/10/2021
in Publik
0
Liburan

Liburan

235
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Baru-baru ini polemik mengenai wisata halal kembali mencuat ke publik. Polemik ini muncul menyusul kematian seekor anjing bernama Canon saat dipindahkan dari Pulau Banyak yang merupakan salah satu destinasi wisata halal di Aceh. Peristiwa ini berawal saat sang pemilik mengunggah video penangkapan anjingnya ke instragram. Ia menyatakan bahwa kematian anjingnya disebabkan oleh kelalaian petugas.

Banyak protes menyusul kematian Canon, bahkan muncul sejumlah petisi yang meminta agar proses penangkapan petugas satpol PP dilakukakan, karena dinilai telah melakukan penganiayaan terhadap hewan. Hal ini berujung pada adanya wacana peninjauan kembali terhadap kebijakan pemerintah terkait Wisata Halal itu sendiri.

Menurut buku panduan yang diterbitkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2019, Wisata Halal merupakan destinasi pariwisata yang melayani wisatawan muslim sebagai pangsa pasarnya atau ingin mengembangkan pariwisata halal di daerahnya. Destinasi wisata diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar wisatawan muslim, misalnya ketersediaan air untuk bersuci, makanan halal, fasilitas ibadah yang memadai, paket wisata, dan visitor guid-enya. Dengan demikian daerah-daerah yang dijadikan sasaran destinasi halal dikhususkan pada daerah-daerah yang memiliki kekhasan dalam identitas keislamannya.

Sejumlah daerah di Indonesia memiliki khazanah Islam yang sangat bervariasi dan keunikan tersendiri. Aceh misalnya, sebagai provinsi yang memiliki kekhususan penerapan syariah, memiliki sejumlah situs bangunan bersejarah dan kultur Islam yang unik. Riau juga berpotensi mengelola wisata halal, mengingat sejarah kesultanan Islam di Riau yang panjang.

Demikian pula sejumlah wilayah di Jawa, yang memiliki sejarah kesultanan Islam yang kuat. Bahkan Lombok di Nusa Tenggara Barat, telah menjadi provinsi yang menawarkan wisata halal secara masif, sehingga sejumlah wisatawan dari luar negeri banyak berkunjung ke daerah ini karena penawarannya wisata halal.

Baca Juga:

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Konsep halal sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang diizinkan (tidak dilarang) dan diperoleh dengan sah. Arti harfiah dari Halal bisa jadi diungkapkan dengan akarnya kata halla, yahillu, hillan, wahalan yang menunjukkan segala sesuatu yang halal, dan tidak dilarang dalam Islam. Jadi terminologi halal erat kaitannya dengan identitas seorang muslim.

Meninjau pemerintah pusat yang menjadikan identitas keislaman suatu wilayah sebagai pijakan untuk melabeli ‘wisata halal’ pada daerah-daerah tertentu,  mengingatkan saya pada konsep Stuart Hall mengenai artikulasi identitas. Hall menempatkan identitas sebagai ‘produksi’, yang tidak pernah lengkap, selalu dalam proses, dan selalu didasari di dalam, bukan di luar dan merupakan suatu representasi. Pernyataan ini seolah menentang autentikasi dari identitas budaya. Namun dalam proses tersebut, pemosisian dan artikulasi berperan besar.

Dalam hal ini, artikulasi diartikan sebagai proses untuk memadukan praktik-praktik yang berbeda, atau bahkan berlawanan, untuk diperankan secara bersamaan tanpa menyatukan diskursus-diskursus yang berlainan. Sebagaimana yang dijelaskan Hall, artikulasi merupakan perbedaan-perbedaan dalam suatu kesatuan yang tidak menuntut satu praktik larut dan terikat dengan praktik-praktik lainnya, dan tiap-tiap elemen yang diartikulasikan mempertahankan karakternya masing-masing.

Dalam kasus ini, proses artikulasi untuk memadukan dan memerankan praktik tradisi dan budaya pariwisata juga dapat dimaknai sebagai bentuk strategi untuk tetap eksisdi tengah realita kehidupan pariwisata yang dibangun di suatu daerah yang memiliki identitas Islam sebagai kekhasan daerahnya.

Identitas keislaman tetap dipertahankan, tetapi juga diartikulasikan secara luwes untuk mewakili cara pandang baru yang menegosiasikan realita kehidupan pariwisata. Hal ini dapat dilihat misalnya pada konsep wisata halal di Aceh yang dikenal sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam sebagai landasan hukum daerahnya.

Faktanya, kebijakan mengenai wisata halal beberapa tahun terakhir telah menimbulkan makna yang ambigu di tengah masyarakat, terkait tentang apa yang dimaksud dengan wisata halal itu sendiri. Sebagian menganggap bahwa Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, dengan demikian jargon wisata halal harusnya tidak diperlukan lagi.

Berbagai fasilitas yang ramah pada pengunjung muslim sangat mudah ditemukan di mana saja. Mereka berpandangan bahwa wisata halal harusnya diterapkan di daerah-daerah yang mayoritas warganya non muslim, seperti di Jepang, Taiwan, Korea dan Eropa, yang mana negara-negara ini juga memiliki Muslim Friendly Tourism. Tujuannya, agar orang muslim yang berwisata di sana tidak bingung dan merasa nyaman.

Namun konsepsi semacam ini juga tidak terbukti dapat diterapkan di Indonesia. Beberapa daerah yang mayoritas non muslim menolak label wisata halal di tempat wisata mereka. pada tahun 2019 misalnya, sewaktu Wishnu Utama masih menjabat sebagai Menteri ekonomi kreatif dan pariwisata. Beberapa daerah mayoritas non muslim, seperti Bali dan Danau Toba Sumatera Utara menolak daerahnya dinyatakan sebagai daerah wisata halal.

Bahkan sebagai upaya protes terhadap wacana wisata halal, masyarakat setempat menyelenggarakan Festival Babi Danau Toba telah digelar di Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada tanggal 7 november 2011. Festival yang dimeriahkan dengan lomba swafoto dengan babi, lomba memanggil babi, lomba lari babi sampai lomba kuliner babi digelar secara spontan sebagai bentuk perlawanan terhadap wacana label ‘wisata halal’ di Danau Toba.

Lalu bagaimana sebenarnya konsepsi wisata halal dibangun? apakah wisata halal hanya diwacanakan sebagai anti tesis dari wisata konvensional? Apakah wisata halal sebagai wisata syariah yang hanya mengeksplorasi pengalaman dan suasana yang berhubungan dengan aspek reliji, ataukah wisata halal merujuk tentang tata kelola wisata dengan mempergunakan tata kelola pelayanan dan fasilitas dengan menggunakan platform sesuai dengan nilai Islam?

Perlu peninjauan ulang tentang konsep wisata halal di Indonesia. Apakah jargon wisata halal hanya sekedar jargon untuk meningkatkan sektor perawisata yang terkait strategi ekonomi negara, atau memang wisata halal digunakan sebagai sarana untuk mengartikulasikan identitas keislaman dengan menonjolkan identitas islam yang bersifat kedaerahan?

Kebijakan mengenai wisata negara harusnya bersifat menyeluruh mengingat Indonesia adalah negara yang dipenuhi dengan keberagaman. Keberagaman di negeri ini merupakan sebuah kenyataan dan keniscayaan dalam masyarakat. Pariwisata dengan mengembangkan dan menonjolkan kearifan budaya lokal dengan latar yang beragam itulah justru menarik turis datang, karena sejatinya pariwisata sejatinya merupakan aktivitas universal. Oleh karena itu, seluruh tempat wisata di Indonesia harusnya dapat terbuka bagi seluruh wisatawan dengan berbagai latar belakang agama, kepercayaan, maupun kewarganegaraannya. []

Tags: identitas keislamanIndonesiakeberagamanmultikulturalPariwisataPerdamaiantoleransiwisata halal
Cut Novita Srikandi

Cut Novita Srikandi

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019, Dosen dan Peneliti Sastra

Terkait Posts

Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Wahabi Lingkungan

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Menstruasi

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

2 Juli 2025
Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menstruasi

    Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu
  • Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2
  • Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID